Senin, 28 September 2009

Meninjau Ulang Hak Anak dalam Amandemen UUD 1945

“Cara suatu masyarakat memperlakukan anak, tidak hanya mencerminkan kualitas rasa iba,
hasrat untuk melindungi dan memperhatikan anak, namun juga mencerminkan kepekaannya akan rasa keadilan, komitmennya pada masa depan dan peranan penting anak sebagai generasi bangsanya.”
[Javier Perez de Cuellar]

Eskalasi tuntutan terhadap perubahan konstitusi yang menguat pasca bergulirnya reformasi, telah menjadi kenyataan. Banyak kalangan berkomentar, perubahan konstitusi yang disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI, 2002, merupaka kehendak sejarah yang sulit ditahan. Sebagian malah menganggap perubahan konstitusi sudah menjadi ketetapan Tuhan Yang Maha Esa. Perubahan ini merupakan penyempurnaan dan perbaikan terhadap UUD 1945 sehubungan adanya perubahan zaman yang pesat dan mendasar. Menurut Ketua MPR, Amien Rais, apabila hasil perubahan konstitusi dijalankan secara konsisten akan menjamin terciptanya negara Indonesia yang demokratis dan melindungi hak asasi manusia. Pada Pembukaan Sidang Tahunan MPR RI, 1 Agustus 2003, itu Amien Rais seperti hendak menegaskan kembali kata-katanya dulu bahwa reformasi konstitusi yang sudah dilakukan menunjukkan bangsa ini telah semakin demokratis, lebih maju dan modern.
Kata “demokrasi” dan “HAM” memang merupakan kata kunci yang menjadi roh perjuangan kalangan pro-demokrasi. Selama masa Orde Baru, dua kata ini seolah kehilangan tempat berpijak dan tabu diungkap sebagai wacana publik. Kini, sistem yang memungkinkan pemerintah bisa menjalankan kekuasaannya secara represif dan manipulatif telah berlalu. Tapi, yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah amandemen ini juga akan membawa iklim demokratis pada level anak, dan seberapa memadaikah perlindungan terhadap hak-hak anak dalam konstitusi baru kita?
Pertanyaan ini dikemukakan sebagai bentuk kegelisahan penulis atas konsepsi hak anak, yang secara spesifik disebutkan dalam Pasal 28B ayat (2). Pasal dimaksud menyebutkan, “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Jelas sekali ada yang kurang dari hasil rumusan, yang disahkan sebagai perubahan kedua UUD 1945 ini, yakni tidak disebutkannya “hak partisipasi anak”. Padahal hak berpartisipasi (participation), dalam kategori KHA, merupakan satu dari empat hak anak yang terpenting, disamping hak atas kelangsungan hidup (survival), tumbuh kembang (development) dan perlindungan (protection). Prinsip umum perlindungan anak meletakkan partisipasi dan non-diskriminasi sebagai alas hak yang tidak bisa diabaikan. Artinya, mustahil tumbuh-kembang anak bisa tercapai bila ada pembedaan perlakuan hanya karena alasan etnisitas, agama, jenis kelamin, warna kulit dan lain-lain. Begitu pun, kita tidak bisa berdalih untuk kepentingan terbaik anak, bila kita tidak pernah memberi ruang bagi anak mengemukakan pendapatnya. Dengan mendengar pendapat anak maka kepentingan anak akan terlindungi. Bila anak terlatih mengemukakan pendapat, mereka akan mampu berpikir logis dan bersikap kritis, disamping akan terbangun semangat dialogis sejak dini, yang nanti menjadi cikal bakal tumbuhnya nilai-nilai demokrasi pada diri anak.
Dengan tidak dicantumkannya hak anak untuk berpartisipasi, dapat dikatakan hasil amandemen UUD 1945 belum memenuhi prinsip indivisible dari HAM, bahwa hak seseorang tidak dapat dibagi-bagi. Maksudnya tidak bisa hak seseorang diberikan hanya sebagian saja dan sebagian lainnya tidak. Sebab, hak seseorang melekat sejak kelahirannya.
Sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, Indonesia mestinya konsekuen dan memiliki tanggung jawab moral untuk mengimplementasikan pasal-pasal konvensi. Dalam kaitan dengan hak berpartisipasi, negara mestinya menghormati, mengakui dan menjamin pelaksanaannya. Hak partisipasi itu menyangkut, misalnya, hak untuk secara bebas menyatakan pendapat dan didengar (Pasal 12 dan 13), hak atas kebebasan berpikir (Pasal 14) serta hak atas kebebasan berkumpul dan berhimpun secara damai (Pasal 15). Hak partisipasi, sebagai bagian dari hak-hak sipil (dan politik) anak, harus dipenuhi terutama bila akan memengaruhi kehidupan mereka. Hal ini sudah menjadi tuntutan anak-anak dari seluruh dunia, yang merupakan hasil perhitungan petisi Say Yes For Children. Petisi yang dituangkan dalam Dokumen New York berjudul “A World Fit for Children”, bulan Mei 2002, secara tegas menyebutkan pengutamaan anak disetiap kebijakan pemerintah dengan melibatkan partisipasi anak.
Pengakuan terhadap hak partisipasi anak tidak bisa dianggap sepele karena memiliki signifikansi pada upaya-upaya perlindungan anak, terutama anak-anak dalam situasi khusus (children in need of special protection). Sebagai contoh, pada kasus anak yang terlibat konflik dengan hukum, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak menjamin bahwa seorang anak yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana, berhak untuk memilih sendiri penasihat hukumnya, berhak mengajukan saksi bahkan menuntut ganti rugi.
Masih banyak contoh lain yang membuktikan perlunya mempertimbangkan pendapat anak, termasuk dalam hal ini pendapat anak perempuan untuk memilih pasangan hidupnya yang dijamin dalam KHA dan CEDAW. Bahkan, hak partisipasi anak dalam bidang politik diakui dengan memberikan kesempatan bagi anak usia 17 tahun memberikan suaranya pada saat pemilu. Jadi, alangkah naifnya bila ketidaksetujuan anggota MPR memasukkan hak partisipasi anak dalam amandemen UUD 1945 didasarkan pada pertimbangan bahwa hak itu tidak mendesak dan terlalu kebarat-baratan, sebagaimana disampaikan Muhammad Joni, anggota Komnas Perlindungan Anak, saat sosialisasi UU Perlindungan Anak, di Makassar, 7 Oktober 2002 lalu.
Substansi hak anak yang tercantum dalam rumusan Pasal 28B ayat (2) juga kurang lengkap karena seolah-olah hanya memandang anak perlu mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Mestinya, perlindungan yang diberikan negara terhadap anak, sebagai salah satu kewajiban generik negara, juga meliputi perlindungan dari “eksploitasi” dan “penelantaran”. Hal ini perlu disebutkan secara gamblang agar kehadiran pasal ini menjadi payung hukum yang kokoh bagi upaya perlindungan anak. Sebab, posisi anak-anak yang rentan dan tergantung sebagai akibat hubungan yang tidak setara antara anak dan orangtua bukan hanya membuat anak berpotensi menjadi korban kekerasan dan diskriminasi tapi juga eksploitasi ekonomi dan seksual serta penelantaran.
Konstruksi sosial, yang menempatkan anak subordinat terhadap orang tua, memungkinkan orang tua “berhak” melakukan apa saja pada anaknya, meski tanpa disadari merugikan anak. Kasus anak-anak yang bekerja pada sektor informal, yang diakui orangtua sebagai tradisi, jelas akan menjadi bias manakala orangtua “mempekerjakan” anak tanpa memperhatikan pendidikan anaknya. Kasus-kasus seperti ini bisa ditemui pada anak-anak yang bekerja sebagai nelayan atau kegiatan-kegiatan agraris lainnya. Pandangan bahwa anak sebagai milik orangtua, sebagai aset yang bisa didayagunakan, merupakan titik kritis yang mengancam kehidupan anak. Ini semua harus diwaspadai. Karena itu, dengan memasukkan kata “eksploitasi” dan “penelantaran” diharapkan akan mencegah dan mengeliminir potensi yang mungkin dapat menciderai hak-hak anak. Bagaimanapun, tindakan eksploitasi, diskriminasi, kekerasan, dan penelantaran merupakan bentuk-bentuk perlakuan yang menurunkan martabat anak sebagai manusia.
Berbeda dengan UUD 1945 yang secara tegas menyebutkan “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” (Pasal 34), dalam ‘UUD 2002’ rumusan kalimat seperti itu tidak ada lagi. Pasal yang relevan dengan hal ini diperluas, sehingga hak atas jaminan sosial bukan saja diperuntukkan bagi “fakir miskin” dan “anak-anak terlantar” tapi untuk setiap orang (Pasal 28H).
Pengaturan menyangkut perlindungan yang bersifat umum juga bisa dibaca dalam rumusan Pasal 28I, yang menyebutkan bahwa “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Masalahnya, dengan tidak menyebutkan secara terang dan jelas soal hak anak, akan sulit bagi kita membangun kesadaran kolektif untuk melakukan upaya yang sistematis bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Bukankah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengakui anak merupakan kelompok masyarakat rentan, yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya?
Telaah ringkas ini hendak memperlihatkan kepada kita bahwa hasil amandemen UUD 1945 yang kita banggakan itu, ternyata kurang memiliki perspektif anak. Sehingga, bisa disimpulkan pula bahwa anggota MPR RI yang melakukan perubahan dan menetapkan amandemen UUD 1945 itu juga kurang memiliki perspektif anak. Sebab, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa untuk mengerti sungguh-sungguh maksud UUD dari suatu negara, kita harus mempelajari bagaimana terjadinya teks itu, harus mengetahui keterangan-keterangannya dan juga harus mengetahui suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) ketika UUD itu dibikin. Tentu tidak ada kata terlambat untuk mengkaji ulang pasal-pasal UUD (ioi constitutionalle) yang berkenaan dengan hak-hak anak. Bila perlu MPR RI segera melakukan perubahan kelima agar konsepsi perlindungan anak dalam amandemen yang dilakukan lebih utuh.
UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi (groundnorm), tentu sangat diharapkan menjadi produk hukum yang sempurna karena ia akan menjiwai peraturan perundang-undangan di bawahnya. Jadi, bila UUD telah mengakui hak-hak anak maka sudah semestinya semua kebijakan pemerintah mengacu kepadanya. Dengan berpihak pada kepentingan terbaik anak maka sesungguhnya MPR RI, sebagai penjelmaan seluruh rakyat, telah meletakkan dasar yang kuat bagi keberlangsungan bangsa ini.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar