Selasa, 29 September 2009

Pemkot Makassar Tidak Pro Anak

RAPBD Kota Makassar sudah disahkan. Masyarakat tinggal menunggu realisasinya. Apakah benar, dana untuk pelayanan publik akan sampai ke masyarakat sebagaimana peruntukannya, atau mengucur entah ke mana. Sebab, apa yang dimaksud belanja pelayanan publik tidak semuanya murni ditujukan langsung ke masyarakat. Alokasi untuk pelayanan publik itu masih dicampuri dengan dana yang diperuntukan bagi aparat atau belanja kedinasan. Bisa untuk membeli ATK, biaya pemeliharaan mobil dinas, perjalanan dinas, serta gaji aparat dinas (Zakiyah, 2004). Dari pemahaman ini, dapat dipastikan proporsi anggaran untuk anak akan sangat minim.
Ambil contoh, pada RAPBD 2004, total jumlah belanja pelayanan publik mencapai Rp31.505.933.400. Tapi untuk anak, hanya tersedia Rp1.494.000.250. Dana yang teramat kecil bagi anak kembali muncul dalam RAPBD 2005. Untuk menangani anak terlantar yang jumlahnya hampir 3.000 orang, Pemkot hanya menyediakan anggaran Rp25 juta. Jumlah ini kontras dengan pos pembiayaan rumah tangga Walikota Ilham Arief Sirajuddin yang mencapai sepuluh kali lipat biaya santunan anak-anak terlantar. Belum lagi bila ditambah dengan pakaian dinas Walikota sebesar Rp50 juta dan biaya penunjang operasional sebesar Rp400 juta per tahun.

DPRD Kota Makassar belakangan memangkas sebagian tunjangan operasional Walikota dan Wakilnya itu untuk subsidi program akta kelahiran gratis. Dana sebesar Rp50 juta tersebut akan diberikan kepada sekitar 2.000 anak tidak mampu kategori usia wajib belajar (Radio SPFM, 30/3/2005). Namun, tunjangan yang bersifat subsidi ini tidaklah menunjukkan anggaran dalam APBD kita sudah pro-anak. Istilah subsidi saja sudah memperlihatkan bagaimana watak pemerintah dalam memandang warganya. Istilah itu mengindikasikan pemerintah menggunakan pendekatan “kemurahan hati”, bukan merupakan bagian dari pelaksanaan “kewajiban negara” dalam memenuhi hak-hak anak.
Paradigma ini terjadi lantaran Pemkot, melalui Perda Nomor 10 Tahun 2004, memberlakukan kembali retribusi pengganti biaya cetak akta kelahiran. Perda ini jelas menganulir SK Nomor: 690/Kep/474.1/2002 yang membebaskan biaya penerbitan akta kelahiran bagi anak tidak mampu, yang ditempuh Walikota H.B. Amiruddin Maula. Ini berarti, Pemkot menjadikan setiap bayi baru lahir sebagai sumber PAD. Bahkan, dapat dikatakan, Pemkot hendak menggenjot angka kelahiran. Karena hanya dengan banyaknya jumlah kelahiran, PAD akan semakin meningkat. Jadi, dana subsidi akta kelahiran gratis itu tak lebih dari kebijakan palsu yang hendak mengelabui akal sehat kita. Pemkot tidak ambil peduli bahwa akta kelahiran merupakan hak pertama seorang anak.
Walikota Makassar tampaknya kehilangan ilham yang membuatnya menempuh kebijakan tak arif pada anak. Semula, di awal masa jabatannya, Ilham Arief Sirajuddin, sepertinya benar-benar akan menjadi ilham bagi upaya perlindungan anak di tanah air. Ilham, kala itu, mengajak masyarakat untuk tidak memberi uang kepada anak-anak jalanan pengemis sebagai upaya memutus mata rantai praktik pengemisan. Tidak tanggung-tanggung, Ilham terlibat langsung memasang stiker bertuliskan “setiap anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan eksploitasi, untuk itu stop memberi uang di jalan”. Pesan itu ia tempelkan pada angkutan umum pete-pete, sembari mengajak masyarakat mendukung kampanyenya.

Ilham semakin terlihat arif saat melontarkan gagasan perlunya mengadakan acara khusus untuk anak-anak dari keluarga miskin. “Saya mau ajak anak-anak ini berwisata, nonton bersama di bioskop bagus. Sudah itu, kita jalan-jalan ke mal,” kata Ilham di sela-sela peringatan Hari Anak Nasional 2004 (Tribun Timur, 24/7/2004). Ia lantas mengajak anak-anak dari sejumlah panti asuhan menonton film Spider-man 2. Ilham seperti hendak memberi harapan bahwa sebagai Walikota ia akan tampil membela anak-anak, layaknya si laba-laba merah. Tapi, sosok pejabat tak ubahnya tokoh film kartun: cuma figur khayali. Mereka hanya hebat dalam pencitraan. Kenyataannya, mereka memimpin tanpa semangat melindungi. Para pejabat seolah kehilangan sosok tradisional orangtua, yang akan berupaya apa saja demi kepentingan terbaik anak-anaknya.

Sejauh ini, jumah anak usia 0-18 tahun yang mencapai 40% dari 1.148.012 total penduduk Makassar, memang tidak banyak mendaat perhatian. Faktanya bisa dilihat pada relatif tingginya kasus gizi buruk. Angkanya berada pada kisaran 3.000 anak, belum termasuk anak-anak berstatus kurang gizi yang mencapai hampir 13.000 orang. Di bidang pendidikan, persoalan yang dihadapi anak-anak tidak lebih baik. Data Bappeda Kota Makassar, tahun 2003, memperlihatkan jumlah anak yang tidak bersekolah pada jenjang pendidkan setara program wajib belajar (wajar 9) tahun, sebanyak 23.500 orang. Sebagian dari anak-anak inilah yang ‘meramaikan’ jalan-jalan Kota Makassar dengan berbagai aktivitas, sebagai pengemis, loper koran, atau pedagang asongan. Yang lain, terpaksa menjadi pekerja anak, termasuk di sektor berbahaya, dengan bayaran teramat murah.

Beban retribusi yang ditujukan terhadap setiap anak baru lahir, tidak dibarengi pengalokasian dana bagi mereka. Tampaknya, belum ada strategi jitu untuk menyelamatkan anak-anak, agar bangsa ini terhindar dari ancaman kehilangan generasi terbaiknya. Indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang berada pada peringkat rendah, tidak dijadikan sebagai koreksi atas kebijakan yang ditempuh selama ini. Perbaikan kualitas sumber daya manusia melalui pengalokasian anggaran yang proporsional untuk anak, tidak pernah secara sungguh-sungguh dilaksanakan. Dalam situasi seperti ini, pemerintah masih saja menerapkan politik anggaran yang tidak sensitif anak.

Pro Child Budget
Untuk itu, diingatkan perlu mengalokasikan anggaran yang pro child budget. Anggaran yang berpihak pada anak, bukan hanya diukur dari proporsi dana yang disediakan tapi, lebih dari itu, memperhatikan untuk apa saja anggaran itu digunakan. Dasar hukum penyusunan konsep ini dapat ditemukan dalam UUD 1945, Pasal 28B ayat (2), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta berbagai peraturan perundang-undangan menyangkut anak.

Anggaran yang pro child budget adalah pernyataan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi pada suatu periode tertentu, yang dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil mempertimbangkan kepentingan terbaik anak sebagai prioritas, dengan memperhatikan keadilan bagi setiap anak laki-laki dan perempuan dari latar belakang berbeda (ras, suku, budaya, agama), dengan mendengar pendapat anak dalam setiap tahapan kegiatan, demi kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya. Anggaran yang pro child budget ini merupakan semua anggaran yang bersentuhan langsung dengan anak atau yang akan berdampak pada anak.

Manfaat anggaran pro child budget bagi anak, yakni untuk memastikan kebutuhan dan kepentingan setiap anak laki-laki dan perempuan dapat ditanggulangi melalui anggaran yang dialokasikan pemerintah, dalam berbagai sektor kehidupan anak, sebagai implementasi kewajiban generik negara terhadap warga negaranya. Di samping untuk mengantisipasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mendasar dan segera dari anak, yang akan memengaruhi kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya, serta untuk meningkatkan kualitas SDM, dengan mensimultankan perhatian pada aspek kesejahteraan dan perlindungan anak. Program-program ini selanjutnya dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan melalui pelayanan yang ramah anak.

Selain untuk anak, anggaran yang pro child budget juga bermanfaat bagi pemerintah. Antara lain, dapat meningkatkan efisiensi yang berdampak positif pada terjaminnya pengeluaran yang bermanfaat untuk mereka yang paling membutuhkan. Dapat pula digunakan sebagai bahan laporan bahwa pembangunan dan kebijakan yang ditempuh telah memenuhi dan sesuai nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, terutama hak-hak anak, serta adil gender. Selanjutnya, dapat dijadikan dasar untuk melaporkan pencapaian komitmen pelaksanaan hak-hak anak dalam rangka children mainstreaming, sesuai rencana aksi internasional yang berhubungan dengan anak.
Sebagai eksekutif, Pemkot perlu bertindak sebagai fasilitator untuk menghadirkan para pelaku pro child budget dalam sebuah forum multi-stakeholder guna merumuskan visi dan misi yang hendak dicapai mengenai anak. Jadi, tanggung jawab mewujudkan anggaran yang pro child budget bukan semata terletak di tangan pemerintah saja tapi juga mereka yang berada di ranah legislatif, yudikatif, sektor usaha, media massa, institusi agama, akademisi, LSM, donor, masyarakat sipil, orangtua, tak terkecuali anak-anak itu sendiri.(*)

(Sumber: Pedoman Rakyat, 9 April 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar