Senin, 28 September 2009

Ensiklopedia Anak

A. DIDID ADI DANANTA, lahir di Suarakarta, 5 Februari 1962. Minatnya yang besar dalam hal pelayanan dan pengembangan masyarakat miskin perkotaan, khususnya anak-anak jalanan, membuatnya untuk total menjalankan kerja melalui jalur LSM. Lewat Yayasan Humana yang didirikannya di Yogyakarta, Didid merupakan salah satu perintis sekaligus implementator konsep “rumah tinggal” pada program pendampingan anak-anak jalanan di Indonesia. Didid terpilih sebagai Fellow Ashoka tahun 1988.

AKTA, dalam ilmu hukum, adalah suatu surat atau pernyataan tertulis untuk dijadikan bukti. Akta yang sempurna dan terkuat adalah akta otentik, atau akta resmi karena mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewejs). Akta otentik ini dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut. Pejabat umum yang dimaksud ialah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, dan Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgerlijke Stand).

AKTA KELAHIRAN, adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil, yang memuat kutipan tentang nama, tempat tanggal lahir, orangtua, dan kewarganegaraan seorang anak. (lihat: Akta dan Pencatatan Kelahiran)

ANAK, menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

ANAK ANGKAT, anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

ANAK ASUH, adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orangtuanya atau salah satu orangtuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.

ANAK JALANAN, adalah anak-anak yang menjadikan jalanan (dalam pengertiannya yang paling luas, termasuk pemukiman dan tanah kosong) sebagai tempat tinggal mereka yang sesungguhnya, lebih dari keluarga mereka sendiri, tanpa perlindungan, pengawasan maupun pengarahan orang dewasa yang bertanggung jawab atas diri mereka. Definisi lain menyebutkan, anak jalanan adalah mereka yang dukungan keluarganya semakin lama semakin berkurang, dan harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarga mereka dengan cara bekerja di jalanan dan pasar. Untuk anak-anak seperti ini, rumah bukan lagi tempat mereka bermain, berbudaya dan hidup sehari-hari.

Sekalipun Konvensi Hak Anak, yang diratifikasi pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990, menyebutkan yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang berusia 0-18 namun dalam penentuan batas usia anak jalanan berbeda-beda. Batasan usia anak ini didasarkan pada pertimbangan kepentingan kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak. Departemen Sosial (Depsos), misalnya, membatasi anak jalanan hanya pada mereka yang masih berusia 7-15 tahun. Sedangkan aktivis anak, Odi Shalahuddin, mendefinisikan anak jalanan sebagai ”seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya”.

Adanya perbedaan pemahaman yang cukup berarti antara masyarakat, pemerintah maupun aktivis Ornop (Organisasi Non Pemerintah) anak, terutama menyangkut batasan umur, hubungan anak dengan keluarga dan kegiatan yang dilakukan menjadi salah satu penyebab sulitnya memastikan jumlah anak jalanan. Penyebab lainnya, adalah karena mobilitas anak jalanan yang tinggi, sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Selain itu, juga karena hingga kini masih terjadi perbedaan pemahaman

Anak jalanan memang bukanlah kelompok yang homogen. Karakteristik anak jalanan bervariasi sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan (pemulung, tukang semir sepatu, penjual koran, pengamen dan sebagainya), hubungan dengan orangtua dan orang dewasa lain (mereka yang mempunyai orangtua dan selalu pulang ke rumah atau setidaknya sesekali pulang ke rumah, dan mereka yang telah putus hubungan dengan keluarga), serta berdasarkan lama dan kegiatan yang dilakukan di jalanan (sejumlah anak pergi ke sekolah dan bekerja di jalanan sebelum atau sesudah jam sekolah. Lainnya tidak bersekolah dan menghabiskan sebagian besar waktunya dengan bekerja di jalanan). Mereka yang biasanya disebut sebagai anak jalanan ’sejati’ adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja dan bersosialisasi dengan orang lain.

Berdasarkan hasil kajian lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan atas tiga kelompok:

Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi─sebagai pekerja anak─di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orangtuanya (Soedijar, 1984; Sanusi, 1995). Fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu menyangga dan memperkuat ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orangtuanya.

Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa di antara mereka masih mempunyai hubungan dengan orangtuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak di antara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab─biasanya kekerasan─lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial-emosional, fisik maupun seksual.

Ketiga, children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi─bahkan sejak masih dalam kandungan.

Dalam Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan (1999), pemerintah mengelompokkan anak jalanan atas:

1. Anak yang hidup di jalan, yakni anak yang sudah putus hubungan dengan orangtua dan tidak sekolah maupun sekolah.
2. Anak yang bekerja di jalan, yakni anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orangtuanya dan sudah tidak maupun masih sekolah.
3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, yakni anak yang masih tinggal dengan orangtuanya namun sudah mencari nafkah di jalan dan umumnya masih sekolah.

ANAK PINGGIRAN, adalah anak-anak yang dalam kesehariannya hidup tanpa jaminan rasa aman dan nyaman dengan fasilitas yang minim dan kurang layak. Di kota-kota besar, antara lain, seperti Jakarta, anak-anak tersebut tinggal di pemukiman kumuh di pinggiran kali, belakang gedung, pinggiran rel kereta api, di antara buangan sampah, dan di tempat-tempat umum seperti stasiun, pasar, dan tempat terbuka lainnya. Sebagian besar dari mereka sudah harus menanggung sendiri biaya hidupnya dengan bekerja entah sebagai pengamen, pengasong, pemulung, kuli, buruh, pembantu rumah tangga, atau lainnya. Bahkan sebagian besar dari mereka sudah harus menjadi pilar penyangga ekonomi keluarga. Beban yang sudah berat tersebut masih bertambah berat lagi ketika anak-anak tersebut harus berhadapan dengan sikap sinis, pandangan negatif masyarakat dan perlakuan kasar serta kekerasan tindakan aparat.
Dengan demikian istilah “pinggiran” mengacu pada kondisi akibat dari pola kebijakan pemerintah dan tatanan masyarakat yang tidak adil. “Pinggiran” juga mengacu pada proses pembangunan yang menjauhkan anak dari hak-hak dasarnya, mencakup hak kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak untuk mendapatkan pendidikan, perlindungan dan hak untuk berpartisipasi.

Dalam istilah “anak pinggiran”, terkandung maksud yang lebih substansif menyangkut ketidakadilan struktutral, kultural dan tindakan represi fisik. Selama bertahun-tahun dominasi dibangun dari kerangka berpikir penguasa yang cenderung mengambil jarak dengan persoalan dalam masyarakat. Kekuasaan menanamkan pemahaman bahwa kondisi buruk yang ditanggung anak-anak merupakan keniscayaan dan tidak terkait dengan kebijakan di tingkat makro yang diputuskan segelintir elit politik, teknokrat dan birokrat. (lihat: Sanggar Anak Akar)

ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM, adalah anak yang terpaksa berkontak dengan sistem peradilan pidana karena:
1. Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum; atau
2. Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau
3. Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.

ANAK SEBAGAI PELAKU, adalah anak yang disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan memerlukan perlindungan.

ANAK SEBAGAI KORBAN, adalah anak yang telah mengalami penderitaan fisik/psikis/seksual/sosial, akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya, dan memerlukan perlindungan.

ANAK SEBAGAI SAKSI, adalah anak yang telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.

ANWAR SOLIHIN, adalah Kepala Divisi Advokasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur. Ia juga menduduki jabatan sebagai Direktur Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan (LPKP) Malang. Sebagai seorang aktivis LSM senior, banyak program penanganan pekerja anak telah dilakukan di bawah koordinatornya, seperti kegiatan pelatihan para pendamping pekerja anak, kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin, dan kegiatan advokasi bekerjasama dengan UNICEF, ILO-IPEC, terre Des Home Nederlands, AusAID, FADO Belgia, Kanada, dan lembaga donor lain.

ANAK TERLANTAR, adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial, yang karena suatu sebab orang tua, orangtbua angkat, atau orang tua asuhnya melalaikan kewaibannya.

ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM, meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana.

ANAK YANG MENYANDANG CACAT, adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

Pemerintah telah merencanakan berbagai program penanganan untuk anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (Depsos RI, 2003), berupa:

Program pelayanan langsung untuk anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus dan lingkungan sosialnya.

1. Penarikan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus dari lingkungan keluarganya. Penarikan ini dapat dilakukan dengan cara pendekatan manusiawi maupun dengan tindakan hukum oleh lembaga yang berwenang.

2. Perlindungan sementara bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus baik karena situasi darurat maupun setelah dilepaskan dari situasi eksploitasi. Dalam program ini disediakan pelayanan yang mencakup:
a. penyediaan pangan berupa bantuan makanan, makanan tambahan, peningkatan gizi, dsb.
b. penyediaan sandang berupa pakaian, dsb.
c. perumahan berupa keluarga pengganti, kamp-kamp darurat, panti sosial, fasilitas yang ada di masyarakat, dsb.
d. pelayanan kesehatan mencakup pemeriksaan kesehatan, penyediaan obat, dan pendidikan hidup sehat.
e. pendidikan mencakup akses pada pendidikan formal maupun penyediaan pendidikan non formal jika diperlukan.

3. Penyembuhan dan Pemulihan (Rehabilitasi), untuk mengembalikan peranan sosial anak yang hilang dalam masa berada dalam situasi sulit. Rehabilitasi mencakup kegiatan pelayanan penyembuhan dan pemulihan fisik, mental, sosialnya. Rehabilitasi dilakukan berbasiskan panti sosial maupun berbasiskan masyarakat.

4. Pembelaan kepada anak-anak yang mengalami konflik dengan hukum, sehingga dalam prosesnya mereka tetap memperoleh hak-haknya dan diperlakukan sesuai dengan hak-haknya. Pembelaan dilakukan mulai dari penyelidikan, penyidikan, dan proses sesudahnya.

5. Penyatuan kembali (Reintegrasi/Reunifikasi) anak dengan keluarganya baik keluarga asli maupun keluarga pengganti jika keluarga aslinya tidak ada. Keluarga pengganti berupa keluarga angkat maupun panti sosial. Pelayanan penguatan dalam bentuk bimbingan sosial maupun bantuan permodalan diperlukan bagi keluarga yang telah menerima anaknya lagi. Sedangkan anak yang masuk panti sosial memperoleh pelayanan yang biasa dalam panti sosial tersebut. Jika diperlukan, dapat dikembangkan panti sosial khusus untuk menampung dan menangani anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus.

6. Tindak lanjut, yaitu pelayanan lanjutan untuk memperkuat atau mempertahankan kondisi yang telah dicapai anak dalam situasi atau lingkungan barunya, baik keluarganya maupun panti sosial.

Program-program penunjang.
Untuk dapat mempekuat upaya pelayanan langsung kepada anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus dan lingkungan sosialnya, diperlukan program-program penunjang, sebagai berikut:

1. Penyediaan perangkat-perangkat hukum yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan perlindungan anak, seperti:
a. Sosialisasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
b. Penyusunan perangkat-perangkat Undang-Undang berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan sebagainya.

2. Penegakan Hukum oleh aparatur penegak hukum terhadap berbagai kasus perlindungan bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang bersumber pada peraturan perundangan yang berlaku.

3. Advokasi mengenai perubahan-perubahan kebijakan dan program yang mendukung bagi upaya pencegahan dan perlindungan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Advokasi dilakukan kepada semua pengambil keputusan pada sektor-sektor pemerintah yang terkait dengan permasalahan ini.

4. Pengembangan Sistem Informasi yang menyediakan berbagai data dan informasi tentang perlindungan anak yang terus-menerus diperbarui dan berbagai laporan-laporan kasus pelanggaran hak anak. Jenis informasi yang disediakan mencakup permasalahan perlindungan anak, direktori lembaga-lembaga penyelenggara perlindungan anak dan program-programnya, serta laporan-laporan yang relevan.

5. Pelatihan bagi Para Penyedia pelayanan perlindungan anak, baik para pekerja Orsos/LSM, aparatur penegak hukum, dan birokrasi pemerintah yang terkait. Pelatihan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi berbagai permasalahan perlindungan anak.

6. Kampanye Sosial/Penyadaran Masyarakat agar mereka mempunyai daya tanggap dan tindakan dalam upaya mencegah dan melindungi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Kampanye Sosial/Penyadaran Masyarakat dilakukan melalui sosialisasi dan kampanye baik yang dilakukan secara terbuka melalui media massa maupun media tradisional.

7. Pendidikan Orangtua melalui penyuluhan, bimbingan, maupun pelatihan agar mereka dapat meningkatkan kemampuan dalam memenuhi hak-hak anak, menghindari berbagai pelanggaran hak anak, dan mempunyai daya tanggap terhadap keadaan lingkungan sekitarnya.

8. Pengembangan jaringan kerja, dengan berbagai lembaga pemerintah, LSM, maupun perguruan tinggi yang mempunyai tanggung jawab dan peran dalam perlindungan anak yang membutuhkan perlindungan khusus sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

ANAK YANG MEMILIKI KEUNGGULAN, adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa.

ANAK YANG TERPAKSA BEKERJA, adalah anak yang berumur di bawah 14 tahun karena alasan sosial ekonomi terpaksa bekerja untuk menambah penghasilan baik untuk keluarga maupun memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Anak yang terpaksa bekerja harus mendapat izin orang tua/wali/pengasuh. Anak yang terpaksa bekerja boleh dipekerjakan kecuali sebagai berikut :
a. Di dalam tambang, lobang di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat mengambil logam dan bahan-bahan yang lain di dalam tanah. Pekerjaan di kapal sebagai tukang api atau tukang batu bara.
b. Pekerjaan di atas kapal, kecuali bila ia bekerja di bawah pengawasan ayahnya atau seseorang keluarga sampai dengan derajat ketiga.
c. Pekerjaan mengangkat barang-barang berat.
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan alat-alat produksi dan bahan-bahan yang berbahaya.

Pengusaha wajib bertanggung jawab terhadap anak yang terpaksa bekerja. Pengusaha yang mempekerjakan anak yang terpaksa bekerja wajib melaporkan kepada Departemen Tenaga Kerja. Pengusaha yang mempekerjakan anak yang terpaksa bekerja wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Tidak mempekerjakan lebih dari 4 jam sehari.
b. Tidak mempekerjakan pada malam hari.
c. Memberikan upah sesuai dengan peraturan pengupahan yang berlaku.
d. Memelihara daftar nama, umur dan tanggal lahir, tanggal mulai bekerja dan jenis pekerjaan yang di lakukan.

Perusahaan yang mempekerjakan anak yang terpaksa bekerja wajib melaporkan secara tertulis kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat.

ARIF GOSITA, dilahirkan pada tanggal 14 April 1930 di Yogyakarta. Pendidikan tingginya diperoleh di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia lulus tahun 1962, serta Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda (1967-1968). Hingga kini ia mengajar mata kuliah Hukum Perlindungan Anak dan Viktimologi di Universitas Indonesia, Universitas Pancasila, Universitas Tarumanegara, Universitas Trisakti, dan Universitas Kristen Indonesia. Sebagai dosen, Arif banyak menulis serta mengikuti berbagai seminar di dalam dan luar negeri mengenai masalah viktimologi dan hukum perlindungan anak. Bukunya yang berkaitan dengan anak, antara lain, Masalah Perlindungan Anak, diterbitkan oleh Akademika Presindo, Jakarta, tahun 1989.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar