Sabtu, 26 September 2009

Perlunya Gerakan Pro-Anak Berbasis Parlemen

Oleh Rusdin Tompo (Aktivis Hak Anak)

“Kalian mempunyai parlemen namun mereka menggunakannya hanya sebagai penghias demokrasi.”
[Adam Maiga (15), asal Uganda]

Hasil penghitungan cepat oleh sejumlah lembaga survei telah memberikan gambaran pada kita, partai mana yang keluar sebagai pemenang pada pemilu legislatif 2009 ini, serta partai-patrtai yang kemungkinan akan mampu memenuhi ketentuan parliamentary treshold untuk dapat mendudukkan wakilnya di parlemen. Hanya saja, formasi terbaru anggota DPR, DPD, dan DPRD Kabupaten/Kota periode 2009-2014 mendatang, belum cukup menjanjikan bahwa para caleg terpilih bakal memberikan perubahan mendasar bagi upaya perlindungan anak. Meski tidak sedikit caleg yang mengusung tagline sebegai “generasi baru, harapan baru” bahkan menghadirkan anak-anak dalam iklan kampanye mereka. Namun, kehadiran anak-anak dalam iklan tersebut tak lebih sekadar asesoris yang dimanipulasi untuk memberi efek pencitraan demi kepentingan pragmatis meraih simpati pemilih untuk memenuhi ambisi politik dan kekuasaannya.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, sebab jauh sebelum hari pencontrengan, dilaksanakan, telah muncul pesimisme di beberapa kalangan yang meragukan kapasitas, kapabilitas dan kompetensi anggota legislatif nanti. Maraknya caleg karbitan dan instan yang minim pengalaman, baik dari segi kemampuan politik maupun dalam medan pengabdian sosial, merupakan salah satu indikatornya. Skeptisisme kalangan ini beranjak dari pertanyaan, akankah mereka yang terpilih melalui mekanisme demokrasi prosedural ini mampu mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan mendesak masyarakat yang telah memilihnya? Apakah mereka bisa segera mengejawantahkan janji-janji kampanye yang dibalut kata manis penuh bujuk rayu itu? Termasuk pertanyaan, sejauh mana mereka memahami hubungan parlemen dan eksekutif, serta pembuatan kebijakan dan perundang-undangan? Pertanyaan-pertanyaan ini amat logis dikemukakan sebab, menurut Kepala Pusat Peneliti Politik LIPI, Syamsuddin Haris, bukan tidak mungkin parlemen akan didikte oleh eksekutif (Kompas, 15/4/009).
Pertanyaan-pertanyan tersebut mungkin terkesan sinis dan terdengar apriori tapi harus diakui bukan hadir tanpa alasan. Ada banyak kasus membuktikan bahwa mandat rakyat sering dikooptasi hanya untuk memuaskan kepentingan politik segelintir elite dalam lingkaran kekuasaan, bukan politik kesejahteraan yang diabdikan bagi terwujudnya keadilan sosial, penghargaan terhadap kemanusiaan dan kemaslahatan bersama. Kelompok politisi jenis ini kerap gagap membaca agenda publik dan sulit diikat dalam sebuah komitmen meski diperuntukkan bagi kepentingan terbaik anak. Dalam beberapa kali dialog yang diadakan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan dan sejumlah aktivis anak, misalnya, sering berakhir mengecewakan lantaran tidak banyak politisi dan partai yang diundang merespons pertemuan itu. Akibatnya, kita sulit menemu-kenali platform dan visi anak partai beserta politisinya, apalagi melakukan kontrak politik untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan strategis menyangkut perlindungan anak.

Lemahnya Penguasaan Isu
Memang selama masa kampanye, beberapa caleg dan partai ikut-ikutan “menjual” program pendidikan dan kesehatan gratis, dan berjanji mengawal kedua isu yang dianggap populis itu. Namun, lemahnya penguasaan terhadap kedua program tersebut, membuat tak ada satu pun yang mengaitkannya dengan isu-isu spesifik anak. Katakanlah, bagaimana mereka ikut menciptakan regulasi dan mendorong peningkatan anggaran guna mencegah anak-anak putus sekolah, agar tidak melakoni hidup sebagai pekerja anak, yang hanya akan mewariskan kemiskinan kepada generasi berikutnya. Kita juga tidak cukup mendapat penjelasan memadai, bagaimana kedua program itu menjangkau anak-anak yang terjebak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, mereka yang tengah berada dibalik jeruji besi sebagai narapidana anak, serta anak-anak yang terpinggirkan dan berada jauh dari hiruk-pikuk pusat pemerintahan.
Gambaran betapa lemahnya penguasaan isu anak di sebagian anggota legislatif terungkap ketika dilakukan advokasi di dewan untuk beberapa kesempatan. Berdasarkan pengalaman advokasi itu, tersimpan banyak cerita lucu, menggemaskan sekaligus memprihatinkan. Satu contoh, pada suatu kesempatan lobi untuk mendorong anggaran yang proporsional dan lebih berpihak pada anak, seorang anggota dewan secara terbuka mengakui bahwa ketika membahas anggaran, kadang dia hanya sekadar mencoret untuk menunjukkan dirinya bekerja mengkritisi tumpukan lembaran RAPBD, tanpa mengetahui secara persis skala prioritas dari anggaran yang dibuat. Contoh lain, saat mendampingi pekerja anak memberikan testimoni dalam suatu kesempatan public hearing untuk menggugah kepedulian penentu kebijakan terhadap kondisi pekerja anak, dewan bukannya membahas substansi masalahnya, malah anak-anak itu dinasihati layaknya orangtua memberikan wejangan pada anaknya yang nakal.
Akibat lemahnya penguasaan isu, membuat dewan sulit mengimbangi irama dan dinamika kepentingan instansi pemerintah yang menjadi mitra kerjanya. Yang terjadi kemudian, dewan akhirnya hanya menjadi “tukang stempel” sebuah rancangan peraturan daerah (ranperda) meski itu mendistorsi hak-hak anak dan tidak sejalan dengan semangat Undang-undang Perlindungan Anak dan berbagai undang-undang yang berada di atasnya. Perda tentang anak jalanan dan pengemis, merupakan sedikit contoh di mana legislatif justru ikut melegitimasi kriminalisasi terhadap anak yang melakukan aktivitas kerja di jalan, yang terpaksa bertahan hidup sebagai pengemis. Perda jenis ini sangat patut di-review karena dibuat dengan semangat menghukum anak-anak, dan dituding anti-orang miskin.
Perda yang mengatur tentang pencatatan kelahiran, juga termasuk yang materi muatannya harus dibongkar. Karena perda ini menjadikan setiap bayi baru lahir sebagai target PAD, masih sarat nuansa diskriminatif terhadap warga keturunan Tionghoa. Dewan jangan terkecoh dengan janji akta kelahiran gratis, yang tidak sepenuhnya serius diberlakukan. Tapi, bagaimana dewan sanggup mengkritisi kebijakan ini, bila mereka tak paham bahwa pencatatan kelahiran merupakan salah satu sumber statistik vital yang berguna bagi perencanaan pembangunan dan pelayanan publik, dan terutama untuk perlindungan anak?
Lemahnya penguasaan isu anak semakin terbukti ketika tak ada satu pun anggota DPRD Kota Makassar yang memberikan komentar atas pembubaran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kota Makassar oleh pemkot Makassar, yang kinerjanya dinilai tidak efektif dan hanya membebani APBD (Fajar, 6/4/2009). Bila dilakukan analisa penyebab masalah KPAI, dapat dikatakan bahwa sudah terjadi sejak proses seleksi di DPRD Makassar, yang meloloskan sebagian besar komisioner yang tidak punya rekam jejak di isu anak. Padahal, sebagai lembaga yang dibentuk atas amanah Undang-undang Perlindungan Anak, mestinya lembaga sejenis ini diperkuat, bukan malah dibekukan. Dewan bila perlu mendesakkan pembentukan sejumlah komite aksi, baik untuk penghapusan traficking, eksploitasi seksual komersial anak (ESKA), maupun bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kalaupun ada yang sudah terbentuk maka perlu dimotivasi untuk lebih lincah bergerak merespons persoalan-persoalan anak yang ada di depan batang hidungnya.

Gerakan Berbasis Parlemen
Parlemen dan para anggotanya mestinya dapat dan―seyogyanya―berada di barisan terdepan dalam memperjuangkan perlindungan anak. Sebab, mereka bisa membuat legislasi, mengawasi kegiatan pemerintah, mengalokasikan sumber-sumber daya finansial, dan sebagai pemimpin di dalam negara/bangsa dan masyarakat mereka dapat membangkitkan kesadaran tentang isu-isu anak serta memberikan advokasi (Riyanto, ed., 2006). Karena itu, sudah saatnya kita mengembangkan sebuah mekanisme inovatif, sebagai arah baru gerakan perlindungan anak berbasis parlemen. Gagasan ini bisa meniru apa yang dilakukan sejumlah negara anggota Uni Antar Parlemen (Inter-Parlementary Union/IPU).
Salah satu praktik cerdas yang bisa dilakukan, yakni membentuk Komite Dewan Perwakilan Rakyat tentang Anak, sebagaimana dilakukan di Jerman. Di negara ini, ada Komisi Perlindungan Kepentingan Anak, yakni sebuah sub-komite yang berada di bawah Komite Urusan Keluarga, Warganegara Usia Lanjut, Wanita dan Pemuda. Setiap partai yang memiliki wakil di Parlemen Jerman (German Bundestag), mengutus satu orang untuk duduk di komisi ini, di mana ketuanya ditunjuk secara bergiliran. Komisi ini punya serangkaian kegiatan, seperti dengar pendapat, diskusi dengan para ahli, mengeluarkan pernyataan, melakukan misi pencari fakta, dan hubungan masyarakat.
Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan membuat aliansi politik lintas partai, mirip kaukus perempuan politik, tapi ini ditujukan khusus untuk perlindungan anak. Aliansi strategis ini mengadopsi “prinsip demi kepentingan terbaik anak” karena bekerja tanpa melihat perbedaan ideologi partai dan sekat-sekat kepentingan, sehingga mampu bertahan walau pemerintahnya berubah. Aliansi ini bukan saja memiliki kredibilitas di dalam dan di luar parlemen, bahkan mereka sanggup membuka kontak dan berkolaborasi dengan anggota dewan dari negara lain, secara bilateral maupun multilateral.
Bentuk ketiga yang bisa dilakukan berupa pendirian kantor ombudsman mengenai hak-hak anak di bawah otoritas parlemen, seperti sudah dilaksanakan di Norwegia, Swedia, dan Perancis. Fungsi ombudsman ini memberikan rekomendasi, kritik dan penilaian yang dianggap harus diberi catatan atau dipenuhi oleh badan-badan publik. Ombudsman hak-hak anak ini malah menggunakan pendekatan-pendekatan langsung dan aktif. Karena itu, ombudsman bisa memiliki hak untuk melaporkan pihak pemkot ke polisi, misalnya, bila pemkot tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi hak-hak anak, sekalipun kasus itu tidak harus diteruskan sampai ke pengadilan.
Akhirnya, apapun pilihan yang ditawarkan dari ketiga model pendekatan gerakan perlindungan anak berbasis parlemen ini, semangatnya adalah hendak menjadikan setiap persoalan anak sebagai isu utama dalam agenda politik.[*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar