Sabtu, 26 September 2009

Kekerasan; Dari Berita sampai Kartun


Oleh Rusdin Tompo
(Anggota KPID Sulsel)


Sebuah tayangan klasik muncul di pengujung tahun 2008 ini: roket-roket Israel yang ditembakkan dari jet-jet tempur negara Yahudi itu membombardir wilayah Jalur Gaza, Palestina, menewaskan lebih dari 270 orang dan melukai sekitar 900 lainnya. Disebut tayangan klasik karena konflik di wilayah Timur Tengah ini telah berlangsung selama enam dekade, selalu menjadi sajian utama “Dunia Dalam Berita”, di masa keemasan TVRI sebagai satu-satunya stasiun TV tanah air. Kini, konflik yang berujung kekerasan, berdarah-darah dan memakan korban jiwa tak cuma bisa kita saksikan di layar kaca berlogo TVRI yang telah bermetamorfosis dari TV milik pemerintah menjadi lembaga penyiaran publik, tapi dengan mudah juga bisa ditemukan di semua stasiun TV swasta dan TV berlangganan.
Bahkan TV lokal yang tadinya digadang-gadang akan memberi alternatif tontonan, akhirnya terseret dalam arus besar industri penyiaran. Mereka latah memproduksi dan menyiarkan tayangan kekerasan atas nama “permintaan pasar”, “layak jual” dan “rating”. Maka, kita pun disuguhi tayangan jenis ini, mulai pagi saat kita berkemas menuju tempat kerja, menjadi menu pelengkap saat makan siang, hingga kita terlelap tidur dan terjaga di tengah malam. Boleh dikata, 1x24 jam TV siaga menghadirkan program-program bernuansa kekerasan, didominasi kekerasan atau sekadar berbumbu kekerasan.

Komoditas
Tayangan kekerasan di stasiun-stasiun TV kita terjadi bukan tanpa sengaja. Kalimat ini perlu digarisbawahi karena para pengelola dan praktisi TV sering berdalih apa yang mereka hadirkan hanyalah merespons realitas yang ada. Mereka seolah hendak berargumen, jika tidak ada bahan baku kekerasan, mustahil kekerasan sebagai sebuah produk tayangan bakal ada. Memang, menurut Ashadi Siregar (2006), ada tidaknya televisi, kekerasan sudah melekat dalam kehidupan manusia. Hanya peradaban yang menjadikan gradasi kekerasan itu mencolok atau samar. Namun, yang kita saksikan hari-hari belakangan ini adalah tayangan-tayangan kekerasan itu berlangsung sistematis, terstruktur dan massif.
Dikatakan sistemik dan terstruktur, lantaran sebuah program acara merupakan bagian penting dari komponen industri TV yang mesti mendatangkan laba. Hitung-hitungan laba jelas punya kaitan erat dengan jumlah dan harga iklan yang terputar pada jam siar acara tersebut. Logika dagang ini menjadi sumber rujukan para pelaku penyiaran, mulai dari direktur, produser hingga editor. Apalagi bila pemilik modalnya mati rasa soal idealisme dan mengenyampingkan fungsi edukasi, budaya, serta kontrol dan perekat sosial dari media yang dikelolanya. Jadinya, masyarakat dilumuri informasi yang tidak mendidik dan hiburan yang tak sehat, gara-gara mereka yang berada dibalik kendali stasiun TV ‘menghamba’ pada kepentingan ekonomi. Karena gejala ini nyaris terjadi pada semua jenis program di seluruh stasiun TV maka siaran bermuatan kekerasan pun menjadi massif.
Konklusi ini, paling tidak terefleksiakan dari hasil monitoring Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Sulawesi Selatan, selama tahun 2008. Pada periode ini, KPID Sulsel menemukan dan menerima aduan sebanyak 303 kasus, dimana tayangan kekerasan―termasuk yang mengandung kata-kata kasar dan makian―menempati posisi tertinggi yang dipermasalahkan, yakni 104 kasus (34,3%) disusul tayangan berbau seksual (46 kasus atau 15,2%) dan supranatural (37 kasus atau 12,2%). Bandingkan dengan keluhan publik terhadap siaran TV yang diterima KPID Sulsel, tahun 2007 lalu. Selama kurun waktu itu, paket tayangan kekerasan, kata-kata kasar dan makian juga menempati posisi teratas dibanding jenis program acara lainnya. Dari 496 aduan publik, mereka yang mengeluhkan tayangan jenis ini sebanyak 137 kasus (27,6%), diikuti tayangan pornografi sebanyak 91 kasus (18,3%), dan tayangan yang menampilkan alkohol dan rokok sejumlah 45 kasus (9,1%).
Tampak bahwa tayangan kekerasan masih menempati top ranking siaran TV kita. Paket tayangan jenis ini terserak bukan hanya pada program berita tapi juga sinetron, film, infotainment, reality show, variety show, iklan bahkan film kartun. Dari ragam program yang mengusung tema kekerasan itu terlihat bahwa kekerasan bisa terjadi lintas etnis, berlatar belakang agama, ideologi, atau karena berbeda aliran dan kepentingan politik. Selain itu, penyebabnya juga bisa karena rebutan lahan, hutang-piutang, dibakar api cemburu, hingga karena kalah dalam suatu pertandingan olahraga.
Mereka yang terlibat dalam lingkaran kekerasan ini bervariasi latar belakang pendidikan, profesi dan status sosial-ekonominya. Ada kelompok mahasiswa, pelajar, petani, PKL, buruh, aparat keamanan, artis hingga politisi. Potensi kekerasan yang sedemikian besar kemudian ditangkap sebagai peluang bisnis. Atas nama kreativitas, kebebasan pers dan kebebesan berekspresi, ‘potensi kekerasan’ itu lalu diolah menjadi paket-paket produk, sebagaimana lazim kita tonton. Liputan-liputan kekerasan dibuat khusus, bahkan menjadi komoditas unggulan stasiun TV, seperti “Patroli”, “Buser”, “Sergap”, “TKP”, dan “Detektif”.
Praktik serupa terjadi di jenis tayangan hiburan. Sejak booming tahun 1990-an, produksi sinetron kita seperti tak ada matinya. Persoalannya, banyak alur cerita sinetron melabrak logika. Selain dituding hanya menjual mimpi, sinetron juga sarat adegan kekerasan, baik fisik maupun verbal. Pada sinetron bertema anak-anak, seperti Ronaldowati di TPI pun tak luput dari muatan kekerasan. Tidak mengherankan jika sinetron kita hanya unggul dari segi jumlah, namun miskin kualitas, sangat kering dari nilai-nilai filosofis dan dangkal spirit humanisme.
Bagaimana dengan film-film animasi? Berdasarkan data bulan Februari 2008, penulis mencatat, jumlah jam tayang film kartun di 10 stasiun TV nasional sebanyak 112,5 jam/minggu atau 450 jam/bulan. Jika dirata-rata, angkanya mencapai 5.400 jam/tahun! Suatu angka yang fantastik, mengingat banyak di antara film kartun sama sekali tidak cocok dikonsumsi anak-anak. Tontonan favorit anak-anak, seperti Tom and Jerry, Popeye and Son, Detective Conan, Naruto, Samurai X, Mask Rider Blade, One Piece, dan Dragon Ball, dikelompokkan sebagai daftar acara yang “bahaya” untuk anak. Sebab, tayangan dalam kategori ini dianggap banyak mengandung muatan negatif, seperti kekerasan, mistis, seks, dan bahasa kasar. Frekuensi adegan kekerasannya relatif tinggi dan cenderung dijadikan daya tarik utama.

Kurikulum Tersembunyi
Sekilas, film-film kartun yang disebut di atas melulu ditujukan sebagai hiburan. Sayangnya, dibalik gambar-gambar lucu dan seru itu, ia mengajarkan dendam, permusuhan dan kekerasan. Boleh dikata, ada semacam ‘kurikulum’ tersembunyi di setiap tayangan, apalagi tayangan beraroma kekerasan. ‘Kurikulum’ itu dikhawatirkan ikut menstimulasi, memberi inspirasi dan memberikan pembelajaran bagi orang lain untuk meniru atau melakukan tindakan serupa. Telah banyak kajian yang menghubungkan terpaan tayangan kekerasan media (media violence exposure) dengan perilaku agresif (aggresive behavior), seperti karya Glenn G Sparks dan Cheri W Sparks (2002).
Sepanjang tahun 2008, terdokumentasi dengan baik sejumlah kasus yang disebut-sebut akibat efek meniru (copy cat) kejahatan yang dilakukan orang lain, yang secara telanjang ditampilkan televisi. Berita seputar pembunuhan berantai dengan cara mutilasi yang dilakukan Very Idam Henyansyah alias Ryan, telah memberi contoh bagi Sri Rumiyati saat membunuh dan memotong-motong bagian tubuh suaminya, Hendra. Kasus mutilasi yang korbannya dimasukkan ke dalam kantong plastik dan ditemukan di bus Mayasari Bhakti P-14 itu, bukanlah yang terakhir. Sebab, berturut-turut muncul kasus mutilasi lain, dengan pelaku berbeda tapi skala kekejiannya setali tiga uang.
Pengaruh tayangan TV atas terjadinya tindak kejahatan juga diakui Liana Nur (32), seorang ibu yang pusing dililit hutang. Kepada polisi pelaku mengaku terinspirasi merampok sopir taksi dengan menggunakan martil setelah menonton TV. Menurut kriminolog UI, Adrianus Meliala, pelaku kejahatan semakin kalkulatif dalam melakukan kejahatannya (Kompas, 3/11/2008). Maksud hati hendak menghapus jejak perbuatannya, namun yang terjadi malah bakal disudutkan dengan dakwaan berlapis karena dinilai melakukan kejahatan berencana.
Peniruan ini dimungkinkan karena TV kadang sangat dramatis dan detail memaparkan latar belakang peristiwa lengkap dengan cara-cara bagaimana pelaku melakukan kejahatan sampai menghabisi korbannya. Rekonstruksi yang merupakan bagian dari proses penyidikan, yang dilakukan polisi untuk mengetahui fakta peristiwa di tempat kejadian perkara (TKP), telah diambil alih dan dilakukan sedemikian cepat oleh televisi. Setiap paket berita kriminal bahkan membuat rekonstruksi versi stasiun televisinya. Peragaan yang biasa disebut ilustrasi ini, sering tidak disebut secara eksplisit (Kun Sri Budiasih, 2005).
Tidak kalah menghebohkan adalah munculnya rekaman kekerasan oleh sekelompok remaja putri, yang menyebut dirinya Geng Nero, di Pati, Jawa Tengah. Perilaku merekam aksi kekerasan dengan menggunakan kamera handphone, selanjutnya muncul di beberapa daerah, termasuk di Makassar dan Parepare. Tayangan kasus ini seolah memberi ide segar. Para pelajar, kini bukan hanya merekam kekerasan yang dilakukan temannya tapi juga yang dilakukan gurunya, sebagaimana terjadi di Gorontalo.
Peniruan bukan hanya dilakukan oleh pelaku tapi juga industri televisi. Masing-masing, demi menyiasati persaingan, berlomba adu cepat menayangkan kasus dan program sejenis. Gambar-gambar eksklusif dan diklaim sebagai best pictures ditampilkan, meski itu berupa bentrokan berdarah. Maka adalah tepat bila Wapres Jusuf Kalla, dalam sambutan pada acara KPI Award, Maret 2008, di Jakarta, menuntut tanggung jawab sosial semua pemilik dan pelaku industri televisi yang siarannya ditonton sekitar 150 juta (75%) penduduk Indonesia setiap hari. Menurut Wapres, jika televisi dipenuhi berita buruk dan isinya menebarkan ketakutan, yang pertama hancur adalah industri televisi itu sendiri karena pengusaha takut berusaha, bisnis tidak bergerak, dan iklan tidak ada (Kompas, 19/3/2008).
Pernyataan Wapres ini menjadi relevan untuk kita di Sulsel, yang kini terlanjur buruk rupa, karena demonstrasi terjadi atas semua melawan semua, tanpa pilih isu. Dalam Rakornas KPI Pusat dan KPID se-Indonesia, di Batam, tahun 2008, terungkap bahwa Sulsel bersama Sumsel dan Sumut merupakan tiga daerah terbanyak pemasok tayangan kekerasan. Mereka yang ‘hobi’ demonstrasi kiranya patut merenungkan, bukan hanya karena kita sangat menginginkan investasi di tengah situasi global yang terancam tsunami ekonomi―atau karena Sulsel tengah mempromosikan program pariwisata “Lovely December”―tapi karena kita hendak membuktikan bahwa kita mampu menyampaikan aspirasi kritis tanpa menimbulkan krisis baru, mampu mengelola konflik secara cerdas, elegan dan bermartabat, tanpa perlu korban sia-sia.
Sedangkan bagi kalangan pengelola jasa penyiaran televisi hendaknya melakukan swa sensor yang ketat dan lebih taat regulasi. Sebab, gambar-gambar yang sesak dengan kekerasan, kekejaman, kehancuran, kerusakan dan segala gambar yang menyedihkan dan menimbulkan kengerian, dalam jangka panjang akan mendatangkan malapetaka baru bila selalu ditayangkan, apalagi bila ditonton anak-anak karena akan membekas dalam memori mereka secara permanen. Anak-anak yang tertular ‘virus kekerasan’ akan menjadi imun dan kehilangan kepekaan kemanusiaan dan empati sosial.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar