Jumat, 25 September 2009

Mendebat Putusan MK Soal Iklan Rokok

Oleh Rusdin Tompo
(Koord. Bidang Pengawasan Isi Siaran KPID Sulsel dan Aktivis Hak Anak)

“Melindungi anak pada hakikatnya adalah melindungi keluarga, masyarakat, dan bangsa.”
[Arif Gosita]

Uji materi untuk meniadakan iklan rokok dari layar televisi dan siaran radio, akhirnya kandas. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (10/9/2009), menyatakan, siaran iklan niaga yang mempromosikan produk industri rokok tetap sah dan konstitusional. Putusan ini telah mengabaikan prinsip-prinsip hak anak yang diakui secara universal, terutama prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan berkembang, serta prinsip demi kepentingan terbaik anak. MK tampaknya tak cukup punya nurani untuk menyelamatkan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa dari bahaya laten merokok. Menurut MK, melarang iklan rokok justru bertentangan dengan konstitusi, semakin menegaskan kepada siapa hukum berpihak. Sikap MK ini melengkapi bukti sejarah tentang sebuah negara yang tidak menjadikan persoalan pemenuhan hak-hak anak sebagai bagian dari narasi besar bangsanya.
Kalaupun kemudian muncul tudingan bahwa negara melakukan pengabaian (state neglect) dan pelanggaran hukum internasional terhadap pemenuhan hak-hak anak, bukanlah hal yang berlebihan. Konstitusi kita memang mengalami cacat bawaan sejak diamandemen. Coba saja periksa bunyi Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang tidak lengkap menjamin hak-hak konstitusi anak. Maka, jelas pasal ‘cacat’ ini kalah ketika ‘diadu’ dengan pasal yang lebih mendewakan hak konstitusional setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Meski harus mengubur dalam-dalam hak-hak anak, yang disebut dalam UU HAM sebagai kelompok rentan yang perlu mendapat perlakuan khusus.
Karena itu, putusan MK soal uji materi iklan rokok itu harus didebat. Walaupun MK memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final, untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Judicial review dimaksud diajukan oleh Komnas Perlindungan Anak, LPA Provinsi Jawa Barat, dan dua anak Indonesia terhadap Pasal 46 Ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, akhir Januari 2009. Pasal itu selengkapnya berbunyi, “siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.” Pemohon berargumen, definisi pasal ini melanggar hak konstitusional anak dan remaja. Mereka lantas mengajukan rumusan kalimat baru untuk mengubah pasal yang ada menjadi, “siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok.” Uji materi ini didorong akan kerisauan pemohon terhadap industri rokok yang semakin agresif dan demonstratif memasarkan produknya melalui iklan yang menyasar anak dan remaja.
Komnas Perlindungan Anak memiliki sejumlah data dan fakta tentang peta ekspansi industri rokok melalui berbagai promosi, program sponsorship, dan iklan-iklannya yang dinilai semakin atraktif-variatif. Lembaga yang dipimpin Kak Seto ini bahkan mengungkapkan ‘rencana jahat’ Philip Morris, sebuah perusahaan rokok kelas kakap, yang disimpan sebagai dokumen rahasia. Dalam dokumen itu dinyatakan, “remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok... pola merokok remaja penting bagi Philip Morris.” Dokumen yang memberi gambaran betapa remaja berada pada bidikan utama industri rokok itu merupakan penelitian Myron E Jonhnson ke Wakil Presiden Riset dan Pengembangan Philip Morris, tahun 1981 (Kompas, 30/1/2009). Mengapa demikian? Karena anak-anak dan remaja merupakan masa depan industri rokok. Dengan memperkenalkan rokok sejak awal kepada kalangan usia muda ini maka industri rokok akan merawat mereka sebagai pelanggan tetap dan loyal untuk jangka panjang.

Pengaruh Iklan
Tidak perlu heran jika industri rokok jor-joran menggelontorkan dana demi memperkenalkan produknya. Komnas Perlindungan Anak mencatat, sepanjang Januari-Oktober 2007, terdapat 2.848 tayangan televisi yang disponsori rokok. Tayangan ini beredar ‘hanya’ di 13 stasiun TV, belum termasuk stasiun-stasiun TV lokal yang mengudara di daerah-daerah. Juga ditemukan, ada 1.350 kegiatan yang diselenggarakan dan atau disponsori industri rokok, seperti konser musik, olahraga, film layar lebar, acara seni dan budaya, hingga keagamaan. Pada acara-acara tersebut, tidak jarang dibagikan rokok gratis kepada pengunjung tanpa pandang usia.
Iklan-iklan rokok yang mengepung anak-anak dan remaja di televisi dan berbagai media itu, menjadi salah satu faktor penting terseretnya anak-anak sebagai konsumen rokok. Hasil survei Komnas Perlindungan Anak (Kompas, 24/6/2009) menemukan, ternyata 99,7 persen anak-anak terpapar iklan rokok di TV, 87% dari iklan luar ruang, serta 76,2% remaja melihat iklan rokok di majalah dan koran. Iklan-iklan itu rupanya cukup membekas di benak mereka. Lihat saja angkanya. Sekitar 62,2% remaja memiliki kesan positif terhadap iklan rokok yang dilihatnya, 51,6% dapat menyebut lebih dari tiga slogan iklan rokok, dan 50% merasa dirinya lebih percaya diri seperti yang dicitrakan iklan rokok.
Ampuhnya iklan rokok tercermin pada jumlah responden yang mengaku tergoda kembali untuk merokok setelah melihat iklan rokok. Mereka yang terbuka mengatakan demikian, angkanya berada pada kisaran 29 persen. Secara lugas Zulazmi Mandu, Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, mengatakan, sedikitnya satu dari lima remaja di DKI Jakarta mengaku timbul untuk menyalakan rokok sesaat setelah melihat iklan rokok. Tak ayal bila Kak Seto menyebut iklan rokok merupakan monster bagi anak-anak karena mereka dengan mudah terpengaruh (Kompas, 18/1/2008). Bagaimana tidak? Karakteristik iklan rokok begitu dekat dengan dunia anak dan remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri. Sehingga, slogan-slogan iklan rokok yang mencitrakan kejantanan, petualangan, kebebasan, solidaritas, penuh impian obsesif khas gaya anak muda, dengan mudah diterima. Penggalan kata seperti “Gak Ada Loe Gak Rame”, “Enjoy Aja!”, “Ekspresikan Aksimu”, “Lelaki Pemberani”, “Buktikan Merahmu”, dan “U are U” menjadi akrab bagi mereka.

Lebih Liberal
Kita prihatin lantaran putusan MK seolah menutup mata terhadap tren usia inisiasi para perokok yang cenderung semakin dini, yakni usia 5-9 tahun. Perokok belia yang mulai merokok pada usia 5-9 tahun ini mengalami lonjakan paling signifikan, dari 0,4 persen tahun 2001, menjadi 1,8 persen tahun 2004. Lebih mencemaskan lagi karena lebih 70% dari 60 juta perokok di Indonesia berasal dari golongan ekonomi lemah. Kondisi ini menurut Prof. Farid Anfasa Moeloek, membuat anak-anak menjadi korban. Dikatakan, ada lingkaran setan antara merokok, kemiskinan, malnutrisi, dan kebodohan. Mantan Menteri Kesehatan itu menegaskan, rokok merupakan pintu gerbang kehancuran bangsa.
Sebenarnya, selain pasal dalam UU Penyiaran yang gagal diuji-materikan itu, aturan main tentang iklan rokok, antara lain, terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, dan PP No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Kedua PP itu hanya membolehkan iklan rokok ditayangkan pada pukul 21.30-05.00 waktu setempat, disertai pencantuman peringatan bahaya merokok bagi kesehatan.
Tapi, pembatasan waktu siar itu diakali oleh industri rokok dengan membuat program sponsorship, yang promonya ditayangkan pada waktu-waktu yang tidak ditolerir. Yakni, saat di mana anak-anak justru diperkirakan banyak menonton TV. Pihak industri rokok juga menyiasati larangan tersebut dengan membungkusnya melalui promo/iklan program CSR (corporate social responsibility) yang menawarkan beasiswa pendidikan atau kepedulian pada lingkungan hidup. Akibatnya, merek-merek rokok bisa tetap wara-wiri di layar kaca. Sialnya, tangan-tangan hukum tak dapat menyentuhnya. Sebab, dalih stasiun TV, yang ditayangkan bukan iklan, melainkan nama perusahaan. Padahal, merek produk rokok dan perusahaannya sama saja, sebagai bentuk kecerdikan industri rokok melakukan perluasan merek.
Itulah mengapa, uji materi yang diajukan menghendaki layar televisi bersih dari siaran yang berbau asap tembakau. Alasannya sangat kuat, pun rujukannya jelas. Untuk diketahui, sejak tahun 1964, industri rokok mulai meredup menyusul pernyataan Persatuan Dokter Bedah Amerika bahwa merokok mengakibatkan kanker paru. Hanya setahun berselang, yakni tahun 1965, iklan rokok tidak lagi ditayangkan di stasiun-stasiun televisi Inggris. Tahun 1970, Amerika Serikat mengenakan larangan yang sama.
Negara Paman Sam itu, di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama, malah telah menandatangani UU Pencegahan Merokok dalam Keluarga dan Pengendalian Tembakau. Legislasi ini memberikan kekuatan kepada pemerintah federal, khususnya Badan Pengawasan Obat dan Makanan (FDA) untuk meregulasi produksi, promosi, dan pemasaran rokok serta produk-produk tembakau lainnya. Salah satu aturan yang dinilai bersejarah, yakni larangan memajang iklan rokok hingga sejauh 300-an meter dari sekolah dan tempat bermain anak-anak. Bandingkan dengan kita di Indonesia, yang membolehkan pemasangan billboard rokok raksasa hanya beberapa langkah dari depan pintu gerbang sekolah dasar. Jadi, siapakah yang lebih liberal? Mungkin benar, Indonesia adalah surga bagi industri rokok dan para perokok.
Kekalahan uji materi ini patut disesali mengingat upaya litigasi yang dilakukan sejumlah LSM, bulan April lalu, terhadap presiden dan DPR untuk meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO juga tidak berhasil. Sehingga, benar yang diungkapkan Achmad Sodiki, satu dari empat hakim konstitusi yang memberikan dissenting opinionI pada putusan MK soal iklan rokok itu. Menurutnya, “Kebanggaan apa yang hendak diraih dengan merenggut masa depan anak-anak bangsa ini jika hukum ternyata tidak mampu memadamkan puntung rokok? Hukum telah melupakan tugasnya, yaitu memanusiakan manusia dan memuliakan manusia”. Baginya, bobot hukum menjadi merosot karena tidak peduli terhadap ancaman kematian melalui zat yang terkandung dalam rokok terhadap siapa pun yang akan mewariskan generasi penerus yang loyo dan lemah.
Atas dasar semangat membela anak-anak itulah kita perlu mendebat putusan MK agar institusi itu tak ikut menanggung dosa sejarah. Karena, lebih memilih menyelamatkan industri rokok daripada menyehatkan anak-anak sebagai penerus peradaban umat manusia.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar