Sabtu, 26 September 2009

Menakar Visi Anak Kandidat Walikota Makassar

Oleh Rusdin Tompo
(Aktivis hak anak & anggota KPID Sulsel)

”Kalau anak-anak dibiasakan jujur dan merasakan keadilan dalam kehidupannya,
mereka akan belajar kebenaran dan keadilan.”
(Dorothy Low Nolte)

Jauh sebelum kampanye resmi Pemilihan Walikota/Wakil Walikota Makassar tahun 2008 dihelat, salah satu pasangan calon mencoba mengesankan kepedulinnya terhadap anak-anak dengan mengutip puisi klasik karya Dorothy Law Nolte, ”Children Learn What They Live”. Pasangan ini memanfaatkan momentum Hari Anak Nasional, 23 Juli lalu, tampil dalam iklan satu halaman, lengkap dengan baris-baris puisi yang ditulis pertama kali tahun 1954 itu. Puisi yang sudah dianggap sebagai salah satu warisan dunia tersebut memang telah menjadi panduan, menginspirasi, sekaligus memberi peringatan kepada kita—para orangtua—bahwa anak-anak belajar banyak hal dari lingkungan sosial di mana ia berada.
Kandidat lain, juga berusaha mengirim pesan lewat iklan tentang figur ayah yang peduli dan orangtua yang melindungi dalam pose dirinya tengah menggendong seorang anak. Yang lain membuat analisa sosial bagaimana kelaparan bisa sampai merenggut nyawa anak-anak, mati dalam kehinaan akibat gizi buruk. Selebihnya, kita menyaksikan kegiatan tebar pesona para kandidat ke panti asuhan, sekadar melambaikan tangan ”daag”, sembari tersenyum atau memberikan sembako. Selebrasi politik dengan cara mengunjungi orang sakit, kampung-kampung kumuh, miskin dan papa ini lazim dilakukan sebagai upaya pencitraan untuk merebut simpati pemilih.

Peta Masalah
Harus diakui, sebagian besar dari kita mengandalkan basis informasi tentang apa yang dilakukan dan akan dilakukan ketujuh pasang calon dari iklan, liputan media, maupun program-program yang berkaitan dengan pilkada di lembaga penyiaran. Dari situ, kita tahu sedikit tentang visi misi pasangan Ilham Arief Sirajuddin-Supomo Guntur (IASmo), juga pasangan Idris Manggabarani-Adil Patu (Idial), Halim Abdul Razak-Jafar Sodding (Mantap Mentong), Ridwan Syahputra Musagani-Irwan A. Paturusi (RI), Firmansyah Mappasawang-Kasma F. Amin (PASmi), Iriantosyah Kasim-Abdul Razak Djalle (berIKRAR), dan pasangan Ilham Alim Bachri-Herman Handoko (Idola). Secara garis besar dapat dikatakan, hanya sedikit dari mereka yang memiliki program berkaitan dengan pemenuhan hak-hak anak dan upaya perlindungan anak. Bahkan, ada yang sama sekali tidak memiliki visi perlindungan anak.
Jika merujuk pada Konvensi Hak Anak (KHA), tampak bahwa beberapa program kandidat punya kaitan dengan hak anak. Mari kita simak bersama: program bebas biaya persalinan, relevan dengan hak atas kelangsungan hidup dan berkembang; program akta kelahiran gratis, sejalan dengan hak mendapatkan nama, hak atas identitas, dan hak mendapatkan kewarganegaraan; program gelanggang remaja (termasuk di dalamnya anak-anak berusia 14-18 tahun), berkaitan dengan pemenuhan hak berekreasi, serta hak berpartisipasi dalam kegiatan seni dan budaya. Selanjutnya, program layanan kesehatan gratis/cepat dan bermutu, bisa disandingkan dengan hak mendapatkan standar kesehatan yang paling tinggi.
Sedangkan, menyangkut program pendidikan, tidak semua kandidat menjanjikan pendidikan gratis. Ada yang menyebut pendidikan bersubsidi, ada pula pendidikan yang terjangkau dan berkualitas. Namun, KHA secara tegas menjamin hak anak mendapatkan pendidikan dasar cuma-cuma. Program lain, yang punya kaitan dengan hak anak adalah program bantuan hukum gratis, yang cocok dengan hak anak mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami konflik hukum. Terakhir, program yang juga bisa disebut senapas dengan pemenuhan hak anak, yakni program penuntasan kemiskinan. Program ini bertalian langsung maupun tidak langsung dengan hak anak mendapatkan standar hidup yang layak.
Laiknya permainan puzzle, program-program di atas tidaklah terpisah satu dengan lain. Ia merupakan sebuah gambar yang jalin-menjalin membentuk sebuah peta masalah anak. Program akta kelahiran, punya benang merah dengan upaya perlindungan terhadap anak-anak yang mengalami konflik hukum. Akta kelahiran sebagai akta otentik, akan menjadi petunjuk tentang usia anak, yang menentukan yurisdiksi hukum bahwa anak bersangkutan harus diproses sesuai ketentuan dalam hukum Peradilan Anak. Lebih dari itu, akta kelahiran merupakan pengakuan legal pertama negara atas seorang anak.
Akta/pencatatan kelahiran akan menjadi sumber statistik vital bagi perencanaan pembangunan, penyusunan anggaran dan pembuatan regulasi. Berapa kebutuhan imunisasi untuk balita, berapa jumlah anak yang akan masuk SD enam sampai tujuh tahun ke depan, termasuk penyediaan buku-buku, guru dan sekolah, hanya bisa diperkirakan secara cermat bila pencatatan kelahiran kita bagus. Begitupun menyangkut layanan kesehatan, ketersediaan pangan dan perumahan, sistem transportasi, serta perencanaan dan pemenuhan atas sektor-sektor publik lainnya. Maka, membebaskan biaya pengurusan akta kelahiran tidak saja berguna bagi anak-anak dan masyarakat, tapi sebenarnya juga sangat penting dan bermakna strategis bagi pemerintah itu sendiri.
Dalam banyak kasus membuktikan, rendahnya pencatatan kelahiran berkaitan dengan faktor ekonomi sebagai salah satu alasannya. Rentang birokrasi yang panjang acapkali menambah biaya pengurusan akta kelahiran menjadi mahal, apalagi bila ada pungutan liar di sana-sini. Bagi mereka yang miskin, praktik birokrasi yang koruptif ini seolah melengkapi daftar beban hidup baru, disamping lilitan masalah pokok soal tuntutan kebutuhan sembako sehari-hari. Lalu, bagaimana pemerintah bisa memutus mata rantai kemiskinan bila anak-anak yang baru lahir tidak teregistrasi di Kantor Catatan Sipil, dan berarti tidak terhitung dalam perencanaan anggaran pembangunan? Padahal, kemiskinan memunculkan selaksa risiko bagi anak-anak.
Anak-anak yang lahir dari rahim keluarga-keluarga miskin berpotensi mengalami kemiskinan struktural dan menimbulkan lingkaran setan kemiskinan. Menurut pakar gizi Universitas Hasanuddin, Razak Thaha (2003), anak-anak itu pada gilirannya akan melahirkan pula generasi berikutnya dengan nasib yang sama secara herediter. Herediter, karena nasib itu diturunkan melalui gen-gen yang telah mengalami mutasi, yang terjadi secara spesifik pada kelompok miskin sebagai kelompok gen baru, yaitu “gen-gen kemiskinan”.
Sebagai orang miskin dengan kemampuan daya beli rendah, kelompok ini tentu mengalami keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Tidak ada daftar menu 4 sehat 5 sempurna dalam catatan belanja mereka. Akibatnya, asupan gizi anak-anak mereka tidak tercukupi. Rendahnya status gizi anak akan mempengaruhi ketahanan tubuhnya dari paparan berbagai penyakit. Bila pemberian ASI eksklusif juga rendah maka akan membuat otak anak manjadi kosong secara permanen. Anak-anak seperti ini, menurut Ascobat Gani, Guru Besar Fakultas Kesejahteraan Masyarakat UI, tidak bisa berpikir atau menangkap pelajaran dengan baik sebagaimana anak-anak yang terpenuhi gizinya. Tidak bisa belajar dengan baik akan berdampak pada kualitas SDM, yang pada level berikut berkaitan dengan aspek ketenagakerjaan dan pengangguran. Dua masalah terakhir jelas punya rentetan potensi masalah baru secara sosial, ekonomi, politik, hukum dan keamanan.
Lihat saja angka-angka buta huruf, kasus-kasus putus sekolah, data pekerja anak, persoalan perkawinan dini di kalangan anak perempuan, anak-anak yang dilacurkan, anak jalanan, anak-anak yang diperdagangkan, anak-anak yang terlibat kriminal, kekerasan pada anak, dan—sudah pasti—persoalan malnutrisi sampai ancaman kematian. Jika dilacak penyebabnya, akan bertemu pada lorong buntu yang sama, bernama kemiskinan. Sekalipun tidak selalu kemiskinan menjadi penyebab tunggal dan utama.

Intervensi Politik
Salah satu pesan utama konvensi adalah menempatkan masalah anak sebagai masalah politis yang hanya akan berubah melalui kebijakan politik dan harus dicantumkan pada prioritas tinggi dalam agenda politik setiap negara. Masalahnya, isu anak hingga kini cenderung dianggap sebagai persoalan privat atau domestik. Karena itu, tidak pernah disikapi secara serius. Padahal, isu domestik yang sering dikatakan sebagai a-politik, sebenarnya merupakan isu publik yang politis (Sularto, ed., 2000).
Untuk itu, strategi kebijakan pembangunan kita sudah harus direformasi dengan pembangunan yang bertumpu pada pendekatan siklus kehidupan manusia, di mana masing-masing siklus mempunyai risiko-risiko yang harus diwaspadai. Mengingat, siklus kehidupan manusia dimulai sejak janin dalam kandungan maka investasi, perhatian utama dan pendekatan diberikan sejak saat itu (Kleden, dkk., 1999). Perlindungan terhadap mereka sudah harus secara serius diberikan sampai mereka lahir dan mengecap kehidupan sebagai seorang anak. Perlindungan terhadap anak dilakukan karena secara fisik, mental, dan sosial anak-anak sangat rawan dan tergantung, sebagaimana paparan sebelumnya.
Karena itu, dibutuhkan keberpihakan dan komitmen politik perlindungan anak untuk menyusun kebijakan menyeluruh guna menuntaskan tumpukan masalah anak. Politik anggaran kita juga mesti lebih pro child budget. Walikota terpilih harus memastikan bahwa kebutuhan serta kepentingan setiap anak laki-laki dan perempuan dapat ditanggulangi melalui anggaran dalam berbagai bidang dan sektor kehidupannya. Ini sebagai implementasi dari kewajiban generik negara terhadap warga negaranya. Jadi, program-program ini tidak disusun atas belas-kasihan dan amal-derma pemerintah.
Maka, gunakanlah hak pilih Anda untuk melakukan intervensi politik. Buatlah keputusan politik yang cerdas dan kritis saat hari “H” pencoblosan nanti. Berikan penghukuman politik sebagai efek jera, dengan tidak memilih kandidat walikota Makassar yang tidak memiliki kepedulian pada pemenuhan hak-hak dan isu perlindungan anak. Vote for Children![]

Makassar, 24 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar