Jumat, 25 September 2009

Mencemaskan Nyanyian Anak Kita






Oleh Rusdin Tompo
(Aktivis Hak Anak dan Anggota KPID Sulsel)



Lagu-lagu yang dinyanyikan anak-anak kita sekarang, bukan lagi lagu-lagu bertema dunia anak yang natural, yang melodinya riang dan liriknya sarat pesan. Tapi lagu-lagu bertema orang dewasa dengan segala problematikanya, dengan cara pengungkapan yang cenderung vulgar, jauh dari maksud memberikan edukasi, motivasi dan tidak inspiratif. Beberapa lagu bahkan terdengar seperti mengolok-olok, punya nuansa melecehkan, dan kurang menghargai nilai-nilai sosial-budaya, bahkan nilai agama yang hidup dalam masyarakat. Keran kebebasan berekspresi dan berkreasi seolah berjalan tanpa self-control.
Demi tuntutan industri, semuanya diproduksi, dipasarkan melalui berbagai saluran media: radio, televisi, internet, dan handphone. Tak ayal, lagu-lagu yang diperdengarkan melalui radio berisi tema yang nyaris seragam. Lagu dengan tema yang sama juga dikonsumsi anak-anak kita melalui tayangan video klip dan pertunjukkan musik hidup melalui layar TV. Beberapa lagu dijadikan theme song sinetron atau malah judul sinetron. Mereka bahkan bisa mengunduhnya kapan saja melalui internet, sebanyak mereka mau. Atau memesannya, untuk dijadikan ring back tone (RBT) dan nada sambung pribadi (NSP), dengan cukup mengirim SMS ke nomor provider tertentu. Cara yang belakangan ini, semakin menegaskan lagu sebagai produk budaya massa, yang easy come easy go. Bila seseorang mulai bosan dengan lagu itu, ia bisa menggantinya dengan lagu yang lebih popular, semudah ia memainkan saklar lampu.
Dalam catatan Kidia (edisi Desember 2008-Januari 2009), lagu-lagu yang beredar dan digandrungi anak-anak, sedikitnya memiliki tujuh kecenderungan. Pertama, terlalu mencintai kekasih gelap. Misalnya, pada lagu ”Kekasih Gelap” (Ungu). Lagu dengan tema perselingkuhan seperti ini, cukup banyak dinyanyikan, antara lain, ”Selingkuh” (Kangen Band) dan ”Pudar” (Rossa). Kedua, hancurnya hidup karena patah hati, seperti lagunya D’Masiv, ”Cinta Ini Membunuhku” atau pada lagu ”Kisah Cintaku” yang dinyanyikan ulang oleh Peterpan. Ketiga, memaksa ingin pacaran, yang bisa disimak pada tembang ”Putuskan Saja Pacarmu” (ST 12). Keempat, gairah untuk berpesta (dunia gemerlap/dugem), sebagaimana lagu dari kelompok musik asal Yogyakarta, Jikustik, berjudul ”Selamat Malam Dunia”. Kelima, memuja keindahan fisik wanita, seperti lagunya Mulan Jameela, ”Makhluk Tuhan Paling Sexy”. Keenam, sifat playboy/playgirl, yang bisa ditemukan pada lagu “Jatuh Cinta Lagi” (Matta) dan ”Lelaki Cadangan” (T2). Ketujuh, tentang persahabatan atau cita-cita. Menurut buletin yang concern mengulas isi media untuk anak tersebut, lagu yang mengusung tema-tema seperti ini tidak banyak, di antaranya, “Kepompong” (Sindentosca) atau lagu yang dijadikan soundtrack film Laskar Pelangi dengan judul yang sama “Laskar Pelangi” oleh Nidji.

Internalisasi Nilai
Dengan kecenderungan seperti itu, kita mencemaskan proses internalisasi nilai pada anak-anak kita melalui lagu yang mereka nyanyikan. Sebuah nyanyian memang tak hanya sekadar dimaksudkan untuk menghibur, memberikan kegembiraan bagi penyanyi dan pendengarnya. Sebuah nyanyian, juga merupakan bentuk ekspresi diri, ungkapan suasana hati yang merefleksikan perasaan, harapan dan cita-cita. Lebih dari itu, sebuah nyanyian bisa jadi pembeda, yang menegaskan identitas seseorang, komunitas atau suatu bangsa. Karena itu, lagu-lagu daerah menjadi lagu wajib yang diajarkan di sekolah, bukan hanya untuk dihapal. Tapi, sebagai upaya memperkenalkan ragam bahasa dan budaya masyarakat Indonesia yang majemuk agar anak-anak mampu menghargai dan melihat perbedaan itu sebagai kekayaan nasional dan karunia Tuhan.
Proses internalisasi nilai lewat lagu ini bahkan telah dipraktikkan sejak seorang anak masih bayi saat ia dinina-bobokan. Begitu menginjak taman kanak-kanak (TK), para guru dengan telaten dan penuh kasih sayang membimbing, mengajarkan dan membina anak didiknya lewat berbagai gubahan lagu. Lagu menjadi motode yang digunakan guru saat mengajar berhitung, menanamkan kebiasaan hidup bersih dan sehat, cinta pada alam dan pandai bersyukur pada Tuhan. Coba simak lagu “Bangun Tidur”, “Satu-satu”, “Balonku”, “Pelangi-pelangi”, “Lihat Kebunku” dan lagu sejenis yang kerap dinyanyikan murid-murid TK dengan riang. Di situ kita menemukan banyak nasihat, pesan, dan pembelajaran.
Bandingkan dengan lagu “Pernah Muda” dari penyanyi Bunga Citra Lestari (BCL), yang terkesan kurang ajar dan tak tahu sopan-santun karena meminta pacarnya bilang ke orangtuanya agar tidak perlu mencampuri urusan cinta mereka. Perhatikan pula bait-bait lagu dari The Changcuters, yang menyebut perempuan sebagai racun dunia lewat salah satu nomor hits-nya, “Racun Dunia”. Sayangnya, lagu ini lahir ditengah kampanye pentingnya kesetaraan dan keadilan gender. Perjuangan ke arah sana, tampaknya masih akan menemui kendala mengingat internalisasi lewat lagu yang mengekalkan konstruksi gender juga berlangsung. Lagu dari Lucky Laki yang diawaki Al, El dan Dul berjudul “Superman” menjadi salah satu contohnya. Syair yang menyebut anak laki-laki tidak boleh menangis, merupakan bentuk awal konstruksi sosial yang kemudian dipahami secara keliru hingga dewasa. Kata-kata dalam lagu itu bukan hanya pilihan diksi dari penciptanya tapi sekaligus mencerminkan sikap, pandangan dan nilai-nilai yang dianutnya.
Para pencipta lagu anak, seperti AT Mahmud, Ibu Sud, H Mutahar, serta Pak dan Bu Kasur sangat paham pentingnya menstimuli anak ke arah positif. Mereka membuat lagu sesuai perkembangan usia dan kematangan anak. Lagu-lagu mereka pernah berada pada periode emas, ketika TVRI secara rutin menayangkan acara Lagu Pilihanku, pada dekade 70-an. Ajang pencarian bakat seperti era TV hitam-putih ini, telah berubah jauh bukan hanya untuk menyalurkan hobi dan mengasah bakat anak. Kini, penyelenggaraan adu bakat olah vokal tampil lebih gemerlap dan komersil. Pada beberapa segi, bahkan cenderung eksploitatif. Lihat saja dandanan dan busana anak yang terkesan lebih tua dari usianya. Belum lagi goyang dan tema lagu yang dinyanyikan sering tak cocok dan belum pantas dilakukan anak seusia itu. Komodifikasi ajang lomba seperti ini, bisa kita saksikan di acara AFI Junior (Indosiar), Idola Cilik (RCTI), maupun Pesona Cilik (Fajar TV).
Bagi pelaku industri televisi, upaya mengkapitalisasi sebuah acara hiburan menjadi tidak terelekkan di bawah ideologi rating. Berbagai formula untuk mencapai peringkat tertinggi, suka tidak suka, akan dilakukan oleh stasiun televisi demi pendapatan iklan. Para media planners di perusahaan-perusahaan periklanan tentu akan mencari acara yang paling banyak diminati pemirsa (Bondan Winarno, 2008). Demi angka-angka dalam rating dan share, membuat mengapa sebagai peserta, anak-anak diharuskan menyanyikan lagu-lagu yang tidak mendidik. Bukan itu saja, ajang yang sebagian besar penontonnya terdiri dari anak-anak tersebut, kadang masih harus disuguhi tampilan bintang tamu orang dewasa yang jauh dari figur teladan.

Industri Kebudayaan
Mungkin terlalu naif bila kita merindukan kembali nyanyian anak-anak seperti lagu-lagu yang didendangkan Chica Koeswoyo, Adi Bing Slamet, Ira Maya Sopha, atau Julius Sitanggang. Tapi rasa-rasanya tidak berlebihan bila penyanyi semacam Joshua, Trio Kwek-Kwek, Sherina dan Tasya dengan genre musiknya masing-masing kembali dimunculkan. Sebenarnya, melalui ajang pencarian bakat yang dilakukan sejumlah stasiun TV, telah banyak mengorbitkan penyanyi anak-anak dengan kualitas yang tak diragukan. Masalahnya, kita hanya punya sederet penyanyi anak-anak tanpa lagu anak-anak. Dengarlah lagu-lagu yang dibawakan dua jebolan Idola Cilik 2, Paton dan Debo, boleh dipastikan bukanlah lagu yang sengaja dibuat dan dinyanyikan untuk anak-anak, meski lagunya sangat familiar di kalangan anak-anak. Padahal UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengingatkan lembaga penyiaran untuk wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak-anak sebagai khalayak khusus.
Benar apa yang dikatakan Bre Redana (2002) bahwa pada masa kini, mesin industrilah yang melahirkan karya, memprabrikkan kesenian, menggulirkan perubahan, memetakan gejala. Mempersoalkan arah pertumbuhan seperti itu mau tak mau harus membuka kembali kritik terhadap “kebudayaan industri” (culture industry), sebuah istilah yang digunakan oleh pemikir-pemikir dari Frankfurt School, seperti Horkheimer dan Adorno. Keduanya mencontohkan terjadinya modifikasi kebudayaan menjadi “kebudayaan industri” pada pertumbuhan industri hiburan, misalnya radio dan televisi. Mereka berpendapat, pertumbuhan industri hiburan itu sebagai enterprise kapitalis sehingga telah membuat terjadinya standarisasi (dan rasionalisasi) bentuk-bentuk kebudayaan. Proses itu telah melemahkan individu untuk berpikir dan bertindak secara otonom dan kritis. Pasalnya, segala sesuatu yang dihasilkan dalam “industri kebudayaan” tidak ditentukan oleh nilai-nilai intrinsik dari apa yang diproduksi Ukurannya bukan pada mutu gagasan tetapi logika corporate terutama menyangkut untung-rugi.
Situasi ini membuat kita tak lagi mendengar lagu-lagu baru bertema patriotik seperti lagunya Leo Kristi, lagu-lagu yang bercerita tentang kehidupan rakyat jelata yang dibawakan Franky and Jane, lagu-lagu dengan syair puitis seperti kepunyaan Ebiet G Ade, lagu dengan tema kritik sosial yang dibuat dan dinyanyikan Iwan Fals, atau lagu-lagu bernafaskan ketuhanan yang dinyanyikan Bimbo. Padahal, lagu-lagu tematik penting untuk mencegah terjadinya anomie di kalangan anak-anak kita, yakni suatu sistem sosial di mana tidak ada petunjuk atau pedoman buat tingkah laku mereka. Maka, kita ingin agar anak-anak kita juga menyanyikan lagu-lagu Slank, yang gaul tapi anti-kekerasan. Kita ingin anak-anak bersuara lantang menyanyikan, “merah-putih teruslah kau berkibar” segarang teriakan Kikan “Coklat”. Kita ingin nyanyian sebagai bahasa universal yang sarat nilai ditanamkan sejak dini pada anak-anak, agar mereka mampu menggalang solidaritas seperti USA for Africa yang dimotori King of Pop, Michael Jackson, lewat lagu “We are the World”, atau “Suara Persaudaraan” yang diarsiteki komposer James F Sundah.[*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar