Sabtu, 26 September 2009

Melindungi Anak Melalui Kurikulum Anti-Narkoba

Oleh Rusdin Tompo*

Suatu hari di tahun 2000. Sebagai aktivis hak anak, saya membezuk seorang siswa sekolah menengah kejuruan yang ditahan di Polsek Biringkanaya, di kawasan Daya, Makassar. Anak itu bercerita perihal mengapa ia harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Ia bertutur tentang pertemuannya dengan seorang teman yang baru datang dari Bali. Sahabatnya itu rupanya memberi bibit tanaman, yang kemudian ditanam di pot, tepat di depan rumahnya. Begitu daun-daun tumbuhan yang ditanamnya berkembang, ia diminta memetik beberapa lembar lantas dikeringkan dengan cara disetrika. Daun kering itu kemudian dicampur rokok untuk dihisap. Apa lacur, daun itu ternyata ganja. Singkat cerita, upaya ‘budidaya petani belia’ ini gagal. Ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam sel polisi.

Anak-anak Sangat Rentan
Ilustrasi ini menunjukkan bahwa anak-anak sangat rentan terhadap bujuk rayu yang bisa menjerumuskan mereka dalam penyalahgunaan NAPZA (narkoba, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) atau yang lebih popular dengan sebutan narkoba (narkotik dan obat-obatan berbahaya). Dari kasus-kasus yang terungkap tergambar bahwa keterlibatan anak-anak dalam mata rantai peredaran narkoba hampir terdapat di semua simpul. Mulai dari pengguna, kurir, hingga pengedar.

Khusus untuk pengguna, ada banyak alasan mengapa mereka terseret dan menghamba sebagai konsumen. Bisa karena tekanan teman sebaya agar diterima teman dan kelompoknya, untuk bersenang-senang, menghilangkan rasa bosan, jenuh dan kecemasan, stress, sekadar coba-coba, atau bisa juga karena terpengaruh mitos bahwa narkoba dapat meningkatkan gairah seks. Beberapa jenis narkoba yang mudah dan biasa dipakai di Indonesia adalah alkohol, mariyuana, nipam, mushroom dan LSD, disamping ekstasi (XTC), kokain, shabu-shabu (methamphetamine) dan putaw (heroin).

Bagi kalangan muda, apalagi anak-anak, rentang waktu yang diperlukan untuk mereka menjadi pencandu jauh lebih cepat dibanding orang dewasa. Lamanya antara enam bulan sampai satu tahun. Itu bila mereka menggunakan hard drugs atau narkoba keras, seperti putaw dan shabu-shabu. Kelompok usia ini lebih cepat kecanduan secara fisik maupun psikologi karena belum cukup matang untuk membangun ketahanan alami agar dapat menghindari efek dari penyalahgunaan zat-zat kimiawi (David dan Gordon, 2004).

Celakanya, trend pengguna narkoba dari kalangan ini meningkat dari tahun ketahun. Ironisnya, mereka masih berstatus pelajar. Berdasarkan data Polwiltabes Makassar, pada tahun 2004, hanya ada 1 kasus yang melibatkan pelajar. Tahun 2005, bertambah sedikitnya menjadi 17 kasus. Jumlah ini terbilang tinggi, mengingat pada kurun waktu yang sama jajaran kepolisian di wilayah Makassar itu menangani 63 kasus.

Secara nasional, menurut catatan GRANAT (Gerakan Nasional Anti Narkoba), sekitar 4 juta penduduk Indonesia menderita kecanduan narkoba, dimana paling sedikit 5 orang penderita meninggal setiap hari atau dalam setahun sebanyak 1.800 orang. Dana masyarakat yang terserap dalam jaringan peredaran narkoba ini pun tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp800 miliar/hari atau mencapai Rp292 triliun setahun. Di Makassar, menurut Ketua DPC GRANAT Makassar, Supriansa, perputaran uang dari bisnis ilegal ini dikalkulasikan sudah pada angka 1 M. Ini belum termasuk daerah-daerah lain di Sulsel, yang tidak luput dari sasaran para pengedar, sebagaimana tergambar pada peta jalur narkoba di kawasan ini.

Efek Domino
Tingginya angka pengguna narkoba jelas berdampak pula pada besaran akibat yang bakal ditimbulkannya. Konsekuensi harus berhadapan dengan hukuman dan mengalami berbagai kemungkinan dibelit masalah kesehatan, seperti dua arah jalan yang harus ditempuh sekaligus oleh setiap pengguna narkoba. Diujungnya, jelas takdir kematian yang musykil ditolak. Pasalnya, konon hanya ada satu tiket (one way ticket) untuk seorang junkie, sebutan lain pengguna narkoba. Apalagi bila ia sudah terbelenggu dan mengalami adiksi (sakau). Bersamaan dengan itu, ia menghadapi paradoks, “Semakin ia menyalahgunakan narkoba, semakin banyak masalah yang menghinggapinya. Semakin banyak masalah maka semakin banyak pula ia mengkonsumsi narkoba!”

Tak pelak, narkoba telah memberi efek domino pada berbagai hal: hukum, sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan bahkan agama. Jika digabung, ia merupakan masalah nasional yang serius. Untuk mengatasinya, jelas perlu alokasi dana yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, di Jakarta saja, pada tahun 2006, dianggarkan sebesar Rp27,8 miliar untuk program pemberdayaan pada tingkat kecamatan bekerjasama dengan kepolisian setempat. Entah berapa besaran anggaran yang harus tersedot pada level nasional untuk menangani soal ini. Apalagi, isu narkoba ini punya pertalian erat dengan masalah HIV/AIDS yang sama ruwetnya.

Untuk diketahui, Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan mensinyalir setiap hari 2 penduduk Sulsel tertular virus HIV/AIDS. Kesimpilan ini didasarkan atas grafik kasus HIV/AIDS, tahun 2006, yang meningkat cukup drastis. Bila triwulan pertama, Januari-Maret, jumlah pengidap HIV/AIDS sebanyak 814 orang, pada periode April-Juni, meningkat menjadi 997 orang. Konsentrasi terbesar pengidap HIV/AIDS di Makassar, dimana 80% dari mereka merupakan pengguna aktif narkoba suntik.

Angka-angka ini jelas akan terus bergerak naik manakala kita tidak memiliki perencanaan komprehensif dan terintegrasi dalam penanganannya. Sayangnya, pendekatan kita sering terkesan pukul rata, parsial, dan sporadis. Semangat kita mengganyang narkoba membuat pendekatan yang digunakan cenderung represif, sekalipun terhadap anak-anak. Padahal Konvensi Hak Anak (KHA) yang diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 menyebutkan bahwa negara akan mengambil langkah-langkah yang layak, termasuk langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan guna melindungi anak dari pemakaian obat-obat narkotik secara gelap dan zat-zat psikotropika (pasal 33).

Sementara Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memasukan anak-anak yang terlibat narkoba sebagai anak-anak yang harus mendapat perlindungan khusus. Menurut UU ini, tujuan perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Jadi, khusus penanganan anak-anak yang terlibat narkoba, kita mesti mengedepankan pendekatan rehabilitatif agar mereka bisa keluar dari situasi yang melilitnya.

Hal ini dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997, yang memerintahkan orangtua atau wali dari pencandu narkoba yang belum cukup umur, wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan. Sedangkan bagi pelaku tindak pidana psikotropika yang menggunakan anak belum berumur 18 tahun, ancaman pidananya ditambah sepertiga (Pasal 72, UU No. 5/1997). Pelibatan anak-anak dalam jaringan dan bisnis narkoba, menurut Konvensi ILO Nomor 182 (UU No. 1/2000) dan Keppres Nomor 59 Tahun 2002, dikategorikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang harus dihapuskan.

Memutus Mata Rantai
Kini, membuncah harap begitu mendengar kabar bahwa Badan Narkotika Provinsi (BNP) Sulsel dan Dinas Pendidikan Sulsel berencana melakukan kerjasama untuk memasukan bahaya narkoba sebagai kurikulum muatan lokal. Ikhtiar ini bisa menjadi formula jitu untuk memutus mata rantai peredaran dan penggunaan narkoba di kalangan anak-anak. Dalam skema rencana kedua lembaga itu, bila MoU sudah diteken maka materi tentang bahaya narkoba akan diajarkan mulai dari jenjang pendidikan tingkat SD, SMP hingga SMA. Sedangkan untuk perguruan tinggi, akan dilakukan penyuluhan pada setiap tahun ajaran baru, begitupun pada penerimaan siswa baru.

Ketua BNP Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, berharap agar dalam kurikulum ini bukan hanya mengajarkan anak-anak akan dampak narkoba dari sudut pandang kesehatan, tapi juga hukum dan agama. Sebagai mantan Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Daerah Sulsel, Syahrul tahu betul daya rusak narkoba, sehingga gagasan untuk mengembangkan konsep pendidikan anti-narkoba dengan multi pendekatan menjadi niscaya diimplementasikan. Kurikulum yang relevan dengan ide Wakil Gubernur Sulsel, yang baru saja memenangkan Pilkada Gubernur Sulsel itu, adalah penggunaan metode spider web (jaring laba-laba), yang mengkaji satu persoalan dari berbagai segi. Dengan demikian, peserta didik memiliki pemahaman holistik tentang narkoba.

Secara sederhana dapat dicontohkan, diskusikan apakah narkoba akan membuat mereka semakin mendapat banyak teman atau menjauhkan mereka dari teman, keluarga dan masyarakat. Ini baru dari aspek sosial. Bagaimana dari sudut pandang hukum, apa akibat bagi pengguna narkoba? Begitu pun segi kesehatan, agama, dan sebagainya. Perlihatkan pula jenis-jenis narkoba beserta daya rusaknya supaya mereka mampu menemu-kenali benda-benda itu agar tidak terjebak pada bujuk rayu temannya, apalagi pengedar.

Pelajar kita memang sejak dini sudah harus diberi informasi dan pemahaman tentang isu-isu aktual. Model pendidikan hadap masalah seperti ini akan menciptakan anak-anak yang memilki ketrampilan sosial untuk menjawab persoalan-persoalan dirinya, lingkungannya, serta bangsa dan negaranya. Dengan begitu, anak-anak tidak hanya direcoki dengan kalimat ”Katakan Tidak pada Narkoba” tapi sekaligus memiliki life skill untuk menyikapi secara kritis dan menjadi bagian strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan narkoba. Jangan sampai, anak-anak kita baru tersadarkan begitu mereka masuk Drop in Center dan Pusat Rehabilitasi dan Pemulihan narkoba.

Sejauh ini, dunia pendidikan kita hanya bersikap reaktif menghadapi siswa yang ketahuan terlibat narkoba. Manakala ada siswa yang ditemukan menggunakan narkoba, tanpa ampun langsung dikeluarkan dari sekolah. Kita seolah hendak cuci tangan, menyangkali dan mengabaikan masalah anak-anak kita. Diakui atau tidak, kita kemudian melakukan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap anak-anak yang mesti ditolong. Kita masih kurang punya pengetahuan, kurang keahlian, kurang pengertian dan empati dalam menyikapi persoalan narkoba. Sehingga upaya memasukan bahaya narkoba ke dalam kurikulum muatan lokal merupakan upaya perlindungan yang cerdas dan solutif.[]


*) Rusdin Tompo,
adalah Ketua Lembaga Investigasi Studi Advokasi Media dan Anak (LISAN).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar