Sabtu, 26 September 2009

Debat Capres, Sejarah Baru Pertelevisian

Oleh Rusdin Tompo (Anggota KPID Sulsel)

Sebagai “kotak ajaib”, televisi berkontribusi meretas jalan bagi pasangan calon presiden-wakil presiden dalam kontestasi pilpres 2009 ini. Bila pasangan calon bersangkutan mampu memaksimalisasi kekuatan televisi―yang berdaya langsung, serentak dan serempak―untuk meraih simpati dan membentuk citra, bukan tidak mungkin akan meningkatkan popularitasnya, yang kemudian berdampak pada elektabilitasnya. Potensi TV dalam menaikkan tingkat keterpilihan seorang calon terkait erat dengan image yang digambarkan dan kemampuan mengomunikasikan program yang ditawarkan.
Pemanfaatan televisi sebagai saluran komunikasi politik untuk pembuatan citra, sudah berlangsung sejak dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Pada era ini, menurut Dan Nimmo (1999), penggunaan medium televisi lebih untuk memproyeksikan atribut-atribut terpilih dari kandidat. Maka, visualisasi yang ditampilkan ke publik tentang diri dan kiprah sang calon, benar-benar berupa gambar-gambar terseleksi untuk kepentingan pencitraan. Skenario ini dapat dilakukan, karena tekanan pembentukan citra digenjot melalui strategi periklanan yang dibayar. Dalam konteks pilpres 2009, iklan SBY versi “100 tokoh berpengaruh di dunia”, yang disematkan majalah Time kepada calon presiden dari Partai Demokrat itu bisa dijadikan contoh. Juga iklan SBY-Boediono versi “dari rakyat untuk rakyat” yang mengisahkan perjalanan hidup kedua pasangan tersebut.
Pada periode 1970-an, tren pendekatan kampanye berubah, tak melulu mengandalkan pembentukan citra tapi lebih menekankan segi pengaturan dan pembahasan pokok masalah. Aspek ini menuntut kemampuan penguasaan isu disamping komunikasi persuasif untuk meyakinkan khalayak pemilih. Kampanye model ini memungkinkan terjadinya dialog interaktif antara kandidat dengan berbagai kelompok kepentingan. Kandidat seolah di-fit and propert test untuk mengetahui seberapa luas pemahamannya menyangkut suatu masalah, bagaimana strategi mengatasi masalah, lengkap dengan janji-janji dan komitmen politiknya.
Kita bisa menyaksikan kampanye model ini di sejumlah stasiun TV yang bersiaran dari Jakarta. Jauh sebelum kampanye resmi dihelat Komisi Pemilihan Umum (KPU), kelompok-kelompok profesional dan berbagai komunitas dalam masyarakat mengambil inisiatif menyelenggarakan dialog dengan masing-masing pasangan capres-cawapres. Misalnya, dialog mengenai penegakkan hukum dan HAM dengan kalangan akademisi dan praktisi hukum, dialog tentang kesehatan dengan paramedis, dialog dengan kelompok pedagang pasar dan buruh, hingga dialog yang menghadirkan kaum muda sebagai audiensnya. Dialog-dialog ini, termasuk dialog membahas visi-misi di bidang pendidikan dengan rektor perguruan tinggi yang menghadirkan semua capres melalui teleconference, sepertinya menjadi ajang pemanasan sebelum debat capres-cawapres dilakukan.

Tradisi Baru
Tradisi debat capres di Indonesia mulai dirintis pada pilpres tahun 2004, yang dipandu oleh presenter Ira Koesno dari SCTV. Sementara di Amerika Serikat, debat capres seolah menjadi hal wajib dalam prosesi demokrasi, yang berlangsung sejak tahun 1858, antara Abraham Lincoln dan Stephen A. Douglas. Meski begitu, masyarakat di negeri Paman Sam baru terbiasa dengan debat capres, ketika mulai disiarkan secara langsung melalui televisi pada tahun 1960. Kala itu, capres dari Partai Republik Richard M. Nixon berhadapan dengan calon Partai Demokrat, John F. Kennedy. Tampaknya, gaya Amerika inilah yang menginspirasi dan mewarnai pangggung debat capres-cawapres kita. Walaupun dalam tataran kualitas penyelenggaraannya, belum sepenuhnya memenuhi ekspektasi publik.
Sekalipun demikian, patut dicatat, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia pasal-pasal tentang debat pasangan capres-cawapres dimasukkan dalam UU. Pendekatan kampanye dengan mobilisasi dan pengerahan massa dalam bentuk rapat umum memang tak lagi mendapat porsi utama dalam pemilu kali ini. UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden hanya membolehkan pertemuan terbatas serta tatap muka dan dialog. Selebihnya, kampanye mengandalkan pemanfaatan media cetak, elektronik, dan penyiaran, juga dalam bentuk pemasangan alat peraga di tempat kampanye dan tempat-tempat umum lainnya. Tidak tanggung-tanggung, dalam UU itu disebutkan, debat pasangan calon dilaksanakan sebanyak 5 (lima) kali dan disiarkan langsung secara nasional melalui media elektronik. Secara teknis, dibagi atas debat antar-calon presiden, dilakukan sebanyak 3 kali, dan 2 kali untuk cawapres. Penyelenggaraan debat ini dipercayakan kepada 5 (lima) stasiun TV berbeda, yakni Trans TV, SCTV, Metro TV, tvOne, dan RCTI.
Untuk menjamin netralitas dan independensi penyelenggaraan debat, UU juga mengatur mengenai moderator debat yang dipilih oleh KPU dari kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai integritas tinggi, jujur, simpatik, dan tidak memihak kepada salah satu pasangan calon. Moderator yang disepakati kemudian adalah Rektor Universitas Paramadina, Anies Rasyid Baswedan, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, pengamat ekonomi, Aviliani, Ketua Umum IDI Fahmi Idris, dan Dekan Fisipol UGM, Pratikno. Menemukan lima sosok dengan kriteria seperti itu bukanlah perkara gampang di tengah makin kuatnya pesona kekuasaan yang menarik banyak tokoh ke kancah politik praktis.
Kebijakan menyelenggarakan debat melalui media elektronik ini jelas menguntungkan dari segi cost social karena kampanye melalui berbagai saluran media akan menghindarkan kemungkinan terjadinya benturan antara massa pendukung di lapangan. Apalagi, dengan jadual kampanye yang berlangsung relatif singkat, hanya selama 32 hari (2 Juni-4 Juli), tentu teramat melelahkan bila para calon harus melakukan safari politik di negara dengan luas mencapai 5.193.252 Km², mencakup 33 provinsi, 356 kabupaten dan 88 kota. Terbukti, jatah kampanye terbuka di 11 provinsi dalam sehari yang diperuntukkan bagi masing-masing pasangan calon tak mampu dipenuhi. Bila maksimalisasi pemanfaatan kekuatan media terealisasi sebagaimana diharapkan, niscaya akan meningkatkan partisipasi pemilih sekaligus mengedukasi mereka menjadi pemilih kritis dan rasional.

Lompatan Sejarah
Mungkin sebagian besar dari kita tidak menduga, bagaimana para praktisi penyiaran sebagai kreator program TV mengemas acara debat capres-cawapres menjadi seperti yang sudah kita saksikan bersama. Kesan monoton pada debat putaran pertama yang menghadirkan calon presiden Megawati Soekarnoputri (PDI-P-Partai Gerindra), Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat dan mitra koalisinya), serta Jusuf Kalla-Wiranto (Partai Golkar-Partai Hanura) yang disiarkan secara live dari studio Trans TV, Kamis (18/6), mampu ditutupi dengan tayangan yang sama di Metro TV dan tvOne. Yang berbeda, debat dengan moderator Rektor Universitas Paramadina, Anies Rasyid Baswedan, ala Metro TV dan tvOne itu dibuat lebih bergairah dan menghibur sebagai sebuah produk politainment, yang merupakan perpaduan politik dan entertainment.
Kedua stasiun TV swasta ini bahkan menggunakan berbagai kemajuan IT dalam program debat bertema tata kelola pemerintahan dan penegakkan hukum dan HAM tersebut. Sehingga, masyarakat bisa ikut memberi komentar tentang jalannya debat melalui teknologi dunia maya, seperti facebook, yahoo! messenger dan BlackBerry. Melalui teknologi Picture in Picture (PIP), kita bisa menyaksikan para capres menyampaikan gagasan-gagasannya di studio Trans TV, sekaligus reaksi berupa tepukan riuh dari pendukung capres bersangkutan di studio Metro TV pada waktu bersamaan. Tanpa harus menunggu lama, kita sudah bisa mengetahui ‘hasil debat’ melalui polling SMS yang dikirim pemirsa atau penilaian sekelompok orang yang dipersiapkan sebagai juri vote lock di akhir acara. Meski metodologi jajak pendapat dan penjurian seperti itu dipersoalkan, karena tidak mencermintan aspirasi pemilih yang sesunguhnya. Namun kita harus akui telah terjadi lompatan sejarah dalam industri pertelevisian tanah air, yang mendayagunakan sentuhan teknologi mutakhir untuk memberikan pembelajaran demokrasi kepada masyarakat penontonnya.
Sejumlah stasiun TV yang mengklaim diri sebagai TV pemilu memang berupaya menghadirkan sebuah tontonan yang lebih bermutu dan semarak. Metro TV dan tvOne, misalnya, saat mengundang tim kampanye berdebat, juga menyertakan masing-masing suporternya. Belum lagi acara nonton bareng di berbagai daerah, layaknya event olahraga atau pemilihan idola. Kondisi ini kontras dengan suasana debat di stasiun TV yang menjadi tuan rumah. Menurut Anies R. Baswedan (Kompas, 21/6/2009), yang tertangkap malam itu dari jawaban para capres sebagian lebih pada to impress (memberi kesan), bukan to express (mengungkapkan pendirian secara terus terang). Padahal, menurutnya, pemimpin harus bicara terus terang dan lugas, tetapi santun karena itu merupakan gaya komunikasi politik modern.
Hal yang tak jauh berbeda terjadi pada debat antar-cawapres, yang menghadirkan Prabowo Subianto, Boediono, dan Wiranto, dengan tema jati diri bangsa di studio SCTV, Selasa (23/6). Rektor UIN, Komaruddin Hidayat, yang kali ini dipercaya sebagai moderator bahkan menilai acara debat tersebut berlangsung di bawah standar karena jawaban yang dilontarkan masing-masing cawapres ngambang dan normatif (Today’s Dialog, Metro TV, 23/6). Meski mendapat kritikan, KPU tak hendak mengubah format debat. Hanya saja, pada debat putaran kedua, capres dan moderator diperbolehkan bergerak (mobile), tak harus berdiri kaku di mimbar. Aturan yang sedikit longgar ini, membuat jalannya debat mulai hidup. UU memang melarang moderator memberikan komentar, penilaian dan kesimpulan apapun terhadap penyampaian materi dari pasangan calon.
Apa yang tampak dalam suasana debat memang berbeda dengan situasi yang terungkap dalam pemberitaan luas media. Suguhan perang pernyataan yang dilakukan pasangan capres-cawapres maupun tim kampanyenya telah menjadi santapan masyarakat. Saling klaim keberhasilan dan ‘teror' hasil survei, tidak terelakkan. Supaya bisa lepas dari tudingan neolib (baca: neoliberalisme), para capres-cawapres melakukan ‘politik pasar’ sebagai simbol dan bukti bahwa mereka prorakyat kecil. Namun, mempercayakan kendali negara dan pemerintahan kepada seseorang yang hanya sibuk merawat citra paripurnanya, rasa-rasanya teramat berisiko. Sebab, dalam proses mencari pemimpin, kita bukannya hendak memilih sosok manusia berwajah innocence, yang hanya mau menampakkan terangnya dan menyembunyikan gelapnya laksana bulan. Kita butuh figur pemimpin yang tegas dan sigap seperti matahari. Figur yang mengayomi dan memberi kehidupan. Yang rekam jejaknya jelas, penuh dedikasi, disiplin, mampu meneguhkan keyakinan dan memompa semangat anak bangsa untuk bekerja membangun negeri.
Untuk itu, rekaman jalannya debat penting didokumentasikan oleh setiap stasiun TV dengan baik karena memiliki nilai sejarah dan nilai penyiaran yang tinggi. Ini amanah UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Arsip siaran debat capres-cawapres ini akan menunjukkan peran lembaga penyiaran dalam mengawal proses electoral yang free and fair. Arsip siaran juga akan memberikan gambaran tentang ragam program acara yang dibuat, sehingga dapat dijadikan bahan kajian bagi perbaikan regulasi menyangkut penyelenggaraan pemilu, serta memberikan pembelajaran kepada semua pihak yang terkait dalam pelaksanaan pemilu untuk lebih meningkatkan kinerja dan koordinasi dalam mengawal pemilu yang aman, damai, berkualitas dan demokratis. Lebih dari itu, kita bisa gunakan untuk mengevaluasi dan menagih janji-janji dan komitmen politik capres-cawapres terpilih.[*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar