Sabtu, 26 September 2009

Dimensi HAM Perlindungan Anak

“Hak asasi manusia adalah ekspresi dari tradisi toleran yang bisa ditemui di semua kebudayaan,
dan merupakan dasar bagi perdamaian dan kemajuan. Bila dipahami dengan benar dan adil, hak asasi manusia bukan hal yang asing bagi setiap kebudayaan dan telah ada di semua bangsa di dunia.”
[Kofi Annan]

Idealnya, setiap anak dilahirkan, tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarganya. Itulah sebabnya, pembicaraan menyangkut anak, termasuk hak-haknya, sering dilekatkan dalam bingkai hubungan anak-orangtua. Tanggung jawab pengasuhan anak sepenuhnya berada pada pundak masing-masing orangtua dan keluarga besarnya (extended family). Pandangan ini pada gilirannya mengakui bahwa persoalan perlindungan anak hanyalah merupakan urusan keluarga bersangkutan (family business). Keluargalah yang harus berupaya agar anak-anak cukup sandang-pangan, mendapat pendidikan, tidak menjadi anak jalanan dan berbagai aktivitas yang dianggap sebagai patologi sosial. Jika anak-anak mengalami atau berada pada kondisi rawan gizi, putus sekolah, terjerat narkoba, terlibat kriminal, dan kasus yang menempatkan anak sebagai figur antagonis lainnya maka keluargalah yang dituding sebagai causa prima.
Memotret persoalan anak dengan berfokus pada keluarga memang bukanlah sesuatu yang sepenuhnya keliru. Sebab, kebanyakan dari masyarakat kita masih memandang anak sebagai ‘milik’ orangtua dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab keluarga. Implikasi dari pandangan ini menganggap orang lain, termasuk negara (state), sebagai pihak luar yang tidak mempunyai kewenangan untuk mencampuri urusan anaknya. Domestifikasi masalah anak menyebabkan negara kehilangan sensitifitas kewajiban untuk melakukan intervensi penanganan kasus-kasus anak. Akibatnya, negara tidak melakukan upaya cukup berarti untuk mencegah dan melindungi anak-anak yang mengalami penelantaran, tindakan kekerasan dan eksploitasi. Kalaupun ada penanganan, menurut Irwanto (1997), biasanya dilakukan secara tidak langsung karena pengaturan distribusi anggaran negara khusus untuk anak sulit untuk mendapatkan justifications. Negara, melalui statement pejabat pemerintah mencoba cuci tangan dengan dalih negara tidak mampu, apalagi masih dalam suasana diliputi krisis moneter.
Fragmentasi masalah anak tidak bisa dimaklumi begitu saja sebagai tipikal persoalan dunia ketiga. Kemiskinan finansial bukanlah pembenaran bagi negara untuk melalaikan tanggung jawab perlindungan anak. Ada dimensi hak asasi manusia (HAM) yang tidak bisa membebaskan negara begitu saja dari kewajiban generiknya untuk memenuhi (to fullfil), melindungi (to protect), memajukan (to promote) dan menghargai (to respect) hak-hak anak. Perlindungan di sini, menurut Irwanto, harus dianggap sebagai suatu konsep yang inklusif, yaitu “perlindungan atas semua hak yang dimiliki oleh anak”. Perlindungan hak-hak anak ini mencakup hak untuk hidup, berkembang, dilindungi, dan untuk berpartisipasi.
Prinsip bahwa anak mempunyai nilai setara sebagai manusia, jelas disebutkan dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak (KHA), yang selengkapnya berbunyi, ”negara-negara peserta harus menghargai dan menjamin hak-hak yang dikemukakan dalam konvensi ini agar dapat dinikmati oleh setiap anak yang berada di dalam daerah kewenangannya tanpa segala bentuk diskriminasi, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan lainnya, asal-usul kewarganegaraan, etnis atau sosial, pemilikan, kecatatan, kelahiran, dan status lain mengenai anak maupun orangtuanya”. Pasal ini dianggap memberikan sudut pandang dan sikap baru terhadap anak, yang merupakan dimensi etis dan ideologis dari KHA.
Pengakuan bahwa hak anak merupakan hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak diakui dan dilindungi oleh hukum, bahkan sejak dalam kandungan, disebutkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini menempatkan anak-anak sebagai kelompok masyarakat yang rentan dan berhak memeroleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya itu (Pasal 5).
Konsideran mukadimah Convention on the Rights of the Child, juga menyebutkan bahwa sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Hak Anak, “anak karena ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahirannya” (Gautama, 2000). Dengan begitu maka KHA menegaskan berlakunya HAM bagi semua tingkatan usia, meningkatkan standar HAM agar lebih sesuai dengan anak-anak dan mengatur masalah-masalah yang khusus berhubungan dengan anak (Susilowati, dkk., 1999).
Untuk sampai pada taraf pemahaman hak-hak anak seperti sekarang, konvensi melalui sejarah yang teramat panjang. Kesadaran bahwa kehidupan dan nasib anak-anak menjadi urusan masyarakat dunia muncul pertama kali setelah Eglantyne Jebb melakukan kampanye agar memperhatikan nasib anak-anak yang menderita akibat Perang Dunia I. Sebagai langkah awal, ia mendirikan Save the Children International Union, tahun 1920. Pada tahun 1923, aktivis perempuan berkebangsaan Inggris ini menyusun Deklarasi Hak Anak. Setahun kemudian diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa. Deklarasi ini, belakangan lebih dikenal sebagai Deklarasi Jenewa.
Ada 5 prinsip yang dimuat dalam Deklarasi Jenewa (Gautama, 2000), yakni pertama, anak harus diberi alat yang berguna bagi perkembangan fisik dan mental mereka. Kedua, anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak yang terbelakang harus ditolong, anak yang nakal harus dididik kembali, dan anak yatim piatu harus mendapat perhatian secara baik. Ketiga, bila timbul bencana maka anak harus diselamatkan terlebih dahulu. Keempat, anak harus mendapat pendidikan dan dilindungi dari segala bentuk eksploitasi. Kelima, anak harus dibesarkan dengan kesadaran bahwa bakat-bakat mereka sepenuhnya harus ditujukan demi pelayanan sesama manusia.
Pada tahun 1959 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengadopsi Deklarasi Hak Anak untuk kedua kalinya. Namun, untuk kedua kalinya pula deklarasi tidak mampu mengikat negara-negara penandatangan untuk melaksanakannya. Deklarasi hanya sekadar merupakan pernyataan prinsip-prinsip yang penting, tidak lebih dari itu. Sehingga, muncul kembali gagasan untuk menyusun naskah kesepakatan antar-pemerintah mengenai hak anak. Diakhir tahun 1970-an PBB menyetujui usulan naskah mengenai hal itu. Hanya saja, keputusan untuk memulai proyek penyusunan naskah konvensi khusus mengenai anak tampak kurang bulat. Salah satu keberatan yang muncul ketika itu adalah alasan bahwa hak-hak anak sudah tercakup dalam beberapa butir aturan PBB mengenai hak asasi manusia. Yang lain berpendapat, pengaturan hak anak dalam konvensi tersendiri akan berdampak tidak menguntungkan pada anak dan justru hanya akan menimbulkan diskriminasi.
Namun, terbukti norma hak asasi manusia yang berlaku saat itu tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan anak. Menurut Thomas Hammarberg, dari Save the Children Swedia, banyak laporan mengungkapkan mengenai parahnya ketidakadilan yang diderita anak-anak; kematian bayi, perawatan kesehatan yang buruk, dan kesempatan yang amat terbatas untuk menikmati pendidikan. Lebih mengejutkan lagi adalah laporan mengenai eksploitasi anak-anak sebagai pelacur, anak sebagai pengungsi, dan korban peperangan atau dalam pekerjaan yang berbahaya lainnya.
Situasi dunia yang terus berubah, termasuk mulai tumbuhnya kesadaran mendalam menyangkut kebutuhan psikologis dan pandangan bahwa kepentingan anak tidak selalu identik dengan kepentingan pengasuhnya (orang dewasa), mendorong PBB memfasilitasi penyusunan naskah konvensi dengan membentuk kelompok kerja khusus dalam Komisi Hak Asasi Manusia, pada tahun 1979. Perhatian terhadap hak anak semakin menguat setelah PBB menetapkan tahun 1979 sebagai Tahun Anak Internasional, dengan menyelenggarakan sebuah konferensi tentang hak anak di Warsawa, Polandia. Rumusan final KHA diajukan dan kemudian disetujui secara aklamasi dalam Sidang Majelis Umum PBB, 20 November 1989. Tahun 1989 dipilih sebagai tahun persetujuan konvensi untuk menandai peringatan 30 tahun Deklarasi Hak Anak 1959 dan 10 tahun Hari Anak Internasional. Hanya setahun berselang atau pada tahun 1999, tidak kurang dari 57 negara meratifikasi konvensi ini dan sekarang jumlah negara yang ikut menandatanganinya sudah mencapai 192 negara.
Perkembangan pemikiran menyangkut hak anak dapat terjadi karena diakui ada perbedaan mendasar antara pandangan dan pendekatan “amal-sosial” dengan pendekatan “hak anak” yang melihat hak anak sebagai bagian dari HAM. Menurut Thomas Hammarberg, pendekatan berdasarkan pandangan bahwa anak perlu mendapat derma-amal-sosial, seringkali berhenti hanya sampai pada menunjukkan sikap baik kepada anak, tapi tetap berpotensi memperlakukan anak sebagai obyek. Berbeda dengan itu, pendekatan hak anak lebih menekankan kewajiban negara dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar anak. Negara juga berkewajiban melakukan upaya perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, kekerasan dan penelantaran yang akan memengaruhi tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, salah satu pesan utama konvensi adalah menempatkan masalah anak sebagai masalah politis yang hanya akan berubah melalui kebijakan politik dan harus dicantumkan pada prioritas tinggi dalam agenda politik setiap negara.
Mainstreaming hak anak sebagai agenda negara merupakan pengejawantahan wacana HAM yang menyebutkan manusia hanya mempunyai hak sedangkan kewajiban berada di pihak negara. Sehingga, dalam konteks KHA dapat dikatakan bahwa negara-negara yang meratifikasi konvensi saling berjanji untuk terikat pada kewajiban guna memberikan hak kepada anak yang berada dalam wilayah hukumnya. Pihak-pihak yang berkaitan dengan KHA, pada dasarnya meliputi (1) “anak” , sebagai pemegang hak; dan (2) “negara” sebagai pihak yang berkewajiban memenuhi hak anak. Namun, karena KHA menempatkan keluarga atau keluarga pengganti dalam posisi sentral bagi pemenuhan hak anak maka pihak orangtua atau keluarga dan masyarakat pada umumnya mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan hak anak (Farid, ed.,1999). Yang menggelikan bila negara, dalam hal ini pemerintah, mencoba menggeser kewajiban pemenuhan hak-hak anak itu sepenuhnya kepada orangtua/keluarga. Sementara pemerintah tidak menyiapkan perangkat hukum memadai dan prasarana yang mendukung untuk mencegah dan/atau mengatasi persoalan-persoalan anak, sebagai bagian dari tanggung jawab politiknya.
Ada banyak data dan fakta empirik yang bisa dikemukakan sebagai bukti betapa pemerintah belum melihat anak-anak sebagai individu yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus, yang rentan, tergantung dan berkembang. Tingginya angka kematian bayi akibat malnutrisi, banyaknya angka putus sekolah yang menyeret anak-anak terpaksa masuk dalam bursa kerja, anak-anak yang dilacurkan dan diperdagangkan, serta anak-anak yang terlibat dalam kriminal, merupakan rangkaian data dan fakta yang tidak bisa lagi dilihat dengan sebelah mata. Sayangnya, sejauh ini, ada kesan data dan fakta-fakta masalah anak tersebut baru dilihat sebagai angka-angka statistik yang tidak memberikan efek peringatan dini agar kita sebagai bangsa segera bertindak memberikan perlindungan maksimal. Padahal, fakta-fakta itu jelas berbicara dan mengomunikasikan adanya masalah mendasar yang dihadapi bangsa ini, yakni bencana kemanusiaan.
Mungkin, karena kita sudah terlanjur terkenal sebagai bangsa dengan ingatan yang pendek: mudah lupa, termasuk pada kebutuhan-kebutuhan dasar dan mendesak dari anak-anak kita sendiri.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar