Jumat, 25 September 2009

Urun Rembug Ranperda Anak Jalanan

Oleh: Rusdin Tompo (Aktivis Hak Anak)


Tekad Dinas Sosial Kota Makassar dengan mencanangkan: “Tahun 2007, Makassar Bebas Anak Jalanan”, tampaknya belum terealisasi. Anak-anak jalanan masih tetap terlihat melakukan aktivitas di berbagai perempatan jalan dan tempat-tempat umum lainnya meski harus “bermain kucing-kucingan” demi menghindari razia. Bagi mereka, jalanan merupakan alternatif untuk bisa survive.

Faktor Penyebab
Rantai kehidupan sosial anak jalanan, telah menempatkan mereka berada pada situasi yang paling berisiko. Bagi anak jalanan pengemis, jika tidak turun ke jalan, bisa berarti mereka bakal mendapat hardikan dan pukulan dari orangtuanya. Bila terpaksa turun ke jalan, taruhannya harus berhadapan dengan petugas Satpol PP, para preman yang melakukan pemalakan dan kemungkinan menjadi target kekerasan dari berbagai pihak. Bagi anak jalanan perempuan, daftar risikonya bertambah berupa potensi menjadi korban pelecehan dan bentuk kekerasan seksual lainnya. Kalaupun sudah turun ke jalan tapi pulang kurang membawa hasil, akibatnya juga akan mendapat hardikan dan pukulan. Karena itu, ada di antara mereka kadang setengah memaksa ketika meminta-minta untuk memenuhi target yang sudah dipatok. Maka jangan heran bila mereka masih berada di jalan hingga larut malam.

Uraian berupa faktor penyebab anak jalanan bisa menjadi panjang, lantaran masing-masing faktor saling bersinggungan. Sehingga upaya penanganan terhadap mereka tidak boleh parsial dan sporadis namun harus terintegrasi, komprehensif, partisipatif dan berkelanjutan. Imbauan pemerintah kota Makassar untuk tidak memberi uang di jalan, misalnya, sebenarnya hanya untuk memutus salah satu faktor penarik, berupa peluang mendapat uang mudah. Masih ada faktor penarik lain, yakni ajakan teman, tidak ada ruang bermain, dan musiman. Belum lagi faktor pendorong, yang bisa bermula dari krisis ekonomi, kemiskinan, urbanisasi, putus sekolah, menderita/keturunan penderita kusta, pola pikir orangtua, kekerasan dalam rumah tangga, dan selanjutnya.

Bila digambarkan dalam sebuah matriks, terlihat bahwa pada faktor pendorong, ada penyebab yang bersifat eksternal/struktural dan internal/kultural. Begitupun pada faktor penarik, ada penyebab yang bersifat eksternal/struktural dan internal/kultural. Artinya, kita tidak bisa menutup mata terhadap faktor-faktor struktural yang berkaitan dengan ketimpangan kebijakan kota-desa, ketidakberpihakan terhadap orang miskin, akses terhadap pendidikan, serta minimnya penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial untuk anak-anak. Dapat dikatakan bahwa negara juga berkontribusi menciptakan anak-anak jalanan. Dalam konteks inilah anak-anak jalanan mesti dipandang sebagai korban.

Sumber Kontroversi
Perbedaan perspektif dalam melihat anak jalanan itulah yang menjadi pangkal dipersoalkannya Ranperda tentang Pembinaan dan Penertiban Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis, dan Pengamen di Kota Makassar. Pemerintah menganggap anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan pengamen sebagai pengganggu arus lalu lintas, sumber ketidakteraturan kota terutama keamanan pengguna jalan, ketentraman lingkungan perumahan dan pertokoan. Sementara aktivis LSM yang berfokus pada pemenuhan hak-hak anak menuding Ranperda ini sebagai bentuk marginalisasi, anti orang miskin, diskriminatif, tidak berwawasan HAM, tidak peka jender dan tidak ramah anak (child friendly). Kata “penertiban” dalam Ranpenda itu menjadi indikasi dikedepankannya pendekatan represif. Hal ini terlihat dari kampanye yang dilakukan Dinas Sosial, yang mengancam akan menjatuhkan sanksi berupa denda bagi orang yang memberi uang di jalan. Begitupun, pendirian Posko lengkap dengan polisi dan Satpol PP yang kehadirannya semata-mata untuk “menakut-nakuti”. Belum lagi wacana mempulaukan anak jalanan, sebagai upaya memberi efek jera, dinilai sangat tidak manusiawi.

Pandangan pemerintah kota Makassar ini menjadi ironi lantaran dicantumkan pada bagian “menimbang” dalam Ranperda tersebut, yang mestinya menjadi landasan filosofis sebuah peraturan perundang-undangan. Bisa jadi, rumusan ini muncul lantaran Ranperda dibuat cacat proses. Tidak ada naskah akademik yang menjadi acuan penyusunannya. Padahal naskah akademik sangat penting karena memuat gagasan-gagasan pengaturan serta materi muatan perundang-undangan yang telah ditinjau secara sistematik dan holistik-futuristik dari berbagai aspek ilmu. Naskah akademik juga dilengkapi dengan referensi yang memuat urgensi konsepsi, landasan, alas hukum dan prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-norma, disajikan dalam bentuk uraian sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum dan sesuai dengan politik hukum yang telah digariskan.

Pemerintah kota Makassar nampaknya gagal memaknai dan menerjemahkan ruh dari politik hukum anak dewasa ini. Coba baca mukadimah Konvensi Hak Anak, yang diratifikasi Indonesia sejak tahun 1990. Pada salah satu alinea dikatakan bahwa sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Hak-hak Anak, “anak karena ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahirannya”. Semangat ini yang menjadi dasar disahkannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU ini, perlindungan anak didefinisikan sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Jadi, politik hukum anak kita adalah melindungi anak-anak, sebagai aset bangsa agar mampu menjadi sumber daya unggul di masa depan.

Perbedaan dalam memandang substansi masalah, proses dan metodologi penyusunan Ranperda, berujung pada perbedaan cara menyikapi masalah. Pragmatisme pemerintah untuk segera meniadakan anak jalanan dianggap bukan solusi bijak dan beradab, bahkan menjadi titik lemah Ranperda ini. Begitupun kontradiksi antara prinsip-prinsip yang dianut dengan strategi penanganan yang ditawarkan, malah memunculkan resistensi. Ada kesan, Ranperda ini sebuah panic regulation, yang akan dipaksakan pengesahannya sebelum Pilkada Walikota dan Wakil Walikota Makassar, tahun 2008.

Beberapa Masukan
Sebenarnya, ikhtiar membuat Ranperda merupakan sebuah langkah maju untuk mengisi kevakuman hukum menyangkut anak jalanan. Lagi pula, Perda akan memiliki bobot fungsi untuk meminimalisir kesenjangan undang-undang nasional dan menjaga harmonisasi pelaksanaan program-program intervensi secara teknis. Kemudian, tidak bisa dipungkiri ada nilai-nilai budaya tradisional dari tiap daerah yang mempengaruhi cara pandang dan pola asuh orangtua terhadap anak. Dengan Perda berarti, semangat nilai-nilai budaya tradisional akan diakomodasi. Sehingga Perda lebih sejalan dengan kondisi daerah setempat. Bila, peraturan hukum cocok dengan situasi dan kearifan budaya lokal maka ia lebih bisa diterima dan dipatuhi.

Hanya saja, yang perlu dibereskan pertama-tama adalah soal definisi tentang siapa “anak jalanan” itu. Sebab, ditilik dari namanya, Ranperda ini membedakan anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen. Padahal, Farid dan Adidananta (2002) mengatakan bahwa berbagai survei, penelitian atau program intervensi anak jalanan sering memasukkan kategori-kategori, seperti kuli pasar, kuli pelabuhan, kernet angkutan kota, pemulung, atau mereka yang dijerumuskan di dunia prostitusi ke dalam kelompok anak jalanan. Memang, ada kemungkinan terdapat kasus-kasus dimana seorang anak dimasukkan sekaligus ke dalam kategori ’anak jalanan’, ’buruh anak’ dan ’anak yang dilacurkan’. Banyaknya tafsir dimungkinkan karena anak jalanan bukanlah kelompok homogen. Karakteristik anak jalanan (Irwanto, dkk., 1999) bervariasi sesuai pekerjaan yang dilakukan, seperti pemulung, tukang semir sepatu, penjual koran, pengamen, pedagang asongan, dan sebagainya. Tapi ketidak-memadaian definisi ini dikhawatirkan akan terus meninggalkan masalah yang tidak terjawab (Shalahuddin, 2004). Salah satunya, sulitnya menemukan validitas data tentang anak jalanan.

Terlepas dari itu, ada beberapa aspek yang mesti mendapat perhatian serius dalam Ranpeda ini. Pertama, aspek rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Aspek ini menjadi penting karena sebagai anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (children in need of special protection), anak jalanan mengalami berbagai situasi yang mengakibatkan kondisi fisik, psikis dan moralnya terganggu. Kedua, aspek pelayanan dan rujukan. Perlu diatur tentang bagaimana membuka akses yang seluas-luasnya terhadap anak-anak jalanan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti akta kelahiran, layanan kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial. Untuk itu, harus dibuat Pedoman Standar Pelayanan Minimal (PSPM) yang menjamin kesejahteraan anak-anak jalanan. Penyediaan taman bermain, juga termasuk dalam aspek ini.

Ketiga, aspek peningkatan kapasitas dan pemberdayaan ekonomi keluarga. Aspek ini harus memperhatikan secara cermat latar belakang aktivitas ekonomi, minat dan potensi anak serta captive market dari program-program vocational training dan pemagangan yang dilakukan. Keempat, aspek penegakkan hukum. Aspek ini perlu memperhatikan penjatuhan sanksi yang dilakukan. Sanksi tegas harus dilakukan terhadap pelaku eksploitasi dan perdagangan anak. Bila ortangtua sendiri pelakunya, perlu dipikirkan untuk mencabut hak kuasa asuhnya. Tentu pemerintah harus punya model program pengasuhan maupun pengangkatan anak. Pendekatan pada semua aspek, harus memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spesifik dari perempuan dan mendengar pendapat anak-anak jalanan itu.

Perlu juga dipikirkan untuk membentuk polisi khusus (bukan Satpol PP) sebagaimana disebutkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI bahwa sekalipun penyelenggaraan fungsi kepolisian berada di bawah kendali polisi namun secara fungsional dimungkinkan POLRI dibantu oleh polisi khusus di luar struktur POLRI melalui pengembangan asas subsidaritas dan asas partisipasi. Ide Ini sejalan dengan program pemolisian masyarakat yang tengah dilakukan POLRI.

Peran itu, mungkin dilakukan oleh sebuah komite, terdiri dari berbagai stakeholder, yang juga diatur dalam Perda ini, sehingga memiliki mandat sosial dan legitimasi yuridis. Tugas dan wewenang komite juga bisa mencakup monitoring dan evaluasi, termasuk mobilisasi sumber daya dan pengelolaan dana masyarakat. Jadi, pemberian secara langsung di jalanan dialihkan ke sebuah institusi yang lebih kredibel, yang tekanan kegiatannya mengubah pendekatan amal derma menjadi pemberdayaan. Untuk mengukur efektifitas pelaksanaan Perda, perlu ada time frame program, terutama tahapan menarik anak-anak dari jalanan. Kerangka waktu program juga menyangkut apa yang ingin dicapai pada tahun pertama, kedua, dan seterusnya. Semua usulan ini hanya bisa terlaksana bila kita menjadikan isu anak jalanan sebagai isu bersama (common interest). Untuk itu, perlu diatur bagaimana bentuk-bentuk partisipasi yang dapat dilakukan masyarakat agar anak jalanan tidak menjadi paria di negeri ini.[]

Makassar, 29 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar