Sabtu, 26 September 2009

Menyelamatkan Anak-anak dari Ancaman Krisis

Oleh Rusdin Tompo (Aktivis Hak Anak)

Jauh sebelum pesta kembang api menyambut pergantian tahun menghiasi angkasa raya, sirine kecemasan telah dikumandangkan di berbagai belahan bumi. Pasalnya, tahun 2009 ini diprediksi sebagai puncak krisis global, menyusul bangkrutnya Lehman Brothers, di Amerika Serikat, pertengahan September 2008. Rontoknya sejumlah perusahaan yang semula menjadi ikon kekuatan ekonomi negeri Paman Sam itu, segera berimbas ke Eropa hingga Asia. Krisis kali ini disebut-sebut terpanjang sejak Perang Dunia II, lebih buruk daripada malaise, yang disebut sebagai great depression era 1930-an,.
Gambaran tentang betapa dahsyatnya badai krisis, bisa kita saksikan pada formasi bisnis keluarga Bakrie. Bila tahun 2007, kekayaan pemilik Grup Bakrie ini senilai 5,4 miliar dollar AS, tahun 2008, turun drastis menjadi 850 juta US$. Merosotnya saham-saham keluarga Bakrie hingga mencapai sekitar 90 persen, mengakibatkan posisi Aburizal Bakrie sebagai orang terkaya di Indonesia, versi Majalah Forbes Asia, terpental dari urutan pertama ke sembilan. Jika orang sekelas Menko Kesra pada Kabinet Indonesia Bersatu itu saja bisa mengalami keterpurukan parah, bagaimana pula dengan mereka yang hidup dengan hanya 1-2 dollar AS per hari atau mereka yang berada pada level termiskin di antara orang miskin? Pertanyaan ini sejalan dengan pernyataan Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick, bahwa krisis ekonomi global dapat sangat merugikan penduduk miskin di negara-negara berkembang. Bank Dunia menaksir harga pangan dan energi yang tinggi telah mendorong 100 juta orang, pada tahun 2008, ke lembah kemiskinan.
Kita tentu tidak ingin tragedi perekonomian bangsa, tahun 1998, berulang. Suramnya perekonomian nasional, ketika itu, telah membuat perubahan besar pada peta kekuatan ekonomi, hingga sosial politik Indonesia. Meski pada suatu kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan krisis yang terjadi saat ini belum dapat dikatakan sebagai krisis ekonomi, apalagi untuk negara kitabaru merupakan krisis pasar modal dan keuangannamun pada minggu pertama Januari, ia telah mengambil langkah kongkrit dengan menggelontorkan dana senilia Rp50 triliun untuk stimulasi pertumbuhan ekonomi guna mengatasi krisis, terutama untuk menekan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Skema penyelamatan ekonomi memang harus segera dilakukan mengingat sejumlah sektor mulai collapse, antara lain, bidang agroindustri, seperti kelapa sawit, karet, cokelat, dan kopi. Juga tekstil dan produk tekstil, serta perkayuan (pulp & paper) diperkirakan menurun 5-10%. Sementara jumlah mereka yang bakal terkena PHK, menurut Depnakertrans, berada pada kisaran 500 ribu hingga 1 juta orang. Mereka yang terancam PHK massal ini, tentu akan menyandang status baru sebagai pengangguran, kehilangan penghasilan dan kemampuan daya beli, yang selanjutnya menimbulkan efek domino pada berbagai masalah lain. Bila setengah dari mereka yang kehilangan pekerjaan itu sudah berkeluarga dengan masing-masing 2 orang anak, maka tak terbayangkan jumlah anak yang ikut menanggung himpitan beban ekonomi keluarganya.

Isu Anak
Sejarah mencatat, krisis sepuluh tahun silam membuat banyak orangtua tak mampu memenuhi kebutuhan dasar anak-anak mereka. Mahalnya harga susu memunculkan gerakan Suara Ibu Peduli (SIP), yang khawatir bakal terjadinya lost generations. Pesan dari gerakan itu terasa masih sangat relevan mengingat, di awal tahun ini, seorang anak bernama Syahrul diketahui mengalami malnutrisi. Sebelumnya, tahun lalu, di Sulawesi Selatan, terdapat sejumlah kasus gizi buruk yang menghentakkan kesadaran kemanusiaan kita. Pada Maret 2008, Dg Basse (35), yang sedang hamil, bersama anaknya, Bahir (5), meninggal akibat kelaparan. Sedangkan Aco, anaknya yang lain, harus menjalani perawatan intensif agar bisa diselamatkan dari gizi buruk. Kasus berulang, seorang bayi berusia 2 bulan, bernama Nazar, pada Agustus, menemui ajalnya saat antre menunggu pelayanan di Puskesmas. Tragisnya, ia tidak segera ditolong hanya karena tak punya uang Rp20.000. Korban berikut, yakni Dea Adelia, baru berumur 1 tahun 11 bulan, juga mengalami nasib serupa. Ketiadaan keuangan membuat ibunya hanya sanggup memberi air teh sebagai pengganti susu, dan makan nasi dicampur garam pada bayi perempuan malang itu.
Peristiwa brutal yang dianggap “biasa” ini, menurut Kompas (10/3/2008), terjadi ketika DPR disibukkan merampungkan paket UU politik dan pemilu. “Semua bicara problem besar, tetapi lupa pada isu mendasar yang menjadi hak warga, seperti kesejahteraan,” kata anggota DPR RI, Nursyahbani Katjasungkana. Dalam banyak peristiwa, isu anak memang kerap tidak diperbincangkan sebagai bagian dari paket agenda masalah yang harus diperhatikan dan dituntaskan. Bahkan, anak-anak tidak jarang dikorbankan, sebagaimana kebijakan memajukan jam sekolah dari pukul 07.00 menjadi 06.30 WIB di DKI Jakarta, sebagai solusi atas masalah kemacetan ibu kota. Salah diagnosis, yang berlanjut pada kesalahan memberi resep penyelesaian masalah tentu bisa berakibat fatal, sebab bukannya kesembuhan yang didapat, malah yang terjadi adalah malpolicy.
Kasus-kasus marasmus, baru satu isu dari kemungkinan munculnya isu lain dibalik krisis global kali ini, seperti penelantaran anak (child neglect) dan kekerasan anak (child abuse). Tekanan ekonomi, berpotensi membuat orangtua stress dan melampiaskan kepusingan, keputus-asaan dan segenap amarah pada anak-anaknya. Ada kemungkinan, kasus-kasus KdRT bakal mengemuka, mengingat kemiskinan, tekanan kejiwaan dan kekerasan dalam banyak kasus berada pada garis linier. Berdasarkan temuan Komisi Nasional Perlindungan Anak, selama semester pertama, 2006, terdapat 380 kasus kekerasan, dimana kelompok masyarakat yang paling banyak mengalami kekerasan berasal dari keluarga menengah ke bawah. Dari jumlah itu, 70 persen kekerasan terjadi pada anak perempuan berumur 5-12 tahun, karena dianggap lemah.
Anak-anak yang didera kekerasan selanjutnya berpotensi lari dari rumah, menjadi anak jalanan, terlibat aksi kejahatan, mengkonsumsi narkoba, hingga terperosok dalam jaringan prostitusi. Praktik prostitusi di kalangan anak di bawah umur sudah sangat memprihatinkan. Menurut laporan ILO, tahun 2005, sekitar 21.000 anak di 5 provinsi di pulau Jawa terlibat dalam kegiatan prostitusi (Radar, 14/6/2005). Secara nasional anak yang terlibat kegiatan prostitusi berkisar 180.000 orang atau 30% dari jumlah total pekerja seks komersial di Indonesia. Bahkan, anak-anak korban ESKA itu dilacurkan hingga ke negeri jiran. Dalam pertemuan Child Wise Think Tank on Prevention of Child Abuse in ASEAN Tourism Destination, di Bali, tahun 2004, terungkap, sekitar 60% pekerja seks di bawah usia 18 tahun di Malaysia berasal dari Indonesia. Celakanya, prostitusi anak sering punya kaitan dengan perdagangan anak (trafficking), melibatkan orangtua yang melihat cara itu sebagai jalan memutus mata rantai kemiskinannya. Trafficking ini bisa punya banyak keluaran, disamping untuk prostitusi, juga pornografi, pekerja anak, PRT anak, pengemisan, pengangkatan anak, sampai penjualan organ tubuh.
Melacak keterkaitan krisis ekonomi, kemiskinan dan isu anak relatif mudah diketahui dari pelibatan anak-anak sebagai tenaga kerja. Orangtua yang kehilangan penghasilan tentu akan berjibaku agar kondisi ekonominya membaik kembali. Salah satu pilihannya adalah memobilisasi anak-anak untuk ikut mencari nafkah. Pada titik inilah munculnya kerawanan. Sebab, anak-anak bisa berubah peran dari “sekadar membantu” menjadi pencari nafkah utama. Status sebagai anak yang bekerja, yang masih punya cukup waktu luang untuk bersekolah dan bermain, bisa berubah menjadi pekerja anak, bahkan menjurus pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (the worst forms of child labour).
Jenis pekerjaan yang termasuk dalam kategori ini, merujuk pada Keppres Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, antara lain, meliputi anak-anak yang bekerja di pertambangan, bekerja sebagai penyelam mutiara, bekerja di sektor konstruksi, bekerja sebagai pemulung sampah, bekerja di industri rumah tangga, di perkebunan, sebagai PRT, juga pada industri yang menggunakan bahan kimia berbahaya. Lokasi dan jenis pekerjaan tersebut dianggap membahayakan anak dari segi fisik, kesehatan, dan mental. Waktu dan jam kerja anak juga perlu diperhatikan, disamping usia minimum untuk anak yang diperbolehkan bekerja, yakni sekitar umur 15 tahun atau 14 tahun untuk negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi. Sementara untuk jenis pekerjaan terburuk, dilarang dilakukan oleh anak di bawah usia 18 tahun.
Hal ini perlu diingatkan karena sekitar 20% sampai 30% anak putus sekolah masuk ke sektor kerja dan menjadi pekerja, terutama yang putus sekolah pada jenjang pendidikan SMP. Untuk diketahui, tahun 2007, sebesar 12,7 juta anak drop out pada jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA. Sementara jumlah pekerja anak, pada tahun 2008, diperkirakan sebanyak 6,3 juta orang (Kompas, 13/6/2008).

Pesan Paus
Posisi negara-negara yang dependen secara ekonomi satu sama lain, mau tidak mau membuat penyelesaian krisis global ini harus dilakukan bersama. Karena itu, pesan Paus Benediktus XVI, yang mengajak masyarakat internasional bersatu mengatasi krisis keuangan global perlu kita dukung. Pesan ini seolah menindaklanjuti seruannya, ketika memimpin misa di Basilika, Santo Petrus Vatikan, 25 Desember 2008. Ketika itu, Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Roma Sedunia tersebut menyerukan umat manusia agar melindungi dan mengakhiri penderitaan anak-anak yang tak punya rumah dan keluarga, dijadikan serdadu, terlibat dalam kekerasan, menjadi korban industri pornografi, serta mereka yang terguncang jiwanya.
Pesan Paus ini telah disahuti badan PBB untuk anak-anak, Unicef, yang segera melakukan pertemuan di Singapura untuk membahas formula menyelamatkan anak-anak dari ancaman krisis. Unicef memperkirakan, krisis global sekarang berpotensi menaikkan angka kematian ibu melahirkan karena anemia sebanyak 10-20% dan prevalensi bayi lahir dengan berat badan rendah antara 5% sampai 10% (Kompas, 8/1/2008). Perhatian yang sama juga mesti dilakukan pemerintah Indonesia, dari pusat sampai daerah, untuk mengantisipasi bencana sosial yang bakal mendera generasi masa depan bangsa. Untuk itu, pemerintah diminta mengubah APBN 2009 dari APBN kampanye (election budget) menjadi crisis budget. Dalam pandangan Dr. Hendri Saparini, banyak pengeluaran-pengeluaran yang berjudul 'menggerakkan ekonomi rakyat', hanya merupakan kampanye terselubung (al-wa'ie, Januari 2009). Ekonom Tim Indonesia Bangkit itu secara tegas meminta pemerintah melakukan pemotongan pengeluaran-pengeluaran yang tidak strategis, dialihkan untuk pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan.
Kita mestinya memiliki blue print manajemen tanggap darurat guna memberikan jaminan perlindungan sosial terhadap anak-anak, disamping skema penyelamatan ekonomi. Semua stakeholder mesti berpartisipasi sesuai tupoksinya: dinas-dinas terkait memperkuat peran dalam jalur koordinasi, dunia bisnis meningkatkan tanggung jawab sosialnya, kalangan profesional mewakafkan ilmu dan keahliannya, partai-partai politik me-redisain strateginya dari kekuasaan ke kesejahteraan, dan institusi agama mengaktualkan ayat-ayat Tuhan dengan memobilisasi jaringan kolegialnya. Bukankah untuk anak, tidak ada kata ESOK?[*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar