Senin, 28 September 2009

Urgensi MK bagi Perlindungan Anak

“Uji coba moral sebuah pemerintahan adalah bagaimana ia memperlakukan mereka
yang berada pada fajar kehidupan anak-anak dan mereka yang berada dalam bayang-bayang kehidupan,
orang sakit, miskin dan penyandang cacat.”
[Hubert H. Humphrey]

Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Demikian yang tertera secara tegas di dalam penjelasan UUD 1945. Tapi, apa yang terjadi? Praktik penyelenggaraan negara kita menunjukkan bahwa hukum tidak (pernah) benar-benar ditegakkan. Penegakkan hukum (law enforcement) masih terombang-ambing akibat tarik-menarik antara kepentingan-kepentingan politik, ekonomi dan kekuasaan. Hukum malah sering dipelintir untuk digunakan menjustifikasi tindakan para politisi, pemilik modal besar (konglomerat) dan pemegang kekuasaan di pusat dan daerah.

Hukum, sebagai seperangkat nilai yang mestinya menjadi pedoman untuk membangun keteraturan hidup sebagai bangsa beradab, masih sangat kurang dipahami. Padahal, hukum dapat didayagunakan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan apresiasi terhadap HAM maupun untuk menumbuhkan tatanan demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Bagi kita, Indonesia, apa yang menjadi cita-cita hukum (rechtsidee) itu dapat ditemukan pada pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945, yang sudah pasti juga menjadi visi pendirian negara ini oleh founding fathers kita.
Spirit dari nilai hukum inilah yang belum (atau malah tidak tampak?) dalam pembentukan dan pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi (MK). Kita sama mengetahui, beberapa kali pembentukan Pansus RUU MK diundur. Padahal, waktu untuk pembentukan pansus ini sangat mendesak dilakukan. Berdasarkan amanat konstitusi, lembaga itu sudah harus terbentuk selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 ini. Kita juga sama tahu, kegagalan itu bukan disebabkan oleh kehati-hatian anggota DPR dalam mengambil keputusan karena pertimbangan pentingnya MK. Melainkan karena kuatnya kepentingan politik dari masing-masing fraksi.

Lambannya pembentukan dan pembahasan RUU MK ini menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Mereka khawatir, dalam keterpepetan, pansus akan bekerja secara tergesa-gesa dan kurang melakukan pengkajian yang mendalam sehingga produk undang-undangnya menjadi tidak maksimal. Kekhawatiran ini dapat dimaklumi mengingat sedemikian strategisnya MK bagi penyelenggaraan negara ‘Indonesia yang baru’ pasca euforia reformasi. Nilai strategis MK dapat dilihat pada kewenangan yang dimilikinya, yakni kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final, untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan pemilu (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 [amandemen ketiga]).

Kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD (judicial review) sebelumnya diatur dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR Nomor III/MPR/2000 namun dengan adanya UU MK, kewenangan ini kelak berada di tangan MK. Sedangkan hak menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dikukuhkan oleh Mahkamah Agung (MA). Kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD ini meliputi hak uji materil, yakni melihat isi suatu undang-undang apakah sesuai dengan UUD, dan hak uji formil untuk melihat apakah pembuatan undang-undang itu sudah sesuai dengan UUD. Hak menguji undang-undang ini untuk melaksanakan fungsi yang penting dari asas hukum lex superior derogat legi inferiori, artinya peraturan hukum yang hirarkinya lebih tinggi harus didahulukan daripada hukum yang lebih rendah. Dengan kata lain, hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Penyelesaian konflik yang terjadi di dalam sistem hukum nasional sudah harus menemukan jalan keluarnya demi harmonisasi dan kepastian hukum, terutama berkaitan dengan isu-isu HAM. Menurut Pokok-pokok Pemikiran dan RUU MK untuk Pembentukan Mahkamah Konstitusi 2003 oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Lembaga Penelitian dan Pengkajian Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN) dan Local Government Studies (LOGOS), gagasan dasar MK, selain sebagai mekanisme check and balances dan penyelenggaraan negara yang bersih, keberadaan MK juga dimaksudkan untuk perlindungan hak asasi manusia. MK ini diharapkan merupakan kekuasaan yang bertugas menjaga agar penyelenggaraan negara tetap berpijak pada prinsip demokrasi dan menghormati serta melindungi hak asasi manusia.
Sebagaimana diketahui, dengan semakin meningkatnya kesadaran hak asasi manusia, hak anak diatur secara terpisah dalam perundang-undangan tersendiri. Hal tersebut dilakukan mengingat anak sebagai kelompok yang tergantung, rentan dan masih dalam perkembangan membutuhkan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya (lihat Pasal 5 ayat (3) UU tentang HAM). Perlindungan dilakukan karena mereka berpotensi menjadi target kekerasan, eksploitasi dan penelantaran oleh orang dewasa, termasuk oleh orangtua biologisnya. Tak cuma itu, anak-anak perlu juga didengar pendapatnya dalam setiap keputusan yang berkaitan dengan kepentingannya, sebagai wujud pengakuan kita atas hak partispasi anak.

Sayang sekali, konstitusi kita tidak mengakomodasi secara utuh konsepsi dan prinsip-prinsip hak anak. Hal ini bisa dibaca dengan jelas di dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 (amandemen kedua), yang berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Tampak bahwa “hak partisipasi” yang sekaligus merupakan prinsip perlindungan anak, tidak terdapat dalam rumusan pasal itu. Begitu pun, kita tidak menemukan kata-kata perlindungan dari “eksploitasi” dan “penelantaran” dalam rumusan pasal yang sama. Sehingga, problem hukum perlindungan anak kita bukan saja berada pada undang-undang dan berbagai peraturan yang saling-silang sengkarut tapi juga pada konstitusi itu sendiri.

Pertanyaan yang dapat diajukan kemudian, bagaimana MK menyikapi kekurangan ini? Bagaimana MK bisa menyitir pasal dalam UUD 1945 sebagai sumber rujukan, bila pasal yang menjadi acuan untuk menguji sebuah undang-undang sedemikian rapuh memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak anak?

Begitu pun perlindungan terhadap anak tidak akan mencapai tujuannya, seperti disebutkan dalam Pasal 3 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bila rumusan menyangkut usia kedewasaan anak masih bersifat mendua: berdasarkan umur dan status perkawinan. Sebagai contoh, UU Perlindungan Anak dengan lugas dan tegas menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 ayat (1)). Sementara, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebutkan, anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah... (Pasal 1 ayat (5)). Begitu pun dengan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak hanya mengakui seseorang masih termasuk kategori anak bila belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 ayat (1)). Aturan ini menyiratkan seorang anak akan kehilangan hak-hak istimewanya sebagai anak bilamana ia telah menikah/kawin.
Memang dalam masyarakat kita, anak-anak yang sudah akil balik dan telah menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder, secara adat maupun agama, tidak lagi diperlakukan sebagai anak-anak. Sehingga, tidak jarang orangtua menikahkan anaknya pada usia anak masih sangat belia (perkawinan dini) atau masih di bawah umur (tidak memenuhi syarat hukum). Menurut psikolog Sarlito Wirawan Sarwono (2002), seorang yang sudah menikah, pada usia berapa pun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga.

Ketidaktegasan usia definitif anak ini, oleh beberapa kalangan, dijadikan bahan debatable karena memiliki konsekuensi hukum bagi si anak. Dalam kasus-kasus tindak pidana, misalnya, jelas ada prosedur dan sanksi hukum berbeda yang diterapkan manakala seseorang masih dalam kategori anak (berdasarkan umur), dengan seseorang yang dianggap sudah dewasa (berdasarkan status perkawinan). Bila ia masih kategori anak maka akan menjalani proses hukum sebagaimana diatur di dalam UU Peradilan Anak. Sedangkan, bila dianggap dewasa (sekalipun masih di bawah umur 18 tahun tapi sudah menikah/kawin) maka akan menjalani proses dan sanksi hukum sesuai KUHAP. Padahal, akibat yang ditanggung dari keduanya sangat berbeda. Bila ia dianggap masih kategori anak maka tidak dapat dijatuhi sanksi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati. Sebaliknya, bila telah dianggap dewasa, kedua sanksi mengerikan itu bisa ditimpakan padanya.

Daftar inventarisasi masalah pada isi perundang-undangan kita bisa sangat banyak bila mau dibeberkan di sini, baik perundang-undangan di bidang anak maupun perundang-undangan lain yang berdampak pada anak. Sudah menjadi semacam penyakit kronis bagi bangsa ini, yang kurang taat asas dan sering mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang berlaku universal. Akibatnya, produktifitas kita membuat peraturan tak banyak gunanya karena hukum yang dibuat saling bertentangan bahkan terhadap hukum yang lebih tinggi. Adalah tugas MK untuk merapikan semua keruwetan kosmetik hukum kita yang masih berwajah bopeng ini.
Karena itu, kita butuh hakim-hakim MK yang kredibel, bukan hasil kompromi politik, agar dapat menjadi penjaga dan pengawal konstitusi, sebagaimana diharapkan Ketua MPR RI, M. Amien Rais, saat membuka Sidang Tahunan MPR RI. Kita semua berkepentingan terhadap MK yang bersih, jauh dari komoditas politik. Jika demikian, kita bukan hanya butuh hakim-hakim berintegritas dan berkepribadian tidak tercela, adil dan negarawan, yang menguasai konstitusi. Tapi juga butuh hakim yang memiliki perspektif anak, yang menempatkan kepentingan terbaik anak dalam setiap pertimbangan keputusannya.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar