Senin, 28 September 2009

Menunggu Realisasi Tekad Gubernur Sulsel

“Cinta paling agung adalah perhatian yang saling kita berikan dengan sesama,
terutama terhadap anak-anak.”
[Mumia Abu-Jamal]

Jabatan H. Zainal Basri Palaguna sebagai Gubernur Sulawesi Selatan tinggal menghitung hari. Sebagai gubernur, Palaguna jelas telah berbuat banyak bagi rakyat Sulsel. Atau, mungkin juga belum melakukan beberapa segi lainnya yang dibutuhkan masyarakat yang dipimpinnya. Plus-minus dalam periode kepemimpinan pada level apapun selalu seperti dua sisi dari satu mata uang. Tulisan ini bukan ingin menilai laporan pertanggungjawaban (LPJ) gubernur yang tengah dibahas fraksi-fraksi di DPRD Sulsel. Tapi, lebih menekankan pada sebuah tonggak yang telah dipancangkan. Sebuah tonggak yang dilakukan tepat pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 1999 lalu. Ketika itu, gubernur menyerahkan secara simbolis 100 lembar sertifikat akta kelahiran bagi anak-anak jalanan dan pengungsi anak asal Timor Timur. Sebelumnya, gubernur menyatakan tekadnya, mulai tahun 2000 anak-anak Sulsel tidak ada lagi yang tidak memiliki akta kelahiran.

Tekad gubernur ini bukan tanpa alasan. Pada Lokakarya Pencatatan Kelahiran Anak di Sulsel, kerja sama LPA Sulsel, Pemda Sulsel dan UNICEF (9/10/1999), gubernur mengaku baru kali itu ia mengetahui jika pencatatan kelahiran berkaitan dengan status kewarganegaraan seorang anak. Artinya, bila seorang anak tidak tercatat kelahirannya yang dibuktikan melalui selembar akta kelahiran maka anak bersangkutan secara hukum tidak diakui sebagai warga negara. Karena itu, akta kelahiran disebut sebagai pengakuan legal pertama negara terhadap seorang anak. Sebelumnya, pemahaman atas akta kelahiran ini biasanya hanya dikaitkan dengan urusan sekolah, saat akan menikah, masuk PNS/TNI/Polri atau bila akan mengurus visa ke luar negeri. Padahal, persoalan akta kelahiran tidak sesederhana itu.

Para aktivis anak meyakini, akta kelahiran merupakan salah satu critical point dalam upaya perlindungan anak, terutama bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Anak-anak jalanan dan pengungsi anak asal Timor Timur itu di antaranya, yang termasuk dalam kategori ini, selain anak korban kekerasan, anak konflik hukum, pekerja anak dan anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual. Perlindungan terhadap hak-hak mereka, hanya akan dipenuhi bila usianya jelas. Validitas menyangkut umur anak akan mudah diketahui bila ia memiliki akta kelahiran.

Sikap gubernur yang begitu responsif terhadap masalah akta kelahiran, yang angka pencatatannya di Indonesia sangat rendah, boleh dikata menjadi catatan penting dalam sejarah advokasi perlindungan anak di Indonesia. Magnitude program ini lantas mendapat publikasi luas di berbagai media, kemudian menasional dan menjadi agenda LPA lain di Indonesia. Wacana tentang pentingnya akta kelahiran segera mengemuka setelah pencanangan dan pemberian akta kelahiran tersebut. Untuk mendukung tekadnya, gubernur malah memberikan dana sebesar 10 juta rupiah yang ‘diambil’ dari dana APBD Sulsel tahun 2000. Sayang, tekad gubernur kurang mendapat dukungan dari instansi pelaksana teknis terkait, dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan sipil Kota Makassar. Bukti ketidaksigapan ini bisa dilihat dari proses penyelesaian pengurusan 5.093 akta kelahiran yang didaftarkan masyarakat melalui LPA Sulsel. Padahal, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sudah berganti pimpinan sebanyak tiga kali, sejak program itu digulirkan tiga tahun silam.

Lemahnya dukungan yang diberikan Pemkot Makassar soal program ini, sempat dikeluhkan gubernur ketika sejumlah aktivis anak, termasuk penulis, melakukan audience dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli 2001. Ketika itu, gubernur mengatakan pemerintah kota/kabupaten keliru mengartikan urusan pencatatan sipil. Urusan ini, kata Palaguna, bukanlah bagian yang ikut didesentralisasikan, sebagaimana dimaksud UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tapi merupakan urusan dekonsentrasi. Maksudnya, pencatatan kelahiran tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat tapi pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hanya saja, semangat Otoda membuat pemerintah kota/kabupaten lantas mengklaim mereka berhak menjadikan pencatatan sipil—yang di dalamnya juga menyangkut pencatatan kelahiran—sebagai sumber retribusi daerah. Maka, dibuatlah perda untuk memberikan legitimasi pungutan biaya retribusi pengurusan akta kelahiran.

Keberhasilan mempromosikan pentingnya akta kelahiran, tidak dibarengi dengan langkah nyata yang harus dilakukan untuk mencapai tekad gubernur: mulai tahun 2000, anak Sulsel tidak ada lagi yang tidak memiliki akta kelahiran! Itulah kelemahan program ini, disamping tidak adanya komitmen dari pimpinan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk menyelesaikan program tersebut. Sulit memang menuntut konsistensi Pemkot Makassar untuk segera merealisasikan program akta kelahiran ‘gratis’ (kenyataannya dibayar oleh Pemprov Sulsel) mengingat akta kelahiran sebagai bagian dari pencatatan sipil diikutkan sebagai salah satu sumber PAD Makassar. Menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Amir Madjid, APBD Makassar 2002 menargetkan pemasukan dari sektor ini sebesar 3 miliar rupiah. Sebuah target yang fantastik. Karena itu, belum ada tindakan konkrit yang dilakukan sekalipun Walikota Makassar H.B. Amiruddin Maula sudah mengeluarkan Keputusan Nomor: 690/Kep/474.1/2002 tentang Pembebasan Biaya Penerbitan Akta Kelahiran, Pengesahan dan Pengakuan Anak di Bawah Pengampuan/Perwalian Negara Maupun Lembaga, serta Masyarakat yang Tergolong Tidak Mampu.

Berbeda dengan di Makassar, upaya advokasi akta kelahiran di beberapa kabupaten di Sulsel cukup mendapat perhatian serius, baik dari bupati maupun DPRD-nya. Menyadari pentingnya akta kelahiran bagi anak, Bupati Bantaeng Azikin Solthan, mengeluarkan SK Nomor 234 Tahun 2002 tentang Pembebasan Retribusi atas Penerbitan Akta Kelahiran bagi Anak Usia 0-6 Tahun. Kebijakan yang dinilai populis ini mendapat dukungan DPRD Bantaeng melalui SK DPRD Kabupaten Bantaeng Nomor: 12/KPTS-DPRD/VII/2002, tanggal 27 Juli 2002. SK ini menunjukkan betapa Pemkab Bantaeng hendak berbuat yang terbaik bagi kepentingan anak, meski dengan begitu harus kehilangan PAD sekitar 11 juta rupiah setiap tahunnya. Respons yang sama juga diikuti Kabupaten Polmas, Bone, Mamuju, dan Takalar, yang menjadi mitra UNICEF. Lembaga PBB ini dan NGO anak lainnya memang merupakan deretan institusi yang memiliki kepedulian untuk tercapainya universal registration soal pencatatan kelahiran. Karena sejak semula disadari, tanpa akta kelahiran sulit kiranya memenuhi dan melindungi hak-hak anak.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya, apakah dengan dua SK yang membebaskan biaya akta kelahiran, bisa dikatakan tekad gubernur mulai terlaksana? Untuk sebuah optimisme, jawabannya adalah “ya”. Tapi, untuk sebuah hasil advokasi, tampaknya SK saja tidak cukup. Legitimasi hukumnya masih rendah. Harus dikuatkan dengan sebuah perda. Bila perlu perda pada level provinsi, untuk menjaga harmonisasi kebijakan. Sehingga, perda pada tingkat kabupaten/kota soal pencatatan kelahiran akan merujuk ke sana. Perda di level provinsi harus memuat secara jelas tentang Rencana Aksi Daerah (RAD) mengenai tahap-tahap yang akan dilakukan serta jangka waktu untuk mencapai pencatatan kelahiran 100%. Tanpa itu semua, niscaya tekad gubernur hanya akan menjadi sebuah utopia. Dengan adanya rencana aksi yang jelas maka upaya yang dilakukan tidak bersifat instan. Sebab, adanya perda akan diikuti peningkatan kualitas pelayanan pada tataran pelaksana dan meningkatnya pemahaman masyarakat untuk segera mencatatkan kelahiran anaknya.

Tekad gubernur ini, jangan hanya ditafsirkan sebagai tekad H.Z.B. Palaguna pribadi, tapi harus menjadi agenda gubernur manapun, tak terkecuali Gubernur Sulsel periode 2003-2008 mendatang. Gubernur sebagai wakil pemerintah memiliki kewajiban untuk melaksanakan Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi KHA. Dalam KHA disebutkan, setiap anak yang lahir berhak untuk segera dicatatkan kelahirannya. Karena tidak ada kata “esok” untuk anak maka sudah selayaknya bila prioritas gubernur terpilih mengagendakan pencatatan kelahiran sebagai program yang perlu mendapat perhatian.

Untuk mengingatkan Gubernur Sulsel serta para pemimpin lainnya menyangkut pemenuhan hak-hak anak, mengakhiri tulisan ini penulis hendak mengutip pernyataan Ketua Dewan Pakar LPA Jabar, Prof. H.M. Sambas Wiriadisuria M.D. (Kompas, 3/7/2002), yang mengatakan bahwa kita sekarang membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk bisa menggiring masyarakat bergerak ke arah... kesadaran akan hak-hak anak.... Ini adalah persoalan hak asasi manusia. Masyarakat kita belum menyadari hal ini. Dan, itulah yang mesti menjadi tekad gubernur mendatang untuk memberikan pencerahan agar kita semua lebih memiliki perspektif anak.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar