Senin, 28 September 2009

Mengkritisi UU Perlindungan Anak

“Bagi anak-anak yang tidak memiliki keluarga atau perlindungan,
masyarakat adalah penjaga mereka.”
[Muammar Qathafi]

Setelah menunggu selama lebih 12 tahun—dihitung sejak ratifikasi KHA, tanggal 25 Agustus 1990 melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990—kita akhirnya memiliki sebuah undang-undang yang secara legal diharapkan akan melindungi seluruh anak Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini disetujui dalam Sidang Paripurna DPR RI, 23 September 2002, kemudian ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, 22 Oktober 2002. Meskipun undang-undang ini dinyatakan mulai berlaku pada tanggal diundangkan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 93, kenyataannya belum banyak yang mengetahui keberadaan UU Perlindungan Anak tersebut.

Kita memang serba lambat melakukan upaya perlindungan anak dan tidak melihat persoalan anak sebagai bagian dari masalah bangsa yang harus mendapat perhatian serius. Bayangkan saja, kita meratifikasi KHA hanya dengan Keputusan Presiden, yang kedudukan hukumnya lemah. Sosialisasi yang dilakukan menyangkut KHA juga terbilang minim. Ketidaktahuan akan konvensi ini membuat sebagian masyarakat apriori. Mereka menganggap KHA merupakan produk barat, yang membawa misi Amerika Serikat, sehingga tidak cocok dengan nilai-nilai budaya nasional. Padahal, negara Uncle Sam merupakan satu di antara enam negara yang tidak ikut meratifikasi konvensi, disamping Swiss, Oman, Kepulauan Cook, Somalia dan United Arab.
Bandingkan dengan Malaysia yang begitu sigap. Setelah meratifikasi KHA, Malaysia segera membuat Akta Perlindungan Kanak-kanak, tahun 1991. Untuk memberikan perlindungan anak yang efektif, negeri jiran ini memiliki tidak kurang dari 32 undang-undang. Malaysia juga membangun mekanisme rujukan penanganan kasus dengan melibatkan instansi pemerintah, kalangan profesional dan masyarakat. Sebuah upaya habis-habisan yang patut ditiru.

Sebagai bagian integral dari instrumen HAM, KHA diakui merupakan konvensi paling lengkap karena memuat hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, untuk bisa diterapkan di masing-masing negara, konvensi mengamanahkan agar setiap negara peserta mengambil semua langkah legislatif dan administratif serta langkah-langkah lain yang diperlukan. Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan bagian dari political will pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Hanya saja, mengharapkan Undang-Undang Perlindungan Anak akan berjalan efektif, tampaknya masih butuh perdebatan panjang. Masih ada pasal-pasal yang terkesan rancu dan tidak menampakkan kesatuan pandangan dengan pasal-pasal lain. Hal ini bisa mengaburkan semangat penegakkan hukum bagi pelanggar undang-undang ini, sekalipun dicantumkan sanksi pidana dan perdata untuk itu. Singkatnya, boleh dikata, undang-undang ini tidak konsisten menerapkan prinsip-prinsip perlindungan anak.

Kejanggalan ini bukan tidak dirasakan kalangan pemerhati anak. Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengakui UU Perlindungan Anak memiliki kekurangan. Seto mengeritik undang-undang ini karena mencantumkan kewajiban anak dalam salah satu pasalnya. Meski demikian, Seto mengajak semua pihak melihat segi positif dari undang-undang tersebut (Radio 68H, 18/11/2002). Pasal yang dimaksud Kak Seto adalah Pasal 19, yang menyebutkan setiap anak berkewajiban: (a) menghormati orang tua, wali dan guru; (b) mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman; (c) mencintai tanah air, bangsa dan negara; (d) menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan (e) melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Sepintas tidak ada yang janggal dari pasal ini. Bukankah dengan demikian anak-anak tidak saja diperkenalkan pada hak-haknya tapi juga pada kewajiban-kewajiban yang harus dilakukannya? Sesuatu yang selama ini memang diajarkan, bahwa kita jangan hanya tahu menuntut hak tapi juga melaksanakan kewajiban. Kalimat ini sudah menjadi dogma dan terinternalisasi dalam diri setiap orang. Sehingga, kalaupun seorang anak menjadi ‘korban eksploitasi’ orangtua, mereka tidak menyadarinya dan menganggap hal itu sebagai bagian dari sikap dan nilai-nilai yang sudah seharusnya diikuti. Kasus anak-anak yang terpaksa (atau dipaksa?) meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja, atau untuk kawin muda bagi anak-anak perempuan, merupakan sedikit contoh bagaimana anak-anak—dengan alasan menghormati orangtua dan mencintai keluarga—mengikuti keputusan orangtuanya. Anak-anak tidak cukup leluasa mengungkapkan pandangannya karena budaya kita masih menganggap tabu anak-anak mendebat dan bersikap kritis terhadap orangtuanya.

Inilah yang dimaksudkan dengan kerancuan itu dan akan menjadi batu sandungan pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Anak. Akan sulit bagi kita, dan terutama penegak hukum, untuk melakukan intervensi bila pasal menyangkut kewajiban anak ini dipegang dan menjadi alasan orangtua mempekerjakan anaknya. Padahal, pada tataran tertentu, pekerja/buruh anak merupakan bagian dari eksploitasi ekonomi dan dikategorikan sebagai anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Karena itu, Undang-Undang Perlindungan Anak memberikan sanksi kepada setiap orang yang melakukan eksploitasi ekonomi terhadap anak, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta (Pasal 88).

Dalam suasana di mana anak-anak masih berada dalam tekanan sosio-kultural, sulit membayangkan pasal ini bisa memberi harapan bagi pekerja anak, yang terus menunjukkan tren kenaikan. Jadi, tekad Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah (Radio 68H, 18/11/2002) yang mengatakan pada tahun 2003 tidak bisa lagi mempekerjakan anak merupakan pernyataan yang asal omong. Begitu pun, pernyataan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jacob Nuwawea, pada talk show memperingati Hari Relawan Sedunia di “Jakarta First Channel” Radio Trijaya FM, 25 November 2002. Menurut Nuwawea, kita harus punya sikap yang jelas melarang anak-anak di bawah usia 15 tahun bekerja, hanyalah kata-kata penghiburan belaka.

Keinginan kedua petinggi negara itu sulit diterapkan pada masyarakat yang masih sangat menjunjung tinggi paternalisme, di mana kata-kata orangtua seperti titah baginda raja yang harus dipatuhi. Kita akan repot menghadapi pandangan orangtua yang lebih menghendaki anaknya bekerja ketimbang melanjutkan pendidikan. Bahkan, ketika ada indikasi terjadi eksploitasi anak pun, akan sulit untuk menghentikannya. Padahal, menilai terjadi-tidaknya eksploitasi ekonomi bisa dilakukan secara sederhana, yakni apakah anak didengar ketika ia diajak atau disuruh bekerja. Pernyataan kesediaan anak harus merupakan persetujuan kehendak bebas yang dilakukan tanpa tekanan. Bila tidak ada pernyataan kesediaan, atau bila anak tidak pernah diajak berunding dan mendapat gambaran menyangkut konsekuensi atas pekerjaannya maka dapat dikatakan anak berada dalam situasi eksploitasi. Apalagi bila manfaat dari jerih payah anak lebih dinikmati orangtua atau pihak lain, bukan untuk kepentingan anak, misalnya, untuk melanjutkan pendidikannya.

Memang, catatan mengenai konstruksi sosial dan politis tentang masa kanak-kanak (childhood) menyimpulkan bahwa gagasan mengenai anak sebagai pribadi (dalam hal ini sebagai subyek sosial dan politik yang aktif dengan hak untuk mengekspresikan ide/pandangan mereka dan kemudian didengar ide-idenya) belum terlalu tertanam dalam sikap pemerintah maupun masyarakat (White dan Tjandraningsih, 1998). Teks pasal-pasal yang terbaca dalam UU Perlindungan Anak bisa memberikan indikasi kuat ke arah itu. Sebagai produk legislasi nasional, pemerintah dan DPR gagal membuktikan mereka memiliki pandangan komprehensif untuk mengatasi persoalan anak, yang selalu didengungkan sebagai generasi pelanjut masa depan bangsa.

Soal tidak memadainya pengaturan partisipasi anak ini patut disayangkan mengingat hak partisipasi dianggap sebagai alas hak dan menjadi salah satu pilar penting prinsip perlindungan anak. Dalam buku “Memahami Undang-Undang Perlindungan Anak” terbitan Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI (2002), disebutkan, “penghormatan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut hal-hal yang memengaruhi kehidupannya.” Memilih terus bersekolah atau keluar dari sekolah untuk bekerja, atau putus sekolah kemudian kawin merupakan beberapa kasus yang butuh pandangan anak karena akan memengaruhi kehidupannya. Sayangnya, undang-undang tidak cukup mengakomodasi dan mengantisipasi persoalan seperti ini.

Hak anak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya memang disebutkan dalam Pasal 10. Selanjutnya dalam Pasal 24 disebutkan pula, “negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai denga usia dan tingkat kecerdasannya.” Namun, kembali ke Pasal 10, disebutkan hak ini selain dilakukan sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usia anak demi pengembangan dirinya, juga sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Kalimat “nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan” ini sangat nisbi karena tergantung dari cara pandang kita (orang dewasa) terhadap anak dan bagaimana posisi anak dalam budaya masyarakat, yang hasilnya bisa berbeda-beda.

Pasal yang sedikit lebih terang dan jelas mengatur tentang hak partisipasi hanya Pasal 56, yang menyebutkan bahwa: ayat (1) pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak agar anak dapat:
a. berpartisipasi;
b. bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;
c. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak;
d. bebas berserikat dan berkumpul;
e. bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, berkarya seni budaya; dan
f. memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
Selain pasal ini, tidak ada lagi!
Anak-anak tampaknya masih harus menunggu beberapa generasi untuk bisa duduk satu meja dengan orang-orang dewasa membicarakan masalah mereka. Sebab, Undang-Undang Perlindungan Anak sama sekali tidak memberikan jatah bagi kelompok anak berpartisipasi dalam Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisi yang dibentuk dengan maksud untuk mengefektifkan penyelenggaraan perlindungan anak ini, hanya akan terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi masyarakat, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Merekalah yang akan merepresentasikan kepentingan anak.

Terlalu dini mungkin bila kita memberikan penilaian terhadap undang-undang ini yang baru beberapa bulan diberlakukan. Pandangan kritis dalam tulisan ini lebih didorong atas keinginan yang besar agar UU Perlindungan Anak tidak mati suri tapi benar-benar menjadi hukum yang hidup dan berlaku efektif dalam masyarakat. Untuk itu, barangkali kita bisa belajar dari kasus yang terjadi di Brasil (Kompas, 3/7/2002). Negara penggila sepak bola ini semula dijejali persoalan anak jalanan, penyiksaan anak, perdagangan anak dan sebagainya. Kini situasinya berubah. Setelah reformasi perlindungan anak yang melibatkan partisipasi masyarakat, terutama dalam melakukan monitoring dan evaluasi, terasa ada perbaikan dan manfaatnya.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar