Sabtu, 26 September 2009

Pencatatan Kelahiran, Catatan di Hari Anak Nasional 2001


“Setiap anak tiba dengan pesan bahwa Tuhan belum jera dengan manusia.”
[Rabindranath Tagore]

Bulan Juni lalu, manajer Tim PSSI Sea Games Irawadi Hanafi dipusingkan oleh kasus Sunar Sulaeman, pemain belakang tim nasional asal klub Barito Putra, karena dicurigai melakukan pencurian umur (Kompas, 22/6/2001). Pasalnya, dua dokumen yang memuat tahun kelahiran putra Makassar itu, berbeda. Pada akta kelahirannya yang “hilang”, dinyatakan Sunar lahir tahun 1978 tapi pada akta kelahirannya yang baru, tercantum tahun 1979. Kejelasan batas usia Sunar penting diketahui sebab bila ia masih di bawah umur 23 tahun maka tidak dapat diikutkan pada Sea Games Kuala Lumpur, September mendatang.
Persoalan akta kelahiran yang dihadapi Sunar Sulaeman juga dialami sebagian besar anak-anak Indonesia. Meski mereka dilahirkan di bumi Indonesia dari orangtua Indonesia tapi tidak jelas kelahirannya. Fakta ironis ini bisa dilihat dari pernyataan Kepala Kantor Catatan Sipil Kota Makassar, Abdul Latief Yusuf bahwa 50-65% anak-anak di Makassar tidak memiliki akta kelahiran (Bina Baru, 16/10/1999). Perkiraan ini tak jauh berbeda dengan hasil survei Plan Indonesia terhadap anak-anak asuhnya di Indonesia. Survei yang dilakukan tahun 1998 itu menemukan, hanya kurang dari 30 persen anak tercatat kelahirannya. Jika survei itu dijadikan acuan maka dapat dikatakan bahwa 70 persen anak di Indonesia tidak tercatat kelahirannya.
Sejauh ini, persoalan pencatatan kelahiran atau dalam wujud paling populer dikenal sebagai akta kelahiran, memang belum dianggap penting karena tidak memiliki signifikansi pada akses layanan publik, sebagaimana KTP (Kartu Tanda Penduduk). Akta kelahiran biasanya baru dianggap penting bila ada anak yang hendak di sekolahkan atau ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Setelah itu, nyaris terlupakan. Negara, dalam hal ini pemerintah, terkesan tidak serius melakukan pencatatan kelahiran. Masalah ini seolah-olah hanya dipandang sebagai persoalan administratif belaka. Pemerintah tidak menyadari dengan mengabaikan pencatatan kelahiran sama saja membiarkan rakyatnya tanpa kewarganegaraan (stateless). Padahal, pencatatan kelahiran merupakan langkah pertama pengakuan negara atas status hukum seorang anak. Ini sesuai semangat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang secara tegas menyatakan, setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh suatu kewarganegaraan. Juga sejalan dengan Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik, tahun 1976.
Dasar hukum pencatatan kelahiran, selanjutnya bisa ditemukan dalam Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi KHA. Pada Pasal 7 dan 8, secara eksplisit disebutkan bahwa setiap anak berhak didaftar segera setelah kelahirannya, memperoleh nama dan kewarganegaraan dan sedapat mungkin mengetahui dan diasuh orangtuanya. Kemudian, negara berkewajiban untuk menjamin pelaksanaan hak dimaksud sesuai dengan perundang-undangan nasional yang ada. Negara juga menghormati hak anak untuk mempertahankan sekaligus memberi bantuan perlindungan guna pemulihan bila anak kehilangan identitasnya. Dari rumusan tersebut, tergambar betapa pentingnya pencatatan kelahiran karena di dalamnya terkandung tiga identitas dasar, yakni identitas pribadi (nama, jenis kelamin, dan tanggal kelahiran), identitas sosial (silsilah keluarga) berupa nama orangtua/marganya) dan identitas kewarganegaraan. Tidak mengherankan jika UNICEF menyebut pencatatan kelahiran sebagai hak pertama (first right) anak.
Dalam praktiknya, pengurusan pencatatan kelahiran mengalami proses manipulatif. Pemerintah melakukan distorsi informasi dengan membebankan kewajiban bagi setiap warga negara mengeluarkan uang belasan, puluhan atau ratusan ribu rupiah. Malah tidak jarang dibebani macam-macam syarat, seperti bukti lunas PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) dan prosedur lain, yang kebanyakan tidak nyambung. Celah ini kemudian dimanfaatkan untuk melakukan praktik percaloan. Akibatnya, yang tejadi dalam proses pencatatan kelahiran hanya ‘transaksi jual-beli’ akta kelahiran, bukan diseminasi informasi yang lebih bisa mencerahkan masyarakat. Ketika angka pencatata kelahiran rendah, masyarakat justru dipersalahkan. Begitu pun, bila terlambat mengurus akta kelahiran anaknya, mereka akan dikenakan pinalti berupa denda sekian ribu rupiah, yang semakin membuat kusut persoalan pencatatan kelahiran.
Ketentuan ini mendapat kritikan tajam dari Ketua LPA Sulsel, Prof. Dr. H. Mansyur Ramly. Di hadapan peserta Musyawarah Anak Sulsel, 18 Juli 2001, Mansyur Ramly menyatakan aturan denda itu sangat tidak logis sebab yang mestinya dikenakan denda adalah negara c.q. pemerintah karena telah lalai memenuhi (to fullfil) salah satu kewajiban generiknya. Anak-anak hanyalah korban dari wanprestasi yang dilakukan pemerintah, yang tidak segera mencatat kelahirannya, sebagaimana amanah KHA. Pemerintah tidak menyadari, pencatatan kelahiran merupakan alat untuk mendisain perencanaan pembangunan nasional, menyediakan anggaran sekaligus untuk mengantisipasi pemenuhan hak-hak dasar anak, seperti pendidikan, kesehatan dan pelayanan-pelayanan lainnya. Jika administrasi pencatatan kelahiran buruk maka mustahil kita bisa mengharapkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tepat menyangkut pemenuhan hak-hak anak. Dan itu yang telah kita rasakan.
Belum bersahabatnya kebijakan pemerintah menyangkut pencatatan kelahiran, mendorong Badan Dunia PBB untuk Dana Anak-anak, UNICEF, mengangkat tema “Special Birth Registration” untuk Hari Anak Nasional tahun ini. Upaya mengangkat isu pencatatan kelahiran teramat penting dilakukan karena berkaitan dengan perlindungan terhadap anak-anak dalam situasi khusus, antara lain, anak yang dilacurkan, anak yang berkonflik dengan hukum, buruh anak, dan anak jalanan. Kaitan pencatatan kelahiran dengan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus perlu mendapat perhatian ekstra karena anak-anak dalam kategori ini menetapkan secara definitif usia tertentu. Misalnya, batas usia minimum anak yang tidak boleh dijatuhi hukuman seumur hidup atau hukuman mati, batas usia minimum rekrutmen anak dalam angkatan bersenjata, batas usia minimum yang diperbolehkan bekerja, dan lain-lain.
Dalam Deklarasi Jakarta tentang “Pencatatan Kelahiran Anak Indonesia”, tanggal 15 September 1999, yang dipelopori Departemen Dalam Negeri, UNICEF dan Plan Indonesia juga disebutkan perlunya memberikan perhatian lebih pada anak-anak yang mengalami keterpencilan secara geografis, keturunan, agama, suku, perkawinan campuran, anak-anak yang berasal dari kelompok budaya partikular, anak yang kelahirannya tidak dikehendaki, anak yang dilahirkan di luar ikatan perkawinan dan anak-anak yang berada di pengungsian.
Sebagai tindak lanjut Deklarasi Jakarta, LPA Sulsel bekerja sama dengan Pemda Sulsel dan UNICEF, tanggal 9 November 1999 mengadakan Lokakarya Pencatatan Kelahiran, yang kemudian diikuti dengan pencanangan Program Gerakan Pemberian Akta Kelahiran Gratis bagi 5.000 anak jalanan dan anak miskin oleh Gubernur Sulsel, H. Zainal Basri Palaguna. Pada saat itu, gubernur bertekad mulai tahun 2000 anak Sulsel secara bertahap akan bebas dari persoalan akta kelahiran. Meski dalam pelaksanaannya, program ini mengalami kendala teknis namun gaungnya sudah cukup menggema dan menarik minat banyak kalangan untuk melakukan langkah yang sama. Penekanan program ini sebenarnya bukan pada gratisnya. Dalam kampanye yang dilakukan melalui berbagai media, lebih ditekankan pada pemberian pemahaman pentingnya pencatatan kelahiran. Ada tiga aspek yang ingin dicapai dari kampanye yang dilakukan, yakni penyadaran masyarakat, peningkatan pelayanan oleh lembaga terkait dan perubahan kebijakan.
Ikhtiar kalangan pemerhati anak memperjuangkan hak atas pencatatan kelahiran tampaknya tidak bakal berjalan mulus dengan dilaksanakannya Otonomi Daerah. Mohammad Farid dari Yayasan Samin, Yogyakarta, sejak dini menduga pencatatan sipil dan pencatatan kelahiran akan dimasukkan dalam skema otonomi daerah. Ini jelas mengkhawatirkan sebab akan berdampak pada dijadikannya “hak atas identitas” sebagai barang ekonomis demi pemasukan pendapatan asli daerah (PAD). Tiap pemerintah kota/kabupaten akan menetapkan besar pembayaran pengurusan akta kelahiran sesuai seleranya. Kebijakan ini dirasakan janggal. Bagaimana mungkin legalitas suatu kewarganegaraan pada negara yang sama ditetapkan dengan harga berbeda-beda? Farid lebih jauh mengatakan, pelaksanaan pencatatan sipil dan pencatatan kelahiran melalui sistem desentralisasi merupakan ancaman terhadap konsep negara kebangsaan.
Banyak memang kejanggalan yang kita temui dalam pelaksanaan pencatatan sipil, khususnya pencatatan kelahiran. Salah satunya, yakni belum terealisasinya janji Ketua Presidium Kabinet pada bulan Desember 1966, yang akan membentuk Undang-Undang Pencatatan Sipil bersifat nasional. Peraturan menyangkut pencatatan sipil yang ada sekarang, kebanyakan hanya setingkat Permendagri, Kepmendagri atau Surat Edaran Mendagri. Peraturan-peraturan ini notabene memiliki dasar hukum yang lemah dalam hirarki perundang-undangan kita. Karena itu, tidak bisa tidak semua pihak mesti bahu-membahu melakukan advokasi bagi terbentuknya sebuah Undang-Undang Pencatatan Sipil, yang implikasi pemberlakuannya ditujukan bagi kepentingan terbaik anak.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar