Sabtu, 26 September 2009

Perkawinan Dini dan Implikasinya

Oleh Rusdin Tompo (Aktivis Hak Anak)

“Saya harus memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan
dengan berpijak pada kesetaraan yang sempurna.”
[Mahatma Gandhi]

“Kecil-kecil jadi manten”. Ini bukan judul sinetron tapi kisah nyata tentang seorang lelaki, berusia 43 tahun, yang menikah secara siri dengan gadis belia, berusia 12 tahun (Fajar, 25-26/10). Lelaki itu bernama asli H. Pujiono Cahyo Widianto, biasa disapa Syekh Puji, pemilik PT Sinar Lendoh Terang (Silenter) sekaligus pimpinan Ponpes Miftahul Jannah, Kabupaten Semarang. Sedangkan, gadis belia yang pantas menjadi anaknya itu, bernama Lutfiana Ulfa, baru menamatkan sekolah dasar, putri sulung seorang karyawan pabrik kertas.
Demi alasan hendak melakukan pengaderan untuk menjalankan bisnisnya, pengusaha kaya itu membentuk tim, dengan tugas mencari calon istri baginya. Syaratnya, si calon berusia tidak lebih dari 12 tahun, cantik dan cerdas. Tim ini terdiri dari istri pertamanya, Hj Umi Hanni, serta Agung Ngadelan, seorang guru SMP dan SMK swasta. Mereka bekerja sejak tahun 2007, menyeleksi tak kurang dari 21 anak perempuan, termasuk Lutfiana. Menurut ayah Lutfiana, Suroso, ia menerima lamaran Syekh Puji karena beberapa pertimbangan, antara lain, anaknya akan dipercaya memimpin perusahaan (sebagai General Manager PT Silenter), disamping masih bisa bersekolah dengan cara mendatangkan guru.
Sekadar gambaran, angka rata-rata anak di Indonesia yang menikah sebelum mereka mencapai usia 17 tahun, masih relatif tinggi, yakni mencapai 21%. Di beberapa provinsi, angkanya bisa lebih tinggi lagi. Di Jatim data kawin muda sebesar 28%, Jabar dan Kalsel masing-masing 27%, serta Jambi 23% (Yayasan Bahtera dan Unesco, 2002). Sementara data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tahun 2007, memperlihatkan, dari jumlah anak SD dan SMP putus sekolah secara nasional, 34,7 persen disebabkan karena alasan menikah. Hampir setengah, atau 42,8 persen, dari total persentase yang menikah di usia dini itu terjadi di wilayah Pantai Utara Jawa, seperti Karawang dan Indramayu (Fajar, 30/10).

Relasi Kuasa
Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebenarnya telah mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan bila lelaki sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita berusia 16 tahun (pasal 7 ayat (1)), serta harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (pasal 6 ayat (1)). Menurut penjelasan pasal ini, penetapan batas umur perkawinan dilakukan dengan maksud untuk menjaga kesehatan suami-istri dan keturunan mereka. Ini berarti, pernikahan Lutfiana bermasalah dari segi umur, sekalipun berdasarkan pengakuan Suroso, tidak ada paksaan terhadap anaknya ketika dipinang oleh pengusaha eksportir kuningan, kaligrafi dan buku-buku agama itu.
Sulit dibantah tidak terdapat relasi kuasa yang pincang dalam praktik perkawinan dini, sebagaimana kasus ini. Di satu sisi, ada hubungan yang tidak setara antara anak dengan orangtua, yang menempatkan posisi anak subordinat terhadap orangtua secara psikologis, sosio-kultural, maupun agama. Dalam hubungan seperti ini, ada keharusan anak menghormati orangtuanya, bila orangtua tidak dipatuhi maka akan dicap sebagai anak durhaka dan akan dihukum secara supernatural atau kualat. Hubungan yang tidak setara antara orangtua-anak, membuat anak diwajibkan menunjukkan rasa hormat dan baktinya dengan menuruti permintaan orangtua, sebagaimana dilakukan Lutfiana.
Pada banyak kasus—harus diakui—persoalan kemiskinan dan konstruksi sosial telah menempatkan perempuan sebagai second sex. Ini merupakan kenyataan obyektif yang ikut menyuburkan terjadinya perkawinan dini. Ambil contoh, ketika orangtua dililit masalah ekonomi, anak-anak perempuanlah yang akan “dikorbankan”, diminta berhenti sekolah, sekadar membantu ibu di rumah, untuk selanjutnya dipersiapkan memasuki gerbang perkawinan. Dengan mengawinkan anak perempuannya, orangtua berharap beban hidup mereka akan berkurang.
Pandangan ini tidak terlepas dari kuatnya nilai-nilai tradisional yang menempatkan anak laki-laki pada tempat utama dalam keluarga dan masyarakat. Dalam budaya patriarki, anak laki-laki sejak awal dipersiapkan memainkan peran pada sektor publik, sedangkan anak perempuan ditekankan memainkan peran domestik, seputar “dapur”, “kasur”, dan “sumur”. Domestifikasi peran perempuan membuat orangtua lebih memilih menikahkan anak perempuannya, begitu beranjak remaja. Yang penting sudah bisa masak, dianggap sudah mampu mengurus rumah tangga. Praktik kawin paksa terhadap anak-anak perempuan semakin dimungkinkan bila pemalsuan umur dilakukan melalui KTP, akibat anak bersangkutan tidak memiliki akta kelahiran.
Islam jelas menolak pemaksaan orangtua atas anak gadisnya agar mau menikah dengan laki-laki pilihan orangtua. Mohammad Fauzil Adhim (2000) berpendapat, seorang ayah perlu meminta izin kepada anak gadisnya sebelum dinikahkan. Sebab, pemaksaan dapat menjerumuskan anak kepada dosa besar. Minimal dosa karena tidak taat pada suam—termasuk dalam melayani keinginan suami di tempat tidur—sebagai akibat tidak adanya kehangatan cinta. Fauzil Adhim mendasarkan pendapatnya dengan mengutip beberapa hadis. Salah satunya, hadis dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Ada seorang hamba sahaya yang masih gadis datang kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia melaporkan bahwa dia dikawinkan oleh ayahnya itu. Lalu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan terhadapnya. Demikian hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Adz-Dzaruquthni”.
Selain izin, kata Fauzil Adhim, seorang anak gadis juga perlu diberi kesempatan mengetahui siapa calon suaminya, yang meliputi hal-hal lahiriah bakal suami, serta informasi mengenai aspek psikis dan agamanya. Bila ia tidak diberi kesempatan untuk itu, ia berhak memutuskan hubungan perkawinan apabila ia tidak rela terhadap suami pilihan orangtuanya. Orangtua dituntut arif dan bijak dalam menyikapi situasi ini. Pemaksaan oleh orangtua justru hanya akan mendorong anak mengambil sikap perlawanan dan nekad untuk kawin lari, yang dalam masyarakat Sulawesi Selatan dikenal dengan istilah silariang.
Di sisi lain, dari segi status sosial ekonomi, posisi kelurga Suroso dibanding keluarga Syekh Puji tidak berimbang. Suroso hanya seorang karyawan pabrik kertas, sedangkan Syekh Puji merupakan pengusaha kaya sekaligus pimpinan pondok pesantren. Dengan kedudukan seperti itu, Syekh Puji merasa bisa melakukan apa saja, sebagaimana prosesi ia mencari istri keduanya, Lutfiana. Gayung bersambut, lantaran terdapat fenomena kudangan atau harapan dan keinginan orangtua untuk anak-anak perempuannya agar menjadi istri orang kaya atau terpandang yang bisa memenuhi kebutuhan materi mereka (Koentjoro, 2004).
Studi yang dilakukan di Botswana, juga menemukan sekitar satu dari lima anak perempuan putus sekolah, berusia 13 tahun, mengaku sulit menolak ajakan berhubungan seks begitu ditawari uang dan hadiah-hadiah oleh “sugar daddy”, yakni sebutan bagi orang yang membiayai hidup mereka dan kelurganya. Belum lagi, mitos yang diyakini banyak laki-laki bahwa berhubungan seks dengan gadis belia bisa membuat mereka awet muda, juga dituding sebagai salah satu penyebab merebaknya perkawinan dini.
Faktor kehamilan di luar nikah, merupakan penyebab berikut terjadinya perkawinan dini. Stigma terhadap kehamilan remaja memaksa seorang remaja putri tidak punya pilihan selain harus kawin (married by accident). Bila ia tidak menikah maka tindakan yang mungkin diambil adalah melakukan pengguguran kandungan terhadap janin yang dikandungnya. Sepanjang tahun 2001, jumlah tindakan aborsi dari kehamilan yang tidak dikehendaki mencapai 2,3 juta kasus. Sebanyak 1,6 juta dilakukan pasangan usia subur (PUS), di mana 750 ribu kasus dilakukan remaja yang berhubungan seks di luar nikah, dan sisanya oleh mereka yang tidak menikah.

Risiko Berantai
Sebenarnya tanpa melakukan aborsi ilegal yang melanggar hukum dan secara medis kurang bisa dipertanggung jawabkan pun, kehamilan pada remaja putri—yang notabene masih terbilang sangat muda—sudah merupakan risiko. Dari sejumlah penelitian yang dilakukan memperlihatkan bahwa kehamilan pada usia muda berpotensi pada terjadinya kanker mulut rahim, meningkatnya risiko kematian saat melahirkan dan kemungkinan akan meninggalnya sang bayi menjadi dua kali lipat.
Lebih mengejutkan, adalah studi yang mengaitkan perceraian akibat perkawinan dini sebagai penunjang terjadinya eksploitasi seksual komersial anak (ESKA). Mengenai hal ini, Mohamad Farid, mantan anggota Komnas HAM, menjelaskan bahwa sebagai perempuan yang pernah bersuami (janda), wanita-wanita muda yang bercerai dengan suaminya kehilangan legitimasi (hak) sosial dan ekonomi untuk kembali ke rumah. Mereka tidak lagi diperlakukan dan mendapatkan privilegenya sebagai anak yang masih perlu mendapatkan perlindungan dari orangtuanya. Karena secara sosial, status perkawinan yang disandang seorang anak akan membuat dirinya diperlakukan dan ditempatkan pada posisi sebagai “orang tua”. Akibatnya, dengan pendidikan minimal yang dimiliki serta langkanya kesempatan kerja, membuat pelacuran menjadi alternatif bagi mereka sebagai sumber mencari nafkah.
Yang mencemaskan bila kekhawatiran Khofifah Indar Parawansa, ketika menjabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan/Kepala BKKBN, benar-benar terjadi. Menurutnya, jika perkawinan dini tidak diantisipasi maka akan terjadi baby booming di Indonesia. Kecemasan akan terjadinya ledakan jumlah penduduk itu, kini muncul menyusul kian memudarnya program keluarga berencana (KB). Berdasarkan laporan Harian Kompas (25/8/2008), jumlah penduduk Indonesia diestimasikan akan bertambah dari 220 juta, tahun 2008, menjadi 247,5 juta jiwa, pada tahun 2015, dan selanjutnya meningkat lagi menjadi 273 juta jiwa, di tahun 2025. Ledakan penduduk ini akan berdampak luas terhadap penyediaan anggaran, pendidikan, serta ketersediaan pangan. Juga akan berpengaruh terhadap pemenuhan gizi bayi serta meningkatnya angka pengangguran

Ujian dan Tantangan
Sebenarnya, UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah mengatur bahwa kewajiban dan tanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak dibebankan pada orangtua (pasal 26 ayat (1) huruf c ). Orangtua tidak bisa berdalih, perkawinan (dini) itu merupakan keinginan anaknya sendiri. Orangtua dianggap lebih memiliki pengetahuan dan pengalaman sehingga harus mampu mempertimbangkan untuk menunda sampai anak mencapai kematangan fisik—terutama reproduksi—mental, dan pengetahuan untuk berumah tangga. Jangan sampai, praktik perkawinan dini dengan motif ekonomi akan memojokkan orangtua sebagai pelaku eksploitasi ekonomi/seksual dengan segala konsekuensi hukumnya.
Kini, UU Perlindungan Anak itu akan diuji efektifitasnya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah melaporkan kasus pernikahan Syekh Puji-Lutfiana Ulfa ini ke Polda Jawa Tengah sekaligus akan meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait larangan menikahi gadis di bawah umur. Dikhawatirkan, kasus ini akan menjadi preseden bagi orang-orang yang memiliki uang, kekuasaan, dan dengan mengatasnamakan agama, melakukan hal serupa: mengomodifikasikan pernikahan yang mestinya sakral. Proses mencari anak-anak perempuan secara instan untuk dijadikan istri—melalui audisi atau fit and proper test dan semacamnya—telah melukai harga diri dan martabat kemanusiaan kita.
Sungguh memiriskan kita, karena perkawinan dini ini terjadi justru ketika kita tengah berteriak untuk segera melakukan judicial review terhadap UU Perkawinan. Perbedaan syarat batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan, yang diatur dalam UU ini, merupakan salah satu pasal bermasalah karena bias gender dan diskriminatif. Batas usia yang demikian mengimplikasikan bahwa masa perlindungan bagi anak perempuan lebih pendek daripada anak laki-laki. Padahal, sulit bagi kita melakukan akselerasi perlindungan anak bila tidak ada harmonisasi regulasi dan kebijakan perlindungan anak.[]

Makassar, 7 November 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar