Sabtu, 26 September 2009

Partisipasi Anak dalam Kebijakan Publik

Oleh Rusdin Tompo (Aktivis Hak Anak)

Pro kontra revitalisasi lapangan Karebosi telah memperkaya khasanah pengetahuan kita tentang banyak hal: sejarah, budaya, pariwisata, teknik, tata ruang, ekonomi, hukum hingga lingkungan. Satu di antaranya, pandangan yang dikemukakan Guru Besar Arsitektur Unhas, S Trisutomo (Fajar, 15 Januari 2008). Anggota Komisi Teknis Amdal Kota Makassar itu secara lugas mengatakan bahwa proses partisipasi dalam proyek revitalisasi atas ikon kota Makassar itu baru sampai tingkat terendah karena masyarakat hanya diberi tahu setelah pembangunan sudah berjalan.

Paradigma good governance yang kerap didengung-dengungkan pemerintah ternyata masih jauh panggang dari api. Karena salah satu ciri tata pemerintahan yang baik adalah memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan. Jika manusia dewasa saja tidak cukup diberi akses menapaki derajat tertinggi tangga partisipasi, sehingga dapat ikut menentukan proses, hasil dan dampak kebijakan, apalagi mereka yang tergolong anak-anak. Bagaimana pula bila ia seorang anak perempuan, miskin, dan (maaf) cacat (difable)? Meski sejatinya, anak-anak merupakan salah satu pemangku kepentingan dan penerima manfaat (beneficiary) langsung atas lapangan Karebosi.

Anak-anak menggunakan lapangan yang berada di kilometer nol itu untuk berbagai keperluan. Ada yang sekadar melintas, beristirahat sepulang sekolah, berjualan macam-macam dagangan, bermain layangan, juga untuk upacara, karnaval, perlombaan, dan tentu saja berolah raga, terutama sepakbola. Bahkan, terdapat klub-klub sepakbola yang menjadikan Karebosi sebagai bermarkasnya, dimana anak-anak binaannya telah mampu mengukir prestasi di kancah nasional maupun internasional. Reputasi mengharumkan nama bangsa dan negara itu ikut disumbangkan Muhammad Nur, akrab disapa Abanda, yang semula hanya dikenal sebagai pengemis jalanan.

Partisipasi adalah Hak
Kasus Karebosi menjadi entry point bagi kita dalam menelaah betapa partisipasi anak diabaikan dalam hampir semua proses dan tahapan kebijakan publik, yang notabene menyangkut kepentingan umum (public policy). Padahal, tujuan partisipasi untuk memberi ruang lebih luas, khususnya bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan rentan—salah satunya kelompok anak—agar mampu memberikan pengaruh yang berarti terhadap proses pemerintahan dalam arti luas. Namun, perlu diingat, pada dasarnya partisipasi hanya a means to an end, jadi bukan tujuan akhir itu sendiri (Ahmad dkk., 2003).

Partisipasi, sebagaimana definisi Bank Dunia, merupakan proses di mana para pemilik kepentingan mempengaruhi dan berbagi pengawasan atas inisiatif dan keputusan pembangunan serta sumber daya yang berdampak pada mereka. Berkaitan dengan anak, partisipasi diartikan sebagai proses berbagi keputusan (Hart), berbagi ide dan pemikiran (Save the Children), pelibatan dalam pembuatan keputusan (Stephenson, Gourley dan Miles), serta berperan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaannya (Schenk dan Williamson).

Partisipasi adalah hak yang diakui dalam Declaration on the Right to Development Resolusi Majelis Umum 41/128, tanggal 4 Desember 1968. Hak atas partisipasi juga diatur dalam Konvensi Hak Anak (KHA), yang telah diratifikasi Indonesia. KHA merupakan instrumen internasional HAM yang secara spesifik memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak. KHA menjamin anak mengemukakan pendapat secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi mereka (pasal 12), bebas berekspresi (pasal 13), bebas untuk berpikir (pasal 14), bebas berorganisasi (pasal 15), akses mendapatkan informasi (pasal 17), dan jaminan khusus bagi anak-anak difable (pasal 23). Juga hak mendapatkan pendidikan dan berperan dalam masyarakat (pasal 29), hak bermain serta berpartisipasi dalam kegiatan seni dan budaya (pasal 31).

Pada level nasional, partisipasi merupakan hak konstitusional setiap orang yang diakui dalam UUD 1945 (baca: Pasal 28C). Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahkan memasukkan “penghargaan terhadap pendapat anak” sebagai salah satu prinsip yang dianut, disamping prinsip non-diskriminasi, prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak, dan prinsip hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan. Jadi, partisipasi merupakan hak fundamental yang mesti dipahami bukan sekadar sebagai “teknik” atau “metode” semata tapi keseluruhan proses yang—suka atau tidak—idealnya ditempuh oleh penyelenggara negara sebagai penyandang kewajiban (duty-bearer) dengan anak sebagai pemegang hak (rights-holder).

Problem Orang Dewasa
Ada dua kata kunci yang perlu diperhatikan ketika membicarakan partisipasi anak, yakni usia (age) dan kematangan (maturity). Kedua hal ini kerap gagal diartikulasikan secara filosofis lantaran kita mengacaukan tujuan partisipasi anak dengan partisipasi perempuan (dewasa), partisipasi masyarakat, dan partisipasi kelompok marjinal, yang lebih mengacu pada politic and civil rights dan economic, social and cultural rights. Partisipasi pada orang dewasa akan menghasilkan “kesetaraan”, sedangkan partisipasi anak memunculkan “perlindungan” terhadap hak-hak anak.

Pada tataran implementatif, partisipasi anak belum mewujud karena sikap sosial yang memandang anak belum matang, tidak kompeten dan belum mampu bertanggung jawab. Karena merasa pernah menjadi anak, orang dewasa menganggap dirinya layak bertindak atas nama anak, atau diwakilkan pada orangtuanya. Kondisi ini diperparah dengan prioritas politik yang tidak mengedepankan kebijakan dan isu-isu anak lantaran dianggap apolitik. Padahal, anak-anak (berusia 17-18 tahun) merupakan konstituen yang berhak memberikan suara dalam pemilu maupun pilkada. Mereka juga pemilih (voter) yang memilih policy makers sebagai pengemban amanah kebijakan publik. Sayangnya, sikap paternalistik birokrat menganggap, selaku abdi negara, mereka diberi legitimasi mengambil keputusan bagi anak. Apalagi struktur birokrasi yang telah mengakar, tidak memberi akses dan fasilitas bagi kemungkinan pelaksanaan partisipasi anak.
Problem partisipasi anak menjadi akut, bila metodologinya hanya mengandalkan anak-anak yang mampu menyampaikan gagasan dan pemikirannya secara verbal, anak-anak yang jago berbicara. Kita lupa bahwa setiap anak memiliki potensi berbeda. Itu berarti, kita bisa menyelami “suara” dan “pandangan” anak melalui puisi, pantun, musik dan lagu, gambar, teater/drama, atau melalui media dan bentuk kreativitas lainnya. Aspek metodologis yang membuka ruang bagi anak berpartisipasi ini terus dikembangkan dan berevolusi. Salah satu yang lazim digunakan adalah metode CCCD (child centered community development) untuk menerapkan KHA sebagai upaya pengarus-utamaan hak anak.

Best Practices
Perlu disesalkan bila masih ada pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik tanpa partisipasi anak, disaat Indonesia justru telah memiliki Rencana Aksi Partisipasi Anak, sebagaimana disebutkan dalam PNBAI 2015. Kita tampaknya masih perlu mengubah paradigma dan pola relasi antara orang dewasa dengan anak, dan antara eksekutif/legislatif dengan anak. Belajarlah dari pengalaman dan praktik-praktik terbaik yang sudah dikembangkan di Afganistan, Yordania, Vietnam, Bangladesh, Uganda, Honduras serta belahan bumi lain. Di tempat-tempat itu, anak-anak telah aktif dilibatkan dalam setiap tahapan siklus program/proyek. Mereka berpartisipasi menyelesaikan masalah putus sekolah, buta huruf, angkutan sekolah, ketersediaan guru, pemberdayaan buruh anak hingga penanggulangan banjir.

Di Indonesia, praktik-praktik cerdas untuk mendorong partisipasi anak juga sudah cukup lama dikembangkan. Pembentukan kelompok-kelompok anak, dewan anak, maupun forum konsultasi anak terbukti telah berkontribusi terhadap advokasi perlindungan anak di tanah air. Dalam usia yang relatif muda, mereka dipercaya sebagai Duta Anak untuk bidang kesehatan, atau Duta Anak yang ikut memerangi pewabahan HIV/AIDS. Ada yang secara aktif memberikan pemikiran bagi terciptanya sekolah ramah anak, pemberantasan korupsi, hingga penghapusan kemiskinan. Sebenarnya, banyak sekali proses pembelajaran yang sudah disumbangkan oleh berbagai kelompok anak. Sebut saja, kelompok “Saribattang” di Makassar, dan Forum Interaksi Anak Takalar (FIAT) di Takalar.
Anak-anak sebagai modal sosial telah menunjukkan bahwa mereka merupakan sumber daya yang mampu memberi inspirasi, motivasi sekaligus solusi. Mereka bukan hanya pewaris bangsa tapi masa depan peradaban itu sendiri. Maka, tak perlu ragu melibatkan anak-anak dalam proses-proses legislasi maupun perencanaan pembangunan. Sudah saatnya anak-anak menjadi aktor dalam pengambilan keputusan dan tidak sekadar menjadi obyek yang pasif. Sudah saatnya penyingkiran sosial yang memberangus hak partisipasi anak tidak lagi terjadi dan berulang.[]

1 komentar:

  1. Assalamu alaikum.
    K'Rusdin masih ingat dengan Forum interaksi ANak Takalar (FIAT), ada Samad, Muhtar, Muhni, dkk...
    mungkin k'rusdin sudah lupa, saya Muhni, wakil takalar kemarin waktu deklarasi anak SulSEl sama Linda.
    Apa kabar k'?
    Semoga baik2 saja...

    saya tadi iseng mencari Forum Interaksi anak takalar, sebagai bagian dari itu, saya mencari kembali beberapa postingan yang menuliskan FIAT, namun cuma ada 2 Tulisan, dan salah satunya tulisan kk.

    Salam Semangat Selalu k'Rusdin, semoga apa yang kita perjuangkan selama ini, menajdi amal ibadah di mata Allah... Amin...
    Wassalam

    BalasHapus