Sabtu, 26 September 2009

Prinsip Perlindungan Anak di Balik Fatwa Haram Merokok

Oleh Rusdin Tompo (Aktivis Hak Anak)

Pendekatan hukum syariat untuk melindungi anak dari bahaya laten rokok merupakan sebuah langkah maju dalam advokasi perlindungan anak. Keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara resmi mengeluarkan fatwa haram merokok untuk anak-anak, remaja dan ibu hamil, sesuai perspektif anak, yang mengasumsikan adanya empati kepada anak selaku korban atau potensial korban yang dizalimi, tak berdaya dan putus asa. Ia juga mengasumsikan kepekaan terhadap kebutuhan spesifik anak untuk mendapatkan perlindungan agar bisa berkembang secara sehat, baik fisik, mental, sosial maupun moral (Mohamad Farid, dalam Sularto, 2000). Hasil Ijtima’ Ulama Fatwa III MUI di Kabupaten Padang Panjang, Padang, Sumatera Barat, 25 Januari 2009, yang juga mengharamkan rokok dihisap di tempat umum, bukan saja untuk melindungi para perokok pasif tapi sekaligus agar para perokok itu tidak menjadi contoh buruk bagi anak-anak. Hal ini sejalan dengan semangat children mainstreaming, sebagai upaya mewujudkan sebuah dunia yang layak bagi anak.
Fatwa ini menjadi bersejarah karena meletakkan peran otoritas agama pada posisi yang strategis. Sebab, meski Konvensi Hak Anak (KHA) ikut ditandatangani sejumlah negara Arab dan negara-negara berideologi Islam, namun upaya mendesakkan pemenuhan hak-hak anak masih kerap dicurigai membawa misi Barat dan sekuler. Sikap prejudice seperti ini tentu tidak berdasar karena semua orang, di semua negara, pasti mengharapkan yang terbaik bagi anaknya, termasuk di negara komunis sekalipun. Simaklah pernyataan mantan Presiden Unisoviet, Mikhael Gorbachev, “Walaupun banyak yang membenci negeri ini karena kita komunis tetapi mari kita didik, bina generasi anak-anak kita dengan kasih sayang.”

“Licence to Kill”
Bagi mereka yang tidak setuju, fatwa MUI ini dinilai kontroversial dan akan vis a vis dengan kepentingan ekonomi pengusaha yang berlindung dibalik cukai rokok dan penyerapan tenaga kerja. Dua alasan krusial ini selalu menjadi batu sandungan dan digunakan sebagai senjata pamungkas untuk mementahkan pengambilan keputusan penting menyangkut rokok. Alhasil, para pengusaha rokok tetap bisa mengepulkan asap perusahaannya dan mengantarkan mereka dalam jajaran pengusaha terkaya di Indonesia. Majalah Forbes Asia, misalnya, sering menempatkan para taipan dari pabrik rokok Djarum, Gudang Garam, dan Sampoerna sebagai orang-orang yang berada dalam formasi 10 orang terkaya di Indonesia.
Berbarengan dengan itu, lebih dari 4.000 bahan kimia beracun dikomodifikasi dalam setiap batang rokok. Atas izin negara, racun-racun itu diproduksi secara massal, dipasarkan melalui jaringan yang luas, dan dikonsumsi berbagai kalangan. Tanpa disadari negara telah memfasilitasi warganya untuk melakukan bunuh diri dengan menghisap bahan radioaktif (polonium-201), bahan yang biasa digunakan di dalam cat (acetone), pencuci lantai (ammonia), kapur barus (naphthalene), racun serangga (DDT), racun semut putih (arsenic), hingga gas beracun (hydrogen cyanide). Racun-racun itu secara perlahan tapi pasti menggerogoti kesehatan dan merenggut nyawa manusia tanpa ada yang diminta pertanggungjawabannya secara perdata, apalagi pidana.
Logika tentang kontribusi rokok terhadap pembangunan telah mengelabui akal sehat kita. Padahal, menurut peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI, Abdillah Ahsan, industri rokok hanya menyumbang 1,3 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Bandingkan dengan kerugian kesehatan akibat merokok yang jauh lebih tinggi daripada keuntungan ekonomi yang diperoleh. Sebagai gambaran, tahun 2005, biaya kesehatan yang dikeluarkan Indonesia karena penyakit yang terkait tembakau mencapai 18,1 miliar dollar AS atau 5,1 kali lipat pendapatan negara dari cukai tembakau pada tahun yang sama (Kompas, 15/1/2009). Lebih memprihatinkan karena 91% perokok berasal dari kalangan menengah ke bawah, di mana setiap keluarga mengeluarkan 7,4 sampai 12 persen pendapatannya untuk membeli rokok. Dalam banyak kasus, para perokok lebih mementingkan membeli rokok, mengabaikan pemenuhi kebutuhan sembako keluarga, bahkan untuk membiayai sekolah anaknya.
Peringatan “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin” yang tercetak pada kemasan bungkus rokok ternyata tak cukup efektif mencegah orang merokok. Pesan bahaya merokok itu kalah daya pesona dibanding iklan, promosi dan program sponsorship dari perusahaan rokok. Riset Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM), tahun 2006, menemukan sebanyak 9.230 iklan rokok di TV, 1.780 di media cetak dan 3.239 lainnya di media luar ruang. Penelitian Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dan Universitas Hamka, menemukan korelasi langsung antara iklan rokok, promosi dan sponsor perusahaan rokok dengan meningkatnya usia inisiasi dini perokok anak dan jumlah perokok.
Sehingga disadari atau tidak, mulai dari lomba tujuh belasan, seminar, konser musik, hingga berbagai pertandingan olahraga dibiayai dari “hasil membunuh” para perokok. Jumlah konsumsi rokok di Indonesia memang terbilang tinggi. Menurut Tobacco Atlas, 2002, Indonesia menempati posisi kelima tertinggi di dunia dengan 215 miliar batang, setelah China (1,634 triliun batang), Amerika Serikat (451 miliar batang), Jepang (328 miliar batang), dan Rusia (258 miliar batang). Tingginya tingkat konsumsi rokok berdampak pada risiko yang harus ditanggung. Berdasarkan Demografi UI, di Indonesia, sebanyak 427.948 orang meninggal rata-rata per tahunnya akibat berbagai penyakit yang disebabkan oleh rokok.

Kepentingan Terbaik Anak
Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Indonesia, tahun 2006, memperlihatkan sebanyak 24,5% remaja laki-laki dan 2,3% remaja perempuan merupakan perokok, di mana 3,2 di antaranya sudah kecanduan. Survei terhadap remaja berusia 13-15 tahun itu menyimpulkan, sebanyak 3 dari 10 pelajar mencoba merokok sejak di bawah usia 10 tahun. Fakta mengerikan ini diperkuat oleh pernyataan Ketua Umum Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia (FK PPAI), Rachmat Sentika, bahwa usia prevalensi anak merokok bergeser hingga usia tujuh tahun. Realitas ini membuat muncul prediksi, pada tahun 2020, kemungkinan besar profil penderita penyakit akibat merokok adalah generasi yang berusia lebih muda, yang notabene merupakan usia produktif.
Industri rokok dituding memanfaatkan karakteristik remaja yang menginginkan kebebasan, independen, dan berontak dari norma-norma, dalam iklan-iklan yang membius mereka. Sebagai konsumen muda, mereka lebih sering memperoleh promosi menyesatkan dibanding pendidikan tentang bahaya merokok. Menurut dokumen ”Perokok Remaja: Strategi dan Peluang”, RJ Reynolds Tobacco Company Memo Internal, 1984, perokok remaja telah menjadi faktor penting dalam perkembangan setiap industri rokok dalam 50 tahun terakhir karena mereka adalah satu-satunya sumber perokok pengganti. Jika para remaja tidak merokok, industri akan bangkrut sebagaimana sebuah masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus akan punah.
Ketidaktahuan dan ketidakberdayaan mereka yang sudah kecanduan, membuat generasi belia ini berada pada posisi korban yang perlu segera dipulihkan dan diselamatkan. Pendekatan teologis yang dilakukan MUI mesti dibaca pada konteks ini. Demi kepentingan terbaik bagi anak, hukum merokok ditetapkan sebagai haram bukan makruh (dianjurkan untuk dihindari). Prinsip the best interest of the child, tampaknya oleh MUI, diletakkan sebagai pertimbangan utama (a primary consideration), yang memang sudah seharusnya dilakukan oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik maupun privat, badan legislatif dan yudikatif, serta organisasi masyarakat sipil lainnya.
Begitupun, pengharaman merokok bagi ibu hamil harus dilihat sebagai ikhtiar guna melindungi janin dari ancaman penyakit dan kematian. Untuk diketahui, janin dalam kandungan sudah termasuk kategori anak yang harus dilindungi, berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ia memiliki hak hidup, yang dalam wacana instrumen/konvensi internasional merupakan hak asasi yang universal dan dikenal sebagai supreme right. Prinsip hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, menjadi kontekstual jika kita mencermati fenomena ⅔ (dua per tiga) yang ditunjukkan WHO, tahun 2002. Fenomena ini menemukan, ⅔ kematian bayi usia 0-1 tahun terjadi pada bayi berumur 0-28 hari. Kedua, ⅔ kematian bayi terjadi pada hari pertama. Penyebab utama kematian bayi itu, selain faktor pengaruh obat-obatan selama kehamilan, juga karena pengaruh buruk rokok.

Penataan Regulasi
Sebenarnya, telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, yang mengatur mengenai kandungan kadar nikotin dan tar, persyaratan produksi dan penjualan rokok, persyaratan iklan dan promosi rokok, serta penetapan kawasan tanpa rokok. Namun PP ini dianggap kurang memadai karena tidak melarang secara tegas anak-anak merokok. Kerena itu, Komnas PA dan lembaga-lembaga yang concern hendak melindungi anak dari bahaya rokok mendesak pemerintah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Fatwa tentang haram merokok, sejatinya memang dijadikan sebagai bentuk dukungan moral dan momentum untuk menata regulasi rokok. Ada yang menyarankan agar pemerintah menaikkan tarif cukai tembakau sampai 57% karena dengan begitu akan mencegah 2,4 juta kematian akibat rokok dan menambah pendapatan negara Rp50,1 triliun. Desakan paling keras berkaitan permintaan untuk memperketat iklan di semua media. Bahkan, ada yang minta supaya iklan rokok dihapus dari layar kaca, sebagaimana dilakukan Inggris, tahun 1955, dan Amerika Serikat, tahun 1970. Di beberapa negara maju, larangan iklan rokok turut memengaruhi penurunan prevalensi perokok.
Langkah-langkah pragmatis dan terukur harus pula segera dilakukan Pemda, misalnya, memperluas area bebas rokok, termasuk menjauhkan sekolah dari segala promosi berbau rokok, sampai pada radius tertentu. Selanjutnya, melarang anak-anak sebagai pedagang rokok, juga memperketat larangan menjual rokok untuk anak-anak dan remaja, apalagi bila mereka berpakaian seragam sekolah. Bila perlu rokok tidak dijual bebas di warung-warung atau kios-kios di perkampungan dan kompleks perumahan. Dan yang paling realistis, mulai sekarang, tiadakan asbak dari rumah kita sebagai bentuk komitmen menjadikan masing-masing dari kita sebagai figur gaya hidup sehat tanpa rokok.[*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar