Sabtu, 26 September 2009

Stasiun Berjaringan, Solusi Memberdayakan TV Lokal


Oleh: Rusdin Tompo (Anggota KPID Sulsel)

Di pengujung tahun ini, Fajar TV menggelar hajatan besar untuk menegaskan kehadirannya sebagai salah satu televisi lokal di Sulawesi Selatan. Grand launching, tanggal 31 Desember 2007, merupakan momentum tepat karena diadakan hanya berselang beberapa hari setelah tenggat waktu keharusan stasiun berjaringan. Dalam bahasa yang lebih lugas, mulai 28 Desember 2007 ini, 11 stasiun televisi swasta yang selama ini bersiaran secara nasional dari Jakarta, diharuskan memiliki jaringan lokal atau bermitra dengan TV lokal. Untuk diketahui, jumlah TV lokal di seluruh Indonesia mencapai 33 stasiun, belum termasuk 70 stasiun TV lokal yang tengah mengajukan proses perizinan melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pada ketentuan peralihan, memang mengamanahkan lembaga penyiaran yang sudah ada sebelum diundangkannya UU ini untuk wajib melakukan penyesuaian dengan regulasi yang ada. Masa penyesuain tersebut paling lama 3 (tiga) tahun untuk jasa penyiaran televisi, sedangkan untuk jasa penyiaran radio paling lama 2 (dua) tahun. Bagi lembaga penyiaran yang sudah mempunyai stasiun relai, masih dapat menyelenggarakan penyiaran melalui stasiun relainya sampai berdirinya stasiun lokal yang berjaringan dengan lembaga penyiaran tersebut dalam batas waktu paling lama 2 (dua) tahun. Pengecualian dapat diberikan jika ada alasan khusus yang ditetapkan KPI bersama pemerintah.
Saat Rakornas KPI di Bali, 29-31 Juli 2007, lembaga negara independen itu bertekad untuk tetap menerapkan kebijakan stasiun berjaringan, bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi bagi stasiun televisi yang tidak mematuhinya. Namun KPI memberikan kesempatan kepada stasiun TV swasta untuk menerapkan ketentuan berjaringan secara bertahap selama 3 tahun hingga 2010. Ketentuannya, tahun pertama 50%, tahun kedua menjadi 75%, dan tahun ketiga sudah membangun stasiun berjaringan di provinsi-provinsi yang menjadi cakupan siarannya.
Sikap tegas itu kembali disuarakan KPI dan Forum KPI Daerah se-Indonesia, pada pertemuan teknis di Bandung, 27 Nopember 2007. Pertemuan ini menghasilkan Resolusi Bandung yang, antara lain, mendesak pemerintah untuk segera menerapkan sistem penyiaran berjaringan. Mereka juga meminta lembaga penyiaran yang ingin berjaringan untuk segera memproses perizinan melalui KPI. Bila dalam batas waktu yang ditetapkan UU, tidak menempuh proses perizinan maka KPI akan menyatakan bahwa penggunaan frekuensi di daerah adalah ilegal dan meminta aparat penegak hukum untuk menindaknya.

Manfaat Stasiun Berjaringan
Harus diakui, meski masih terdapat berbagai kelemahan, namun UU Penyiaran telah melakukan reformasi penyiaran dari sentralistik ke desentralisasi. Itu berarti, kosa kata “televisi nasional” tidak pantas lagi disandang para operator TV swasta yang bersiaran di Jakarta. Sebab, UU ini secara jelas mengatakan bahwa dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Karena itu, baik radio maupun televisi, hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran.
Ketentuan ini pernah ditentang oleh enam lembaga, yakni ATVSI, PRSSNI, IJTI, PPPI, Persusi dan Komteve, dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Selain alasan kebebasan pers, mereka menuding UU Penyiaran telah menegasikan hak masyarakat untuk bebas melakukan kegiatan usaha (right to do business) sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Atas judicial review itu, MK dalam Salinan Lengkap Putusan Perkara Nomor 005/PUU-I/2004 mengatakan, “Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa hal itu adalah dalam rangka mencegah terjadinya monopoli dalam dunia penyiaran, karena akan mengakibatkan terjadinya monopoli arus informasi oleh sebuah perusahaan lembaga penyiaran, sehingga dalil pemohon harus ditolak.”
Spirit dari undang-undang ini hendak mewujudkan demokratisasi penyiaran sesuai dengan asas diversity of ownership dan asas diversity of content. Dengan begitu, kita telah meninggalkan fase yang menempatkan pengaruh negara (state-centered) begitu dominan dan fase yang melulu diarahkan pada mekanisme pasar (market-centered). Regulasi penyiaran kita saat ini diharuskan mengabdi pada kepentingan publik (public-centered). Mengingat penyiaran merupakan industri yang mempergunakan ranah publik (public domain) yang mesti diabdikan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
Itulah mengapa KPI mendesak segera diberlakukannya kebijakan stasiun berjaringan. Sudah saatnya kanal-kanal frekuensi di berbagai provinsi yang notabene milik publik lokal, dikembalikan kepada pemiliknya. Kekhawatiran para operator TV bahwa sistem berjaringan akan menghambat usahanya, kiranya terlalu berlebihan. Argumen itu, lebih untuk mempertahankan “jatah” kue iklan yang lebih besar dan privilege yang sudah dinikmati sebelum lahirnya UU Penyiaran.
Padahal, melalui penerapan stasiun berjaringan, potensi raihan profit bukan hanya dimiliki oleh operator TV di Jakarta, tapi dari segi bisnis juga akan membuka peluang terjadinya redistribusi kesempatan berusaha dan investasi di daerah. Sistem berjaringan dinilai lebih kuat. Sebab, bila stasiun di Jakarta mengalami krisis maka stasiun TV itu tidak akan jatuh karena jaringannya masih mampu menopangnya. Berbeda dengan sistem terpusat, bila pusat siaran di Jakarta terhenti, terhentilah siaran itu ke berbagai daerah.
Dari segi ketenagakerjaan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), juga akan sangat terasa. Tumbuhnya stasiun-stasiun televisi lokal akan menarik gerbong-gerbong bisnis lainnya, seperti rumah produksi, periklanan dan lembaga pendidikan profesional penyiaran. Efek berantai, melalui penerapan sistem berjaringan ini, juga akan mendorong pengembangan kreativitas di bidang artistik, seni peran, musik, penulisan naskah, serta jenis pekerjaan terkait lainnya. Singkatnya, membantu pembukaan lapangan kerja dan pengembangan karir di berbagai bidang.
Sisi positif lainnya, yakni menyangkut segi pengembangan budaya lokal dan keberagaman isi siaran. Bila selama ini kita didikte oleh budaya tertentu, melalui sistem berjaringan, proporsi muatan lokal lebih berpeluang ditampilkan. TV lokal yang berjaringan akan memperkuat budaya Indonesia yang majemuk. Pluralisme budaya ini menjadi hal yang unik sekaligus identitas yang membanggakan. Lihat saja, melalui Makassar TV dan Fajar TV, kita kini bisa mendengar berita dalam bahasa Makassar dan bahasa Bugis, lebih bisa menikmati kesenian daerah Sulsel, dan berbagai kearifan lokal lainnya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah aspek pembangunan wacana publik dan demokratisasi. Isu-isu lokal bisa segera direspon oleh stasiun TV lokal. Fungsi lembaga penyiaran sebagai media informasi, pendidikan, kontrol dan perekat sosial akan semakin menemukan signifikansinya. Tidak melulu menampilkan realitas semu media yang sarat hiburan dengan kehidupan selebriti sebagai titik fokusnya. Harus diakui, pertelevisian kita sudah sangat sarat dengan jenis tayangan yang menipu mata dan menjual mimpi, juga sesak dengan tontonan yang mengumbar pornografi, kekerasan dan takhyul. Maka, kebijakan stasiun berjaringan merupakan upaya revitalisasi budaya lokal agar penonton daerah tidak sekadar menjadi objek penderita stasiun-stasiun TV yang mengklaim dirinya sebagai TV “nasional”.

Model Stasiun Berjaringan
Tantangan penerapan sistem berjaringan kemungkinan tidak hanya berasal dari pengusaha TV di Jakarta, tapi juga bakal muncul dari masyarakat itu sendiri. Bagaimana tidak. Ada mispersepsi dan kampanye negatif yang menyebutkan bahwa siaran TV dari Jakarta akan dilarang masuk ke daerah. Masyarakat yang sudah termanjakan oleh berbagai siaran TV dari Jakarta tentu akan menolak kebijakan yang dianggap menghalangi hak mereka memperoleh informasi.
Akses masyarakat sama sekali tidak dihalangi, yang dilakukan lebih pada penataan penyelenggaraan penyiaran. Karena itu, menarik dikaji usulan Bimo Nugroho (2005) yang memberikan tiga alternatif model penyiaran TV swasta berjaringan. Pertama, model jaringan saling tergantung. Contohnya, kerjasama antara TPI dan Lombok TV, yang menggunakan frekuensi yang sama. Lombok TV mengambil empat jam tiap petang untuk siaran khusus di daerah Nusa Tenggara dari channel TPI, sedangkan kualitas siar TPI menjadi jelas di daerah itu karena Lombok TV mendaur-siarkan gambar TPI.
Kedua, model jaringan independen. Di Indonesia, model ini dikembangkan oleh Kantor Berita 68H untuk radio. Model ini menempatkan masing-masing stasiun radio berdiri sendiri, mereka berjaringan dalam beberapa program yang sama dan berbagi pendapatan iklan bersama. Model ini membuka peluang bisnis televisi bagi pengusaha-pengusaha daerah. Ketiga, model jaringan kelompok, dimana kepemilikan saham di setiap stasiun berbeda tapi sistem manajerialnya relatif sama. Jadi, mereka akan mengajak pengusaha lokal bekerjasama berinvestasi membangun perusahaan televisi setempat.
Dari tawaran solusi model jaringan yang dapat dipilih dan dikembangkan ini, tampak bahwa kita bisa tetap menikmati kolaborasi siaran TV, tanpa mengabaikan aspek law enforcement. Bahkan, dengan menggandeng mitra lokal, berarti warna ke-Indonesia-an kita semakin terlihat di layar kaca. Maka, tak perlu ragu ucapkan: “TV Jakarta”?, No Way![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar