Rabu, 30 September 2009

Selasa, 29 September 2009

Pemkot Makassar Tidak Pro Anak

RAPBD Kota Makassar sudah disahkan. Masyarakat tinggal menunggu realisasinya. Apakah benar, dana untuk pelayanan publik akan sampai ke masyarakat sebagaimana peruntukannya, atau mengucur entah ke mana. Sebab, apa yang dimaksud belanja pelayanan publik tidak semuanya murni ditujukan langsung ke masyarakat. Alokasi untuk pelayanan publik itu masih dicampuri dengan dana yang diperuntukan bagi aparat atau belanja kedinasan. Bisa untuk membeli ATK, biaya pemeliharaan mobil dinas, perjalanan dinas, serta gaji aparat dinas (Zakiyah, 2004). Dari pemahaman ini, dapat dipastikan proporsi anggaran untuk anak akan sangat minim.
Ambil contoh, pada RAPBD 2004, total jumlah belanja pelayanan publik mencapai Rp31.505.933.400. Tapi untuk anak, hanya tersedia Rp1.494.000.250. Dana yang teramat kecil bagi anak kembali muncul dalam RAPBD 2005. Untuk menangani anak terlantar yang jumlahnya hampir 3.000 orang, Pemkot hanya menyediakan anggaran Rp25 juta. Jumlah ini kontras dengan pos pembiayaan rumah tangga Walikota Ilham Arief Sirajuddin yang mencapai sepuluh kali lipat biaya santunan anak-anak terlantar. Belum lagi bila ditambah dengan pakaian dinas Walikota sebesar Rp50 juta dan biaya penunjang operasional sebesar Rp400 juta per tahun.

DPRD Kota Makassar belakangan memangkas sebagian tunjangan operasional Walikota dan Wakilnya itu untuk subsidi program akta kelahiran gratis. Dana sebesar Rp50 juta tersebut akan diberikan kepada sekitar 2.000 anak tidak mampu kategori usia wajib belajar (Radio SPFM, 30/3/2005). Namun, tunjangan yang bersifat subsidi ini tidaklah menunjukkan anggaran dalam APBD kita sudah pro-anak. Istilah subsidi saja sudah memperlihatkan bagaimana watak pemerintah dalam memandang warganya. Istilah itu mengindikasikan pemerintah menggunakan pendekatan “kemurahan hati”, bukan merupakan bagian dari pelaksanaan “kewajiban negara” dalam memenuhi hak-hak anak.
Paradigma ini terjadi lantaran Pemkot, melalui Perda Nomor 10 Tahun 2004, memberlakukan kembali retribusi pengganti biaya cetak akta kelahiran. Perda ini jelas menganulir SK Nomor: 690/Kep/474.1/2002 yang membebaskan biaya penerbitan akta kelahiran bagi anak tidak mampu, yang ditempuh Walikota H.B. Amiruddin Maula. Ini berarti, Pemkot menjadikan setiap bayi baru lahir sebagai sumber PAD. Bahkan, dapat dikatakan, Pemkot hendak menggenjot angka kelahiran. Karena hanya dengan banyaknya jumlah kelahiran, PAD akan semakin meningkat. Jadi, dana subsidi akta kelahiran gratis itu tak lebih dari kebijakan palsu yang hendak mengelabui akal sehat kita. Pemkot tidak ambil peduli bahwa akta kelahiran merupakan hak pertama seorang anak.
Walikota Makassar tampaknya kehilangan ilham yang membuatnya menempuh kebijakan tak arif pada anak. Semula, di awal masa jabatannya, Ilham Arief Sirajuddin, sepertinya benar-benar akan menjadi ilham bagi upaya perlindungan anak di tanah air. Ilham, kala itu, mengajak masyarakat untuk tidak memberi uang kepada anak-anak jalanan pengemis sebagai upaya memutus mata rantai praktik pengemisan. Tidak tanggung-tanggung, Ilham terlibat langsung memasang stiker bertuliskan “setiap anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan eksploitasi, untuk itu stop memberi uang di jalan”. Pesan itu ia tempelkan pada angkutan umum pete-pete, sembari mengajak masyarakat mendukung kampanyenya.

Ilham semakin terlihat arif saat melontarkan gagasan perlunya mengadakan acara khusus untuk anak-anak dari keluarga miskin. “Saya mau ajak anak-anak ini berwisata, nonton bersama di bioskop bagus. Sudah itu, kita jalan-jalan ke mal,” kata Ilham di sela-sela peringatan Hari Anak Nasional 2004 (Tribun Timur, 24/7/2004). Ia lantas mengajak anak-anak dari sejumlah panti asuhan menonton film Spider-man 2. Ilham seperti hendak memberi harapan bahwa sebagai Walikota ia akan tampil membela anak-anak, layaknya si laba-laba merah. Tapi, sosok pejabat tak ubahnya tokoh film kartun: cuma figur khayali. Mereka hanya hebat dalam pencitraan. Kenyataannya, mereka memimpin tanpa semangat melindungi. Para pejabat seolah kehilangan sosok tradisional orangtua, yang akan berupaya apa saja demi kepentingan terbaik anak-anaknya.

Sejauh ini, jumah anak usia 0-18 tahun yang mencapai 40% dari 1.148.012 total penduduk Makassar, memang tidak banyak mendaat perhatian. Faktanya bisa dilihat pada relatif tingginya kasus gizi buruk. Angkanya berada pada kisaran 3.000 anak, belum termasuk anak-anak berstatus kurang gizi yang mencapai hampir 13.000 orang. Di bidang pendidikan, persoalan yang dihadapi anak-anak tidak lebih baik. Data Bappeda Kota Makassar, tahun 2003, memperlihatkan jumlah anak yang tidak bersekolah pada jenjang pendidkan setara program wajib belajar (wajar 9) tahun, sebanyak 23.500 orang. Sebagian dari anak-anak inilah yang ‘meramaikan’ jalan-jalan Kota Makassar dengan berbagai aktivitas, sebagai pengemis, loper koran, atau pedagang asongan. Yang lain, terpaksa menjadi pekerja anak, termasuk di sektor berbahaya, dengan bayaran teramat murah.

Beban retribusi yang ditujukan terhadap setiap anak baru lahir, tidak dibarengi pengalokasian dana bagi mereka. Tampaknya, belum ada strategi jitu untuk menyelamatkan anak-anak, agar bangsa ini terhindar dari ancaman kehilangan generasi terbaiknya. Indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang berada pada peringkat rendah, tidak dijadikan sebagai koreksi atas kebijakan yang ditempuh selama ini. Perbaikan kualitas sumber daya manusia melalui pengalokasian anggaran yang proporsional untuk anak, tidak pernah secara sungguh-sungguh dilaksanakan. Dalam situasi seperti ini, pemerintah masih saja menerapkan politik anggaran yang tidak sensitif anak.

Pro Child Budget
Untuk itu, diingatkan perlu mengalokasikan anggaran yang pro child budget. Anggaran yang berpihak pada anak, bukan hanya diukur dari proporsi dana yang disediakan tapi, lebih dari itu, memperhatikan untuk apa saja anggaran itu digunakan. Dasar hukum penyusunan konsep ini dapat ditemukan dalam UUD 1945, Pasal 28B ayat (2), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta berbagai peraturan perundang-undangan menyangkut anak.

Anggaran yang pro child budget adalah pernyataan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi pada suatu periode tertentu, yang dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil mempertimbangkan kepentingan terbaik anak sebagai prioritas, dengan memperhatikan keadilan bagi setiap anak laki-laki dan perempuan dari latar belakang berbeda (ras, suku, budaya, agama), dengan mendengar pendapat anak dalam setiap tahapan kegiatan, demi kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya. Anggaran yang pro child budget ini merupakan semua anggaran yang bersentuhan langsung dengan anak atau yang akan berdampak pada anak.

Manfaat anggaran pro child budget bagi anak, yakni untuk memastikan kebutuhan dan kepentingan setiap anak laki-laki dan perempuan dapat ditanggulangi melalui anggaran yang dialokasikan pemerintah, dalam berbagai sektor kehidupan anak, sebagai implementasi kewajiban generik negara terhadap warga negaranya. Di samping untuk mengantisipasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mendasar dan segera dari anak, yang akan memengaruhi kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya, serta untuk meningkatkan kualitas SDM, dengan mensimultankan perhatian pada aspek kesejahteraan dan perlindungan anak. Program-program ini selanjutnya dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan melalui pelayanan yang ramah anak.

Selain untuk anak, anggaran yang pro child budget juga bermanfaat bagi pemerintah. Antara lain, dapat meningkatkan efisiensi yang berdampak positif pada terjaminnya pengeluaran yang bermanfaat untuk mereka yang paling membutuhkan. Dapat pula digunakan sebagai bahan laporan bahwa pembangunan dan kebijakan yang ditempuh telah memenuhi dan sesuai nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, terutama hak-hak anak, serta adil gender. Selanjutnya, dapat dijadikan dasar untuk melaporkan pencapaian komitmen pelaksanaan hak-hak anak dalam rangka children mainstreaming, sesuai rencana aksi internasional yang berhubungan dengan anak.
Sebagai eksekutif, Pemkot perlu bertindak sebagai fasilitator untuk menghadirkan para pelaku pro child budget dalam sebuah forum multi-stakeholder guna merumuskan visi dan misi yang hendak dicapai mengenai anak. Jadi, tanggung jawab mewujudkan anggaran yang pro child budget bukan semata terletak di tangan pemerintah saja tapi juga mereka yang berada di ranah legislatif, yudikatif, sektor usaha, media massa, institusi agama, akademisi, LSM, donor, masyarakat sipil, orangtua, tak terkecuali anak-anak itu sendiri.(*)

(Sumber: Pedoman Rakyat, 9 April 2005)

Senin, 28 September 2009

KLIPING KORAN


Menunggu Realisasi Tekad Gubernur Sulsel

“Cinta paling agung adalah perhatian yang saling kita berikan dengan sesama,
terutama terhadap anak-anak.”
[Mumia Abu-Jamal]

Jabatan H. Zainal Basri Palaguna sebagai Gubernur Sulawesi Selatan tinggal menghitung hari. Sebagai gubernur, Palaguna jelas telah berbuat banyak bagi rakyat Sulsel. Atau, mungkin juga belum melakukan beberapa segi lainnya yang dibutuhkan masyarakat yang dipimpinnya. Plus-minus dalam periode kepemimpinan pada level apapun selalu seperti dua sisi dari satu mata uang. Tulisan ini bukan ingin menilai laporan pertanggungjawaban (LPJ) gubernur yang tengah dibahas fraksi-fraksi di DPRD Sulsel. Tapi, lebih menekankan pada sebuah tonggak yang telah dipancangkan. Sebuah tonggak yang dilakukan tepat pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 1999 lalu. Ketika itu, gubernur menyerahkan secara simbolis 100 lembar sertifikat akta kelahiran bagi anak-anak jalanan dan pengungsi anak asal Timor Timur. Sebelumnya, gubernur menyatakan tekadnya, mulai tahun 2000 anak-anak Sulsel tidak ada lagi yang tidak memiliki akta kelahiran.

Tekad gubernur ini bukan tanpa alasan. Pada Lokakarya Pencatatan Kelahiran Anak di Sulsel, kerja sama LPA Sulsel, Pemda Sulsel dan UNICEF (9/10/1999), gubernur mengaku baru kali itu ia mengetahui jika pencatatan kelahiran berkaitan dengan status kewarganegaraan seorang anak. Artinya, bila seorang anak tidak tercatat kelahirannya yang dibuktikan melalui selembar akta kelahiran maka anak bersangkutan secara hukum tidak diakui sebagai warga negara. Karena itu, akta kelahiran disebut sebagai pengakuan legal pertama negara terhadap seorang anak. Sebelumnya, pemahaman atas akta kelahiran ini biasanya hanya dikaitkan dengan urusan sekolah, saat akan menikah, masuk PNS/TNI/Polri atau bila akan mengurus visa ke luar negeri. Padahal, persoalan akta kelahiran tidak sesederhana itu.

Para aktivis anak meyakini, akta kelahiran merupakan salah satu critical point dalam upaya perlindungan anak, terutama bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Anak-anak jalanan dan pengungsi anak asal Timor Timur itu di antaranya, yang termasuk dalam kategori ini, selain anak korban kekerasan, anak konflik hukum, pekerja anak dan anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual. Perlindungan terhadap hak-hak mereka, hanya akan dipenuhi bila usianya jelas. Validitas menyangkut umur anak akan mudah diketahui bila ia memiliki akta kelahiran.

Sikap gubernur yang begitu responsif terhadap masalah akta kelahiran, yang angka pencatatannya di Indonesia sangat rendah, boleh dikata menjadi catatan penting dalam sejarah advokasi perlindungan anak di Indonesia. Magnitude program ini lantas mendapat publikasi luas di berbagai media, kemudian menasional dan menjadi agenda LPA lain di Indonesia. Wacana tentang pentingnya akta kelahiran segera mengemuka setelah pencanangan dan pemberian akta kelahiran tersebut. Untuk mendukung tekadnya, gubernur malah memberikan dana sebesar 10 juta rupiah yang ‘diambil’ dari dana APBD Sulsel tahun 2000. Sayang, tekad gubernur kurang mendapat dukungan dari instansi pelaksana teknis terkait, dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan sipil Kota Makassar. Bukti ketidaksigapan ini bisa dilihat dari proses penyelesaian pengurusan 5.093 akta kelahiran yang didaftarkan masyarakat melalui LPA Sulsel. Padahal, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sudah berganti pimpinan sebanyak tiga kali, sejak program itu digulirkan tiga tahun silam.

Lemahnya dukungan yang diberikan Pemkot Makassar soal program ini, sempat dikeluhkan gubernur ketika sejumlah aktivis anak, termasuk penulis, melakukan audience dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli 2001. Ketika itu, gubernur mengatakan pemerintah kota/kabupaten keliru mengartikan urusan pencatatan sipil. Urusan ini, kata Palaguna, bukanlah bagian yang ikut didesentralisasikan, sebagaimana dimaksud UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tapi merupakan urusan dekonsentrasi. Maksudnya, pencatatan kelahiran tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat tapi pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hanya saja, semangat Otoda membuat pemerintah kota/kabupaten lantas mengklaim mereka berhak menjadikan pencatatan sipil—yang di dalamnya juga menyangkut pencatatan kelahiran—sebagai sumber retribusi daerah. Maka, dibuatlah perda untuk memberikan legitimasi pungutan biaya retribusi pengurusan akta kelahiran.

Keberhasilan mempromosikan pentingnya akta kelahiran, tidak dibarengi dengan langkah nyata yang harus dilakukan untuk mencapai tekad gubernur: mulai tahun 2000, anak Sulsel tidak ada lagi yang tidak memiliki akta kelahiran! Itulah kelemahan program ini, disamping tidak adanya komitmen dari pimpinan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk menyelesaikan program tersebut. Sulit memang menuntut konsistensi Pemkot Makassar untuk segera merealisasikan program akta kelahiran ‘gratis’ (kenyataannya dibayar oleh Pemprov Sulsel) mengingat akta kelahiran sebagai bagian dari pencatatan sipil diikutkan sebagai salah satu sumber PAD Makassar. Menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Amir Madjid, APBD Makassar 2002 menargetkan pemasukan dari sektor ini sebesar 3 miliar rupiah. Sebuah target yang fantastik. Karena itu, belum ada tindakan konkrit yang dilakukan sekalipun Walikota Makassar H.B. Amiruddin Maula sudah mengeluarkan Keputusan Nomor: 690/Kep/474.1/2002 tentang Pembebasan Biaya Penerbitan Akta Kelahiran, Pengesahan dan Pengakuan Anak di Bawah Pengampuan/Perwalian Negara Maupun Lembaga, serta Masyarakat yang Tergolong Tidak Mampu.

Berbeda dengan di Makassar, upaya advokasi akta kelahiran di beberapa kabupaten di Sulsel cukup mendapat perhatian serius, baik dari bupati maupun DPRD-nya. Menyadari pentingnya akta kelahiran bagi anak, Bupati Bantaeng Azikin Solthan, mengeluarkan SK Nomor 234 Tahun 2002 tentang Pembebasan Retribusi atas Penerbitan Akta Kelahiran bagi Anak Usia 0-6 Tahun. Kebijakan yang dinilai populis ini mendapat dukungan DPRD Bantaeng melalui SK DPRD Kabupaten Bantaeng Nomor: 12/KPTS-DPRD/VII/2002, tanggal 27 Juli 2002. SK ini menunjukkan betapa Pemkab Bantaeng hendak berbuat yang terbaik bagi kepentingan anak, meski dengan begitu harus kehilangan PAD sekitar 11 juta rupiah setiap tahunnya. Respons yang sama juga diikuti Kabupaten Polmas, Bone, Mamuju, dan Takalar, yang menjadi mitra UNICEF. Lembaga PBB ini dan NGO anak lainnya memang merupakan deretan institusi yang memiliki kepedulian untuk tercapainya universal registration soal pencatatan kelahiran. Karena sejak semula disadari, tanpa akta kelahiran sulit kiranya memenuhi dan melindungi hak-hak anak.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya, apakah dengan dua SK yang membebaskan biaya akta kelahiran, bisa dikatakan tekad gubernur mulai terlaksana? Untuk sebuah optimisme, jawabannya adalah “ya”. Tapi, untuk sebuah hasil advokasi, tampaknya SK saja tidak cukup. Legitimasi hukumnya masih rendah. Harus dikuatkan dengan sebuah perda. Bila perlu perda pada level provinsi, untuk menjaga harmonisasi kebijakan. Sehingga, perda pada tingkat kabupaten/kota soal pencatatan kelahiran akan merujuk ke sana. Perda di level provinsi harus memuat secara jelas tentang Rencana Aksi Daerah (RAD) mengenai tahap-tahap yang akan dilakukan serta jangka waktu untuk mencapai pencatatan kelahiran 100%. Tanpa itu semua, niscaya tekad gubernur hanya akan menjadi sebuah utopia. Dengan adanya rencana aksi yang jelas maka upaya yang dilakukan tidak bersifat instan. Sebab, adanya perda akan diikuti peningkatan kualitas pelayanan pada tataran pelaksana dan meningkatnya pemahaman masyarakat untuk segera mencatatkan kelahiran anaknya.

Tekad gubernur ini, jangan hanya ditafsirkan sebagai tekad H.Z.B. Palaguna pribadi, tapi harus menjadi agenda gubernur manapun, tak terkecuali Gubernur Sulsel periode 2003-2008 mendatang. Gubernur sebagai wakil pemerintah memiliki kewajiban untuk melaksanakan Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi KHA. Dalam KHA disebutkan, setiap anak yang lahir berhak untuk segera dicatatkan kelahirannya. Karena tidak ada kata “esok” untuk anak maka sudah selayaknya bila prioritas gubernur terpilih mengagendakan pencatatan kelahiran sebagai program yang perlu mendapat perhatian.

Untuk mengingatkan Gubernur Sulsel serta para pemimpin lainnya menyangkut pemenuhan hak-hak anak, mengakhiri tulisan ini penulis hendak mengutip pernyataan Ketua Dewan Pakar LPA Jabar, Prof. H.M. Sambas Wiriadisuria M.D. (Kompas, 3/7/2002), yang mengatakan bahwa kita sekarang membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk bisa menggiring masyarakat bergerak ke arah... kesadaran akan hak-hak anak.... Ini adalah persoalan hak asasi manusia. Masyarakat kita belum menyadari hal ini. Dan, itulah yang mesti menjadi tekad gubernur mendatang untuk memberikan pencerahan agar kita semua lebih memiliki perspektif anak.(*)

Mengkritisi UU Perlindungan Anak

“Bagi anak-anak yang tidak memiliki keluarga atau perlindungan,
masyarakat adalah penjaga mereka.”
[Muammar Qathafi]

Setelah menunggu selama lebih 12 tahun—dihitung sejak ratifikasi KHA, tanggal 25 Agustus 1990 melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990—kita akhirnya memiliki sebuah undang-undang yang secara legal diharapkan akan melindungi seluruh anak Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini disetujui dalam Sidang Paripurna DPR RI, 23 September 2002, kemudian ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, 22 Oktober 2002. Meskipun undang-undang ini dinyatakan mulai berlaku pada tanggal diundangkan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 93, kenyataannya belum banyak yang mengetahui keberadaan UU Perlindungan Anak tersebut.

Kita memang serba lambat melakukan upaya perlindungan anak dan tidak melihat persoalan anak sebagai bagian dari masalah bangsa yang harus mendapat perhatian serius. Bayangkan saja, kita meratifikasi KHA hanya dengan Keputusan Presiden, yang kedudukan hukumnya lemah. Sosialisasi yang dilakukan menyangkut KHA juga terbilang minim. Ketidaktahuan akan konvensi ini membuat sebagian masyarakat apriori. Mereka menganggap KHA merupakan produk barat, yang membawa misi Amerika Serikat, sehingga tidak cocok dengan nilai-nilai budaya nasional. Padahal, negara Uncle Sam merupakan satu di antara enam negara yang tidak ikut meratifikasi konvensi, disamping Swiss, Oman, Kepulauan Cook, Somalia dan United Arab.
Bandingkan dengan Malaysia yang begitu sigap. Setelah meratifikasi KHA, Malaysia segera membuat Akta Perlindungan Kanak-kanak, tahun 1991. Untuk memberikan perlindungan anak yang efektif, negeri jiran ini memiliki tidak kurang dari 32 undang-undang. Malaysia juga membangun mekanisme rujukan penanganan kasus dengan melibatkan instansi pemerintah, kalangan profesional dan masyarakat. Sebuah upaya habis-habisan yang patut ditiru.

Sebagai bagian integral dari instrumen HAM, KHA diakui merupakan konvensi paling lengkap karena memuat hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, untuk bisa diterapkan di masing-masing negara, konvensi mengamanahkan agar setiap negara peserta mengambil semua langkah legislatif dan administratif serta langkah-langkah lain yang diperlukan. Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan bagian dari political will pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Hanya saja, mengharapkan Undang-Undang Perlindungan Anak akan berjalan efektif, tampaknya masih butuh perdebatan panjang. Masih ada pasal-pasal yang terkesan rancu dan tidak menampakkan kesatuan pandangan dengan pasal-pasal lain. Hal ini bisa mengaburkan semangat penegakkan hukum bagi pelanggar undang-undang ini, sekalipun dicantumkan sanksi pidana dan perdata untuk itu. Singkatnya, boleh dikata, undang-undang ini tidak konsisten menerapkan prinsip-prinsip perlindungan anak.

Kejanggalan ini bukan tidak dirasakan kalangan pemerhati anak. Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengakui UU Perlindungan Anak memiliki kekurangan. Seto mengeritik undang-undang ini karena mencantumkan kewajiban anak dalam salah satu pasalnya. Meski demikian, Seto mengajak semua pihak melihat segi positif dari undang-undang tersebut (Radio 68H, 18/11/2002). Pasal yang dimaksud Kak Seto adalah Pasal 19, yang menyebutkan setiap anak berkewajiban: (a) menghormati orang tua, wali dan guru; (b) mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman; (c) mencintai tanah air, bangsa dan negara; (d) menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan (e) melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Sepintas tidak ada yang janggal dari pasal ini. Bukankah dengan demikian anak-anak tidak saja diperkenalkan pada hak-haknya tapi juga pada kewajiban-kewajiban yang harus dilakukannya? Sesuatu yang selama ini memang diajarkan, bahwa kita jangan hanya tahu menuntut hak tapi juga melaksanakan kewajiban. Kalimat ini sudah menjadi dogma dan terinternalisasi dalam diri setiap orang. Sehingga, kalaupun seorang anak menjadi ‘korban eksploitasi’ orangtua, mereka tidak menyadarinya dan menganggap hal itu sebagai bagian dari sikap dan nilai-nilai yang sudah seharusnya diikuti. Kasus anak-anak yang terpaksa (atau dipaksa?) meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja, atau untuk kawin muda bagi anak-anak perempuan, merupakan sedikit contoh bagaimana anak-anak—dengan alasan menghormati orangtua dan mencintai keluarga—mengikuti keputusan orangtuanya. Anak-anak tidak cukup leluasa mengungkapkan pandangannya karena budaya kita masih menganggap tabu anak-anak mendebat dan bersikap kritis terhadap orangtuanya.

Inilah yang dimaksudkan dengan kerancuan itu dan akan menjadi batu sandungan pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Anak. Akan sulit bagi kita, dan terutama penegak hukum, untuk melakukan intervensi bila pasal menyangkut kewajiban anak ini dipegang dan menjadi alasan orangtua mempekerjakan anaknya. Padahal, pada tataran tertentu, pekerja/buruh anak merupakan bagian dari eksploitasi ekonomi dan dikategorikan sebagai anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Karena itu, Undang-Undang Perlindungan Anak memberikan sanksi kepada setiap orang yang melakukan eksploitasi ekonomi terhadap anak, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta (Pasal 88).

Dalam suasana di mana anak-anak masih berada dalam tekanan sosio-kultural, sulit membayangkan pasal ini bisa memberi harapan bagi pekerja anak, yang terus menunjukkan tren kenaikan. Jadi, tekad Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah (Radio 68H, 18/11/2002) yang mengatakan pada tahun 2003 tidak bisa lagi mempekerjakan anak merupakan pernyataan yang asal omong. Begitu pun, pernyataan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jacob Nuwawea, pada talk show memperingati Hari Relawan Sedunia di “Jakarta First Channel” Radio Trijaya FM, 25 November 2002. Menurut Nuwawea, kita harus punya sikap yang jelas melarang anak-anak di bawah usia 15 tahun bekerja, hanyalah kata-kata penghiburan belaka.

Keinginan kedua petinggi negara itu sulit diterapkan pada masyarakat yang masih sangat menjunjung tinggi paternalisme, di mana kata-kata orangtua seperti titah baginda raja yang harus dipatuhi. Kita akan repot menghadapi pandangan orangtua yang lebih menghendaki anaknya bekerja ketimbang melanjutkan pendidikan. Bahkan, ketika ada indikasi terjadi eksploitasi anak pun, akan sulit untuk menghentikannya. Padahal, menilai terjadi-tidaknya eksploitasi ekonomi bisa dilakukan secara sederhana, yakni apakah anak didengar ketika ia diajak atau disuruh bekerja. Pernyataan kesediaan anak harus merupakan persetujuan kehendak bebas yang dilakukan tanpa tekanan. Bila tidak ada pernyataan kesediaan, atau bila anak tidak pernah diajak berunding dan mendapat gambaran menyangkut konsekuensi atas pekerjaannya maka dapat dikatakan anak berada dalam situasi eksploitasi. Apalagi bila manfaat dari jerih payah anak lebih dinikmati orangtua atau pihak lain, bukan untuk kepentingan anak, misalnya, untuk melanjutkan pendidikannya.

Memang, catatan mengenai konstruksi sosial dan politis tentang masa kanak-kanak (childhood) menyimpulkan bahwa gagasan mengenai anak sebagai pribadi (dalam hal ini sebagai subyek sosial dan politik yang aktif dengan hak untuk mengekspresikan ide/pandangan mereka dan kemudian didengar ide-idenya) belum terlalu tertanam dalam sikap pemerintah maupun masyarakat (White dan Tjandraningsih, 1998). Teks pasal-pasal yang terbaca dalam UU Perlindungan Anak bisa memberikan indikasi kuat ke arah itu. Sebagai produk legislasi nasional, pemerintah dan DPR gagal membuktikan mereka memiliki pandangan komprehensif untuk mengatasi persoalan anak, yang selalu didengungkan sebagai generasi pelanjut masa depan bangsa.

Soal tidak memadainya pengaturan partisipasi anak ini patut disayangkan mengingat hak partisipasi dianggap sebagai alas hak dan menjadi salah satu pilar penting prinsip perlindungan anak. Dalam buku “Memahami Undang-Undang Perlindungan Anak” terbitan Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI (2002), disebutkan, “penghormatan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut hal-hal yang memengaruhi kehidupannya.” Memilih terus bersekolah atau keluar dari sekolah untuk bekerja, atau putus sekolah kemudian kawin merupakan beberapa kasus yang butuh pandangan anak karena akan memengaruhi kehidupannya. Sayangnya, undang-undang tidak cukup mengakomodasi dan mengantisipasi persoalan seperti ini.

Hak anak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya memang disebutkan dalam Pasal 10. Selanjutnya dalam Pasal 24 disebutkan pula, “negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai denga usia dan tingkat kecerdasannya.” Namun, kembali ke Pasal 10, disebutkan hak ini selain dilakukan sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usia anak demi pengembangan dirinya, juga sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Kalimat “nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan” ini sangat nisbi karena tergantung dari cara pandang kita (orang dewasa) terhadap anak dan bagaimana posisi anak dalam budaya masyarakat, yang hasilnya bisa berbeda-beda.

Pasal yang sedikit lebih terang dan jelas mengatur tentang hak partisipasi hanya Pasal 56, yang menyebutkan bahwa: ayat (1) pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak agar anak dapat:
a. berpartisipasi;
b. bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;
c. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak;
d. bebas berserikat dan berkumpul;
e. bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, berkarya seni budaya; dan
f. memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
Selain pasal ini, tidak ada lagi!
Anak-anak tampaknya masih harus menunggu beberapa generasi untuk bisa duduk satu meja dengan orang-orang dewasa membicarakan masalah mereka. Sebab, Undang-Undang Perlindungan Anak sama sekali tidak memberikan jatah bagi kelompok anak berpartisipasi dalam Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisi yang dibentuk dengan maksud untuk mengefektifkan penyelenggaraan perlindungan anak ini, hanya akan terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi masyarakat, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Merekalah yang akan merepresentasikan kepentingan anak.

Terlalu dini mungkin bila kita memberikan penilaian terhadap undang-undang ini yang baru beberapa bulan diberlakukan. Pandangan kritis dalam tulisan ini lebih didorong atas keinginan yang besar agar UU Perlindungan Anak tidak mati suri tapi benar-benar menjadi hukum yang hidup dan berlaku efektif dalam masyarakat. Untuk itu, barangkali kita bisa belajar dari kasus yang terjadi di Brasil (Kompas, 3/7/2002). Negara penggila sepak bola ini semula dijejali persoalan anak jalanan, penyiksaan anak, perdagangan anak dan sebagainya. Kini situasinya berubah. Setelah reformasi perlindungan anak yang melibatkan partisipasi masyarakat, terutama dalam melakukan monitoring dan evaluasi, terasa ada perbaikan dan manfaatnya.(*)

Urgensi MK bagi Perlindungan Anak

“Uji coba moral sebuah pemerintahan adalah bagaimana ia memperlakukan mereka
yang berada pada fajar kehidupan anak-anak dan mereka yang berada dalam bayang-bayang kehidupan,
orang sakit, miskin dan penyandang cacat.”
[Hubert H. Humphrey]

Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Demikian yang tertera secara tegas di dalam penjelasan UUD 1945. Tapi, apa yang terjadi? Praktik penyelenggaraan negara kita menunjukkan bahwa hukum tidak (pernah) benar-benar ditegakkan. Penegakkan hukum (law enforcement) masih terombang-ambing akibat tarik-menarik antara kepentingan-kepentingan politik, ekonomi dan kekuasaan. Hukum malah sering dipelintir untuk digunakan menjustifikasi tindakan para politisi, pemilik modal besar (konglomerat) dan pemegang kekuasaan di pusat dan daerah.

Hukum, sebagai seperangkat nilai yang mestinya menjadi pedoman untuk membangun keteraturan hidup sebagai bangsa beradab, masih sangat kurang dipahami. Padahal, hukum dapat didayagunakan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan apresiasi terhadap HAM maupun untuk menumbuhkan tatanan demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Bagi kita, Indonesia, apa yang menjadi cita-cita hukum (rechtsidee) itu dapat ditemukan pada pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945, yang sudah pasti juga menjadi visi pendirian negara ini oleh founding fathers kita.
Spirit dari nilai hukum inilah yang belum (atau malah tidak tampak?) dalam pembentukan dan pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi (MK). Kita sama mengetahui, beberapa kali pembentukan Pansus RUU MK diundur. Padahal, waktu untuk pembentukan pansus ini sangat mendesak dilakukan. Berdasarkan amanat konstitusi, lembaga itu sudah harus terbentuk selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 ini. Kita juga sama tahu, kegagalan itu bukan disebabkan oleh kehati-hatian anggota DPR dalam mengambil keputusan karena pertimbangan pentingnya MK. Melainkan karena kuatnya kepentingan politik dari masing-masing fraksi.

Lambannya pembentukan dan pembahasan RUU MK ini menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Mereka khawatir, dalam keterpepetan, pansus akan bekerja secara tergesa-gesa dan kurang melakukan pengkajian yang mendalam sehingga produk undang-undangnya menjadi tidak maksimal. Kekhawatiran ini dapat dimaklumi mengingat sedemikian strategisnya MK bagi penyelenggaraan negara ‘Indonesia yang baru’ pasca euforia reformasi. Nilai strategis MK dapat dilihat pada kewenangan yang dimilikinya, yakni kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final, untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan pemilu (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 [amandemen ketiga]).

Kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review) sebelumnya diatur dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR Nomor III/MPR/2000 namun dengan adanya UU MK, kewenangan ini kelak berada di tangan MK. Sedangkan hak menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dikukuhkan oleh Mahkamah Agung (MA). Kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD ini meliputi hak uji materil, yakni melihat isi suatu undang-undang apakah sesuai dengan UUD, dan hak uji formil untuk melihat apakah pembuatan undang-undang itu sudah sesuai dengan UUD. Hak menguji undang-undang ini untuk melaksanakan fungsi yang penting dari asas hukum lex superior derogat legi inferiori, artinya peraturan hukum yang hirarkinya lebih tinggi harus didahulukan daripada hukum yang lebih rendah. Dengan kata lain, hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Penyelesaian konflik yang terjadi di dalam sistem hukum nasional sudah harus menemukan jalan keluarnya demi harmonisasi dan kepastian hukum, terutama berkaitan dengan isu-isu HAM. Menurut Pokok-pokok Pemikiran dan RUU MK untuk Pembentukan Mahkamah Konstitusi 2003 oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Lembaga Penelitian dan Pengkajian Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN) dan Local Government Studies (LOGOS), gagasan dasar MK, selain sebagai mekanisme check and balances dan penyelenggaraan negara yang bersih, keberadaan MK juga dimaksudkan untuk perlindungan hak asasi manusia. MK ini diharapkan merupakan kekuasaan yang bertugas menjaga agar penyelenggaraan negara tetap berpijak pada prinsip demokrasi dan menghormati serta melindungi hak asasi manusia.
Sebagaimana diketahui, dengan semakin meningkatnya kesadaran hak asasi manusia, hak anak diatur secara terpisah dalam perundang-undangan tersendiri. Hal tersebut dilakukan mengingat anak sebagai kelompok yang tergantung, rentan dan masih dalam perkembangan membutuhkan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya (lihat Pasal 5 ayat (3) UU tentang HAM). Perlindungan dilakukan karena mereka berpotensi menjadi target kekerasan, eksploitasi dan penelantaran oleh orang dewasa, termasuk oleh orangtua biologisnya. Tak cuma itu, anak-anak perlu juga didengar pendapatnya dalam setiap keputusan yang berkaitan dengan kepentingannya, sebagai wujud pengakuan kita atas hak partispasi anak.

Sayang sekali, konstitusi kita tidak mengakomodasi secara utuh konsepsi dan prinsip-prinsip hak anak. Hal ini bisa dibaca dengan jelas di dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 (amandemen kedua), yang berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Tampak bahwa “hak partisipasi” yang sekaligus merupakan prinsip perlindungan anak, tidak terdapat dalam rumusan pasal itu. Begitu pun, kita tidak menemukan kata-kata perlindungan dari “eksploitasi” dan “penelantaran” dalam rumusan pasal yang sama. Sehingga, problem hukum perlindungan anak kita bukan saja berada pada undang-undang dan berbagai peraturan yang saling-silang sengkarut tapi juga pada konstitusi itu sendiri.

Pertanyaan yang dapat diajukan kemudian, bagaimana MK menyikapi kekurangan ini? Bagaimana MK bisa menyitir pasal dalam UUD 1945 sebagai sumber rujukan, bila pasal yang menjadi acuan untuk menguji sebuah undang-undang sedemikian rapuh memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak anak?

Begitu pun perlindungan terhadap anak tidak akan mencapai tujuannya, seperti disebutkan dalam Pasal 3 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bila rumusan menyangkut usia kedewasaan anak masih bersifat mendua: berdasarkan umur dan status perkawinan. Sebagai contoh, UU Perlindungan Anak dengan lugas dan tegas menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 ayat (1)). Sementara, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebutkan, anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah... (Pasal 1 ayat (5)). Begitu pun dengan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak hanya mengakui seseorang masih termasuk kategori anak bila belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 ayat (1)). Aturan ini menyiratkan seorang anak akan kehilangan hak-hak istimewanya sebagai anak bilamana ia telah menikah/kawin.
Memang dalam masyarakat kita, anak-anak yang sudah akil balik dan telah menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder, secara adat maupun agama, tidak lagi diperlakukan sebagai anak-anak. Sehingga, tidak jarang orangtua menikahkan anaknya pada usia anak masih sangat belia (perkawinan dini) atau masih di bawah umur (tidak memenuhi syarat hukum). Menurut psikolog Sarlito Wirawan Sarwono (2002), seorang yang sudah menikah, pada usia berapa pun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga.

Ketidaktegasan usia definitif anak ini, oleh beberapa kalangan, dijadikan bahan debatable karena memiliki konsekuensi hukum bagi si anak. Dalam kasus-kasus tindak pidana, misalnya, jelas ada prosedur dan sanksi hukum berbeda yang diterapkan manakala seseorang masih dalam kategori anak (berdasarkan umur), dengan seseorang yang dianggap sudah dewasa (berdasarkan status perkawinan). Bila ia masih kategori anak maka akan menjalani proses hukum sebagaimana diatur di dalam UU Peradilan Anak. Sedangkan, bila dianggap dewasa (sekalipun masih di bawah umur 18 tahun tapi sudah menikah/kawin) maka akan menjalani proses dan sanksi hukum sesuai KUHAP. Padahal, akibat yang ditanggung dari keduanya sangat berbeda. Bila ia dianggap masih kategori anak maka tidak dapat dijatuhi sanksi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati. Sebaliknya, bila telah dianggap dewasa, kedua sanksi mengerikan itu bisa ditimpakan padanya.

Daftar inventarisasi masalah pada isi perundang-undangan kita bisa sangat banyak bila mau dibeberkan di sini, baik perundang-undangan di bidang anak maupun perundang-undangan lain yang berdampak pada anak. Sudah menjadi semacam penyakit kronis bagi bangsa ini, yang kurang taat asas dan sering mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang berlaku universal. Akibatnya, produktifitas kita membuat peraturan tak banyak gunanya karena hukum yang dibuat saling bertentangan bahkan terhadap hukum yang lebih tinggi. Adalah tugas MK untuk merapikan semua keruwetan kosmetik hukum kita yang masih berwajah bopeng ini.
Karena itu, kita butuh hakim-hakim MK yang kredibel, bukan hasil kompromi politik, agar dapat menjadi penjaga dan pengawal konstitusi, sebagaimana diharapkan Ketua MPR RI, M. Amien Rais, saat membuka Sidang Tahunan MPR RI. Kita semua berkepentingan terhadap MK yang bersih, jauh dari komoditas politik. Jika demikian, kita bukan hanya butuh hakim-hakim berintegritas dan berkepribadian tidak tercela, adil dan negarawan, yang menguasai konstitusi. Tapi juga butuh hakim yang memiliki perspektif anak, yang menempatkan kepentingan terbaik anak dalam setiap pertimbangan keputusannya.(*)

Meninjau Ulang Hak Anak dalam Amandemen UUD 1945

“Cara suatu masyarakat memperlakukan anak, tidak hanya mencerminkan kualitas rasa iba,
hasrat untuk melindungi dan memperhatikan anak, namun juga mencerminkan kepekaannya akan rasa keadilan, komitmennya pada masa depan dan peranan penting anak sebagai generasi bangsanya.”
[Javier Perez de Cuellar]

Eskalasi tuntutan terhadap perubahan konstitusi yang menguat pasca bergulirnya reformasi, telah menjadi kenyataan. Banyak kalangan berkomentar, perubahan konstitusi yang disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI, 2002, merupaka kehendak sejarah yang sulit ditahan. Sebagian malah menganggap perubahan konstitusi sudah menjadi ketetapan Tuhan Yang Maha Esa. Perubahan ini merupakan penyempurnaan dan perbaikan terhadap UUD 1945 sehubungan adanya perubahan zaman yang pesat dan mendasar. Menurut Ketua MPR, Amien Rais, apabila hasil perubahan konstitusi dijalankan secara konsisten akan menjamin terciptanya negara Indonesia yang demokratis dan melindungi hak asasi manusia. Pada Pembukaan Sidang Tahunan MPR RI, 1 Agustus 2003, itu Amien Rais seperti hendak menegaskan kembali kata-katanya dulu bahwa reformasi konstitusi yang sudah dilakukan menunjukkan bangsa ini telah semakin demokratis, lebih maju dan modern.
Kata “demokrasi” dan “HAM” memang merupakan kata kunci yang menjadi roh perjuangan kalangan pro-demokrasi. Selama masa Orde Baru, dua kata ini seolah kehilangan tempat berpijak dan tabu diungkap sebagai wacana publik. Kini, sistem yang memungkinkan pemerintah bisa menjalankan kekuasaannya secara represif dan manipulatif telah berlalu. Tapi, yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah amandemen ini juga akan membawa iklim demokratis pada level anak, dan seberapa memadaikah perlindungan terhadap hak-hak anak dalam konstitusi baru kita?
Pertanyaan ini dikemukakan sebagai bentuk kegelisahan penulis atas konsepsi hak anak, yang secara spesifik disebutkan dalam Pasal 28B ayat (2). Pasal dimaksud menyebutkan, “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Jelas sekali ada yang kurang dari hasil rumusan, yang disahkan sebagai perubahan kedua UUD 1945 ini, yakni tidak disebutkannya “hak partisipasi anak”. Padahal hak berpartisipasi (participation), dalam kategori KHA, merupakan satu dari empat hak anak yang terpenting, disamping hak atas kelangsungan hidup (survival), tumbuh kembang (development) dan perlindungan (protection). Prinsip umum perlindungan anak meletakkan partisipasi dan non-diskriminasi sebagai alas hak yang tidak bisa diabaikan. Artinya, mustahil tumbuh-kembang anak bisa tercapai bila ada pembedaan perlakuan hanya karena alasan etnisitas, agama, jenis kelamin, warna kulit dan lain-lain. Begitu pun, kita tidak bisa berdalih untuk kepentingan terbaik anak, bila kita tidak pernah memberi ruang bagi anak mengemukakan pendapatnya. Dengan mendengar pendapat anak maka kepentingan anak akan terlindungi. Bila anak terlatih mengemukakan pendapat, mereka akan mampu berpikir logis dan bersikap kritis, disamping akan terbangun semangat dialogis sejak dini, yang nanti menjadi cikal bakal tumbuhnya nilai-nilai demokrasi pada diri anak.
Dengan tidak dicantumkannya hak anak untuk berpartisipasi, dapat dikatakan hasil amandemen UUD 1945 belum memenuhi prinsip indivisible dari HAM, bahwa hak seseorang tidak dapat dibagi-bagi. Maksudnya tidak bisa hak seseorang diberikan hanya sebagian saja dan sebagian lainnya tidak. Sebab, hak seseorang melekat sejak kelahirannya.
Sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, Indonesia mestinya konsekuen dan memiliki tanggung jawab moral untuk mengimplementasikan pasal-pasal konvensi. Dalam kaitan dengan hak berpartisipasi, negara mestinya menghormati, mengakui dan menjamin pelaksanaannya. Hak partisipasi itu menyangkut, misalnya, hak untuk secara bebas menyatakan pendapat dan didengar (Pasal 12 dan 13), hak atas kebebasan berpikir (Pasal 14) serta hak atas kebebasan berkumpul dan berhimpun secara damai (Pasal 15). Hak partisipasi, sebagai bagian dari hak-hak sipil (dan politik) anak, harus dipenuhi terutama bila akan memengaruhi kehidupan mereka. Hal ini sudah menjadi tuntutan anak-anak dari seluruh dunia, yang merupakan hasil perhitungan petisi Say Yes For Children. Petisi yang dituangkan dalam Dokumen New York berjudul “A World Fit for Children”, bulan Mei 2002, secara tegas menyebutkan pengutamaan anak disetiap kebijakan pemerintah dengan melibatkan partisipasi anak.
Pengakuan terhadap hak partisipasi anak tidak bisa dianggap sepele karena memiliki signifikansi pada upaya-upaya perlindungan anak, terutama anak-anak dalam situasi khusus (children in need of special protection). Sebagai contoh, pada kasus anak yang terlibat konflik dengan hukum, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak menjamin bahwa seorang anak yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana, berhak untuk memilih sendiri penasihat hukumnya, berhak mengajukan saksi bahkan menuntut ganti rugi.
Masih banyak contoh lain yang membuktikan perlunya mempertimbangkan pendapat anak, termasuk dalam hal ini pendapat anak perempuan untuk memilih pasangan hidupnya yang dijamin dalam KHA dan CEDAW. Bahkan, hak partisipasi anak dalam bidang politik diakui dengan memberikan kesempatan bagi anak usia 17 tahun memberikan suaranya pada saat pemilu. Jadi, alangkah naifnya bila ketidaksetujuan anggota MPR memasukkan hak partisipasi anak dalam amandemen UUD 1945 didasarkan pada pertimbangan bahwa hak itu tidak mendesak dan terlalu kebarat-baratan, sebagaimana disampaikan Muhammad Joni, anggota Komnas Perlindungan Anak, saat sosialisasi UU Perlindungan Anak, di Makassar, 7 Oktober 2002 lalu.
Substansi hak anak yang tercantum dalam rumusan Pasal 28B ayat (2) juga kurang lengkap karena seolah-olah hanya memandang anak perlu mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Mestinya, perlindungan yang diberikan negara terhadap anak, sebagai salah satu kewajiban generik negara, juga meliputi perlindungan dari “eksploitasi” dan “penelantaran”. Hal ini perlu disebutkan secara gamblang agar kehadiran pasal ini menjadi payung hukum yang kokoh bagi upaya perlindungan anak. Sebab, posisi anak-anak yang rentan dan tergantung sebagai akibat hubungan yang tidak setara antara anak dan orangtua bukan hanya membuat anak berpotensi menjadi korban kekerasan dan diskriminasi tapi juga eksploitasi ekonomi dan seksual serta penelantaran.
Konstruksi sosial, yang menempatkan anak subordinat terhadap orang tua, memungkinkan orang tua “berhak” melakukan apa saja pada anaknya, meski tanpa disadari merugikan anak. Kasus anak-anak yang bekerja pada sektor informal, yang diakui orangtua sebagai tradisi, jelas akan menjadi bias manakala orangtua “mempekerjakan” anak tanpa memperhatikan pendidikan anaknya. Kasus-kasus seperti ini bisa ditemui pada anak-anak yang bekerja sebagai nelayan atau kegiatan-kegiatan agraris lainnya. Pandangan bahwa anak sebagai milik orangtua, sebagai aset yang bisa didayagunakan, merupakan titik kritis yang mengancam kehidupan anak. Ini semua harus diwaspadai. Karena itu, dengan memasukkan kata “eksploitasi” dan “penelantaran” diharapkan akan mencegah dan mengeliminir potensi yang mungkin dapat menciderai hak-hak anak. Bagaimanapun, tindakan eksploitasi, diskriminasi, kekerasan, dan penelantaran merupakan bentuk-bentuk perlakuan yang menurunkan martabat anak sebagai manusia.
Berbeda dengan UUD 1945 yang secara tegas menyebutkan “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” (Pasal 34), dalam ‘UUD 2002’ rumusan kalimat seperti itu tidak ada lagi. Pasal yang relevan dengan hal ini diperluas, sehingga hak atas jaminan sosial bukan saja diperuntukkan bagi “fakir miskin” dan “anak-anak terlantar” tapi untuk setiap orang (Pasal 28H).
Pengaturan menyangkut perlindungan yang bersifat umum juga bisa dibaca dalam rumusan Pasal 28I, yang menyebutkan bahwa “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Masalahnya, dengan tidak menyebutkan secara terang dan jelas soal hak anak, akan sulit bagi kita membangun kesadaran kolektif untuk melakukan upaya yang sistematis bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Bukankah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengakui anak merupakan kelompok masyarakat rentan, yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya?
Telaah ringkas ini hendak memperlihatkan kepada kita bahwa hasil amandemen UUD 1945 yang kita banggakan itu, ternyata kurang memiliki perspektif anak. Sehingga, bisa disimpulkan pula bahwa anggota MPR RI yang melakukan perubahan dan menetapkan amandemen UUD 1945 itu juga kurang memiliki perspektif anak. Sebab, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa untuk mengerti sungguh-sungguh maksud UUD dari suatu negara, kita harus mempelajari bagaimana terjadinya teks itu, harus mengetahui keterangan-keterangannya dan juga harus mengetahui suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) ketika UUD itu dibikin. Tentu tidak ada kata terlambat untuk mengkaji ulang pasal-pasal UUD (ioi constitutionalle) yang berkenaan dengan hak-hak anak. Bila perlu MPR RI segera melakukan perubahan kelima agar konsepsi perlindungan anak dalam amandemen yang dilakukan lebih utuh.
UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi (groundnorm), tentu sangat diharapkan menjadi produk hukum yang sempurna karena ia akan menjiwai peraturan perundang-undangan di bawahnya. Jadi, bila UUD telah mengakui hak-hak anak maka sudah semestinya semua kebijakan pemerintah mengacu kepadanya. Dengan berpihak pada kepentingan terbaik anak maka sesungguhnya MPR RI, sebagai penjelmaan seluruh rakyat, telah meletakkan dasar yang kuat bagi keberlangsungan bangsa ini.(*)