Senin, 28 September 2009

Pendidikan Berbasis Hak Anak

“Edukasi keluarga dan lingkungan yang mendidik dengan menakut-nakuti anak
serta menghukumnya dengan keras akan melukai kekayaan luas dunia kreasi imajinasi si anak.”
[Mudji Sutrisno]

Indonesia sampai detik ini masih dalam proses jatuh bangun menemukan sistem pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia. Bisa dilihat dari upaya bongkar pasang kurikulum, termasuk perubahan dari sistem semesteran, caturwulan, dan kembali lagi ke semesteran. Upaya ini dilakukan mengingat mutu pendidikan kita masih terbilang rendah. Sebagai contoh rendahnya pendidikan dasar kita, terlihat pada angka kelulusan kohort di tingkat SD. Dari hasil studi terbatas Pusat Penelitian Balitbang, Depdiknas dan UNICEF, tahun 1998, di lima provinsi, ternyata kelulusan kohort SD dalam 6 tahun hanya mencapai 49%, untuk waktu 7 tahun meningkat menjadi 65%, dan untuk 8 tahun naik sampai angka 70%. Ini menunjukkan, pada dasarnya anak tidak belajar dengan benar (Masdjudi, dkk., 2002).
Memang, jumlah anak yang masuk sekolah dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Tapi dari anak-anak yang masuk kelas 1 SD, diperkirakan hanya separohnya yang dapat mencapai kelas enam, dan hanya 50% bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya (Kleden, dkk., 1999). Angka partisipasi sekolah juga terlihat berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Begitu pun kesenjangan antara desa dan kota semakin tajam pada tingkat pendidikan menengah ke atas (UNICEF, LIPI, dan Antara, 1997). Bila angka ini dikompilasi dengan angka putus sekolah yang mencapai 6,5 juta anak, pada tahun 2000, maka tidak terbayangkan bagaimana kualitas SDM kita di tengah persaingan internasional.
Pemerintah sebenarnya sudah melihat pendidikan sebagai sektor penting dan strategis. Terbukti, ada prioritas anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD, seperti termaktub dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Kenyataannya, pemerintah tidak cukup serius menindaklanjuti political will ini. Sehingga hanya menyanggupi sekitar 4% dari total APBN yang ada. Bandingkan dengan Malaysia yang mengalokasikan anggaran pendidikannya hingga 30 persen. Padahal, pemerintah harus melaksanakan apa yang dinyatakan dalam Pasal 31 ayat (2) bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Ketiadaan komitmen melaksanakan rumusan konstitusi di atas mengakibatkan kita sulit menjawab problem pendidikan nasional, terutama menyangkut dua hal, yaitu penyediaan sarana guna mendukung mutu luaran, dan angka partisipasi sekolah. Hanya saja, dengan mewajibkan setiap anak mengikuti pendidikan berarti konstitusi memahami betul fitrah manusia sebagai makhluk pembelajar.

Fokus pada Kepentingan Anak
Setiap orang menyadari, manusia sejak dilahirkan selalu diliputi rasa ingin tahu. Anak senantiasa bertanya pada orangtuanya tentang apa saja yang dilihat, didengar, atau dirasakannya. Sepanjang tiga tahun pertama kehidupannya, anak belajar memercayai pengasuhnya (dalam hal ini orangtua) dan dirinya sendiri. Ia belajar percaya bahwa pengasuhnya akan memberinya cinta dan membantunya, sekaligus belajar pada kemampuannya sendiri. Pada usia empat sampai tujuh tahun, anak belajar mengenai inisiatif dan dipenuhi berbagai kesibukan. Anak melakukan bermacam-macam kegiatan bermain dan berimajinasi, dengan meniru (imitatif) orang-orang yang dilihatnya dan menempatkan dirinya layaknya tokoh yang ditiru itu (identifikasi). Misalnya, bermain dokter-dokteran, perang-perangan, dan lain sebagainya.
Ketika menginjak usia delapan sampai sebelas tahun, anak belajar tentang usaha untuk mencapai sesuatu (industry). Anak aktif terlibat dalam usaha menguasai berbagai keterampilan hidup, khususnya melalui tugas-tugas sekolah. Pada tahap ini, anak ingin meraih sukses dan memiliki citra diri positif. Di usia sebelas sampai dua belas tahun, anak berjuang mengembangkan identitas ego. Pada usia ini, seorang anak mengalami masa penuh gejolak sebagai proses untuk dapat menjadi mandiri, lepas dari orangtuanya dan mengembangkan kepribadiannya yang mantap (Offer & Sabashin, 1984).
Dengan mengetahui orientasi anak pada fase-fase tertentu, kita bisa membantu mereka mengembangkan kemampuannya agar kelak berhasil dalam hidup. Anak tidak bisa seketika dijejali tumpukan beban belajar. Tapi harus diberikan bertahap mengikuti perkembangan intelektual otaknya yang mengalami peningkatan sesuai usianya. Menurut penelitian Keith Orborn, Burton L. White dan Benyamin S. Bloom, sejak lahir hingga usia 4 tahun, perkembangan otak mencapai 50%. Pada usia 4-8 tahun, perkembangan otak bertambah 30% menjadi 80%, dan pada usia 8-18 tahun bertambah 20% menjadi 100 persen.
Begitu pun, kita tidak hanya bisa memperhatikan aspek kecerdasan kognitif (IQ) anak. Perlu diketahui, IQ hanya menyumbang 20% dari seluruh faktor penentu keberhasilan hidup seseorang. Untuk itu, anak perlu didukung guna mengembangkan kemampuan emotional quotient (EQ) serta spiritual quotient (SQ) agar ia dapat mencapai keberhasilan hidup hakiki. Ary Ginanjar Agustian (Islam Aktual, RCTI, 26/4/2003) berpendapat, dalam pendidikan ada tiga dimensi yang dimiliki anak, yakni 1) fisik, yang dapat dilihat dalam bentuk tindakan, dan sering diukur sebagai IQ; 2) emosi, berupa perasaan yang diukur melalui EQ; dan 3) aspek spiritual, berupa suara hati (ketulusan/kejujuran) yang memunculkan SQ.
Penggambaran di atas hendak mengingatkan, ketika kita membaca teks Konvensi Hak Anak yang mengatakan, “negara mengakui hak anak atas pendidikan” maka pikiran kita hendaknya tidak terjebak sebatas ruang kelas sekolah, buku paket, kurikulum, dan anggaran untuk itu. Hak atas pendidikan tidak bisa direduksi hanya dengan penyedian sarana dan prasarana pendidikan saja. Hak atas pendidikan juga tidak bisa dipisahkan antara pendidikan (educating) menjadi hanya pengajaran (teaching) dan pelatihan (training). Hak atas pendidikan, jika dibaca dalam konteks prinsip-prinsip perlindungan anak maka dalam prosesnya harus menyertakan semua anak, laki-laki dan perempuan (prinsip non diskriminasi). Karena hak atas pendidikan menyangkut kepentingan anak secara langsung maka pendapat anak dalam proses pembelajaran dan pengambilan keputusan wajib didengar (prinsip partisipasi). Dalam penyediaan fasilitas, metode dan sistem yang dibangun untuk mewujudkan hak itu, juga perlu memperhatikan tumbuh kembang anak agar tercapai kepentingan terbaik bagi mereka.
Karena itu, sangat tepat bila UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memasukan pendidikan sebagai bagian dari penyelenggaraan perlindungan anak. Menurut UU ini, perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiannya, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Sudah semestinya jika pendidikan menjadi bagian integral dari perlindungan anak. Karena hanya dengan begitu arah dari tujuan pendidikan bisa tercapai. Perlindungan anak atas pendidikan harus bisa memberikan pengalaman nyata yang secara langsung dirasakan oleh anak. Artinya, hak-haknya atas manfaat yang bisa dipetik dari pendidikan terimplementasi dalam kehidupan keseharian. Mustahil seorang anak bisa mengembangkan sikap dan kemampuan kepribadian, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi yang optimal, bila mereka tidak diberi kesempatan untuk mewujudkannya secara memadai. Mustahil anak mampu mengembangkan rasa penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi, bila ia tidak pernah merasakan bagaimana hak-haknya dihormati. Begitu pun, tidak mungkin kita berharap anak akan mampu mengembangkan rasa hormat terhadap orangtua, identitas budaya, bahasa, dan nilai-nilai sosio-kultural yang berbeda, juga cinta terhadap lingkungan, bila ia tidak pernah diberi keteladanan menyangkut hal itu. Kesemua ini merupakan hak anak yang harus diperoleh sebagai persiapan baginya untuk dapat mengembangkan kehidupan yang lebih bertanggung jawab.
Sayangnya, dalam praktik, kita belum melihat adanya penyelenggaraan pendidikan yang mengupayakan tercapainya hak-hak anak itu secara komprehensif. Penyelenggaraan pendidikan masih lebih bersifat parsial, satu arah, dan instruktif. Iklim sekolah, kata budayawan Y.B. Mangunwijaya (Sularto, ed., 2003), membuat anak segan bertanya dan lebih “aman” untuk menghapal dan menghapal, seolah-olah Tuhan menciptakan anak muda dan remaja itu sebagai beo. Pendidikan akhirnya menjadi negatif, di mana guru memberi informasi yang harus ditelan murid, wajib diingat dan dihapalkan saja. Paulo Freire (Nashir, 2001) secara sederhana menggambarkan antagonisme pendidikan gaya bank itu, hanya menghasilkan hubungan di mana “guru mengajar, murid belajar”, “guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa”, “guru berpikir, murid dipikirkan”, “guru bicara, murid mendengar”, “guru mengatur, murid diatur”,... “guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya”.
Suasana yang terbangun kemudian jauh dari semangat demokrasi dan mematikan daya kritis dan analisis anak. Padahal, menurut Andrias Harefa (2000), anak perlu belajar untuk berani bertindak sesuai suara hati nuraninya sendiri. Ia perlu belajar untuk berani menyatakan apa yang diyakini sebagai benar. Ia perlu belajar untuk tidak melacurkan karakter dan prinsip. Ia perlu belajar untuk berani menerima dirinya (self acceptance), menghargai dirinya (self respect), memercayai dirinya (self confidence), dan mengarahkan dirinya (self-direction) untuk menjadi otentik dan sejati atau menjadi diri sendiri (be him/her-self).
Hanya dengan meletakkan pendidikan sebagai hak anak yang berfokus pada kepentingan terbaik anak, para pendidik akan mengolah segenap potensi anak. Dengan pengembangan pendidikan berbasis hak anak, kita akan tersadarkan bahwa kita bersama anak sedang mempersiapkan sebuah generasi yang mumpuni agar bangsa ini bisa tegak berdiri di tengah percaturan bangsa-bangsa dunia. Untuk itu, dalam suasana memasuki tahun ajaran baru ini, mungkin ada baiknya kita mengingat program pendidikan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush: no child left behind. Sudah sepantasnya memang bila kita melakukan refleksi dan bertekad, “jangan sampai ada anak tertinggal di belakang” dalam mendapatkan hak-haknya atas pendidikan.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar